31 Juli, 2008

Siapakah yang Dimaksud dengan Sekufu [sederajat] ?



Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalan berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujurat : 13)

Berkata Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah, “Di kalangan ulama ada yang mengambil dalil dengan ayat yang mulia diatas untuk menyatakan bahwasanya al-kafa’ah (kufu) dalam nikah itu tidaklah disyariatkan kecuali hanya perkara agama, berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala :

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kalian” (QS. Al Hujurat : 13) (Tafsir Ibnu Katsir 4/230, secara ringkas)

Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya membuat bab yang berjudul “Kufu dalam Agama”, kemudian beliau membawakan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala:
Dialah yang menciptakan manusia dari air mani dan Ia jadikan manusia itu memiliki keturunan dan hubungan yang terjalin karena pernikahan. Adalah Rabbmu Maha Mampu/Kuasa.” (QS. Al Furqan : 54)

Kemudian Imam Al Bukhari berkata : “Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, dia berkata, “Telah mengkabarkan kepada kami Syuaib dari Az Zuhri, dia berkata, “Telah mengkabarkan kepadaku Urwah bin Zubair dari Aisyah radiyallahu ‘anha, bahwasanya Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah bin Abdi Syam, salah seorang sahabat yang ikut dalam perang Badar bersama Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, mengangkat Salim -maula seorang wanita Quraisy- sebagai anak, dan dia menikahkan Salim ini dengan putri saudaranya bernama Hindun bintu Walid bin Utbah bin Rabi’ah. Sebagaimana Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat Zaid sebagai anak. Dan kebiasaan di masa jahiliyah, apabila seseorang mengangkat anak maka orang-orang menisbahkan (menasabkan) anak angkat tadi kepada bapak angkatnya dan ia mewarisi bapak angkatnya (dalam hal warisan, ed), sampai Allah Subhaanahu wa Ta’aala menurunkan ayat :

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 5)

Maka anak-anak angkat tadi dikembalikan nasabnya kepada ayah kandung mereka. Siapa yang tidak diketahui ayah kandungnya maka dia disebut maula dan saudara seagama. Lalu datanglah Sahlah bintu Suhail bin Amr Al Quraisy al Amiri, istri Abu Hudzaifah, kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan, “Ya Rasulullah, kami dulunya memandang Salim sebagai anak sendiri, sementara Allah telah menurunkan apa yang Dia turunkan sebagaimana yang engkau ketahui.”

Kemudian Imam Al Bukhari menyebutkan hadits ini secara lengkap.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwasanya Abu Hindun pernah membekam Nabi di bagian ubun-ubun beliau. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Bani Bayadlah, nikahkanlah wanita kalian dengan Abu Hindun.” Dan mereka pun menikahkan Abu Hindun dengan wanita mereka. (HR. Abu Dawud dengan sanad yang hasan)

Berkata Al Khaththabi dalam “Ma’alimus Sunan” (13/177): “Dalam hadits ini ada hujjah (argumen) bagi Imam Malik dan bagi orang yang berpendapat seperti pendapat beliau, bahwa kufu (sederajat-ed) yang dianggap hanyalah dalam perkara agama, tidak perkara selainnya. Sementara Abu Hindun yang disebut dalam hadits adalah maula Bani Bayadlah dan bukan dari Bani Bayadlah itu sendiri.”

Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan : “Ada yang berkata kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling mulia?’ Beliau menjawab, “Yang paling taqwa diantara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sahl bin Sa’ad As Sa’idi rahimahullah berkata : “Seseorang lewat di hadapan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda kepada orang yang duduk di sisi beliau, “Apa pendapatmu tentang orang itu?” Ia menjawab, “Laki-laki itu termasuk orang yang mulia. Demi Allah, bila ia melamar pantas diterima lamarannya dan kalau dia meminta syafaat maka dia akan disyafaati”. Rasulullah diam. Kemudian lewat orang lain, maka beliau berkata lagi kepada orang yang duduk sisinya, “Apa pendapatmu tentang orang ini?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, orang ini termasuk golongan fakir di kalangan muslimin. Bila dia melamar pantas tidak diterima lamarannya, kalau dia berkata tidak akan didengar perkataannya.” Mendengar jawaban demikian, Rasulullah bersabda, “Orang yang baru lewat ini lebih baik sepenuh bumi daripada orang yang lewat tadi.” (HR. Bukhari)
Sumber : Persembahan Untukmu Duhai Muslimah, Penulis : Ummu Salamah As Salafiyah, Penerbit : Al Haura.

Bagikan

Jangan lewatkan

Siapakah yang Dimaksud dengan Sekufu [sederajat] ?
4 / 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

SILAHKAN BERKOMENTAR UNTUK KASIH MASUKAN

Diberdayakan oleh Blogger.