31 Mei, 2009

Isi dan Kulit Islam, adakah?

Isi dan Kulit Islam, adakah?


Sering kita akan dapati diluar sana bersebaran dimana-mana tentang pemaham agama islam in yang kurang pas dan terlalu jlimet dan mbulet, bagaiama tidak saya katakan demikian? karena saya juga pernah mengalami memahami islam itu harus jlimet dan mbulet dan mengabaikan akal walau tak semua ajaran dan pengertian agama ini dapat dijelaskan dalam akal, namun ketika kita mempelajari pemhaman yang mbulet itu seolah akan itu nomer belakangan, nash dalil pun kadang terabaikan yang penting adalah kenapa ini, mengapa begini, apa manfaatnya dan pertanyaan yang tidak ada habisnya,

apakah islam mengajarkan demikian? saya rasa tidak demikian, islam ini telah diajarkan oleh nabi allah yang mulia secara sempurna, tidak ada yang disembunyikan dan dikhususkan kepada salah satu orang saja, maka lebih mudah belajar islam itu adalah dengan menggunakan dalil sunnah dan quran dan penjelesan ulama salaf yang dicap sebagai generasi terbaik dari agama ini, masih kurangkah ilmu mereka? apakah kita merasa ilmu dan pemhaman islam kita melampui mereka yang dijamin allah masuk surga? kurangkah bagi kita ketika kita bertanya tentang solat dengan dijawab bahwa rasulullah mengajarkan kami demikian lewat hadits yang shohih dalam kitab ini dan itu? dan karena saya meniru beliau karena beliau adalah sebaik-baik hamba yang paham islam ini, kenapa kita masih disibukan dengan pertanyaan yang allah dan rasullnya mendiamkannya?apakah kita merasa melebihi rasulullah dapat mengetahui berita-berita ghaib?

semoga pembahasan yang didibawakan oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali ini dapat membantu kita mejelaskan apakah ada istilah isi dan kulit dalam ajaran islam yang sering dianut oleh para tasawuf?dan mungkin kebanyakan dari muslim indonesia? semoga bermnafaat (widiy,)



ADAKAH ISI DAN KULIT DALAM AJARAN ISLAM?


Oleh
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali



Islam adalah agama yang bagian-bagiannya saling melengkapi. Jalan Allah yang ikatan-ikatannya tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Kaum Muslimin tidak boleh mengikuti orang-orang Yahudi yang mengimani sebagian Al-kitab dan mengingkari sebagian lainnya.

Allah Ta’ala berfirman.

“Apakah kamu (Bani Israil) beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” [Al-Baqarah : 85]

Termasuk bid’ah yang merebak pada zaman ini, yaitu anggapan sebagian orang yang membagi Islam menjadi “kulit dan isi”, atau “kuliyat dan juz-iyyat”, atau “bentuk dan isi”, atau “ushul dan furu”, atau “bagian luar dan ruh”. Lalu mereka menyepelekan bagian agama yang dianggapnya sebagai kulit atau juz’iyyat, atau bentuk semata.

Memang sebagian ulama ada yang menggunakan istilah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dalam menjelaskan ajaran Islam, tetapi mereka tidak bermaksud meremehkan furu’, apalagi meninggalkannya. Tetapi istilah itu untuk menunjukkan nilai pentingnya. Karena semua bagian agama Islam ini penting, namun nilai pentingnya tidaklah satu derajat

Adapun orang-orang yang memiliki anggapan sebagaimana di atas, sebagian besar mereka kemudian tidak menaruh perhatian terhadap syi’ar-syi’ar yang lahiriyah, yang mereka anggap sebagai kulit. Bahkan menuduh orang yang berpegang dengannyan sebagai orang yang menyibukkan diri dengan perkara cabang, dan orang yang mendakwahkannya dianggap mengobarkan perselisihan dan perpecahan. Sehingga mereka mementahkan berbagai masalah yang dikaji secara ilmiah dengan anggapan, bahwa itu merupakan masalah cabang dan diperselisihkan oleh umat.

Anggapan ini tentu saja tidak diterima oleh agama yang mulia ini. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa sisi.

Pertama : Ayat-Ayat al-Qur’An Dengan Tegas Dan Jelas Memerintahkan Agar Kaum Muslimin Berpegang Dengan Islam Secara Total.

Diantaranya Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan” [Al-Baqarah : 208]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata pada tafsir ayat ini : “Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, yang mempercayai Rasul-Nya, agar mereka memegangi seluruh ikatan-ikatan dan syari’at-syari’at Islam, dan mengamalkan seluruh perintah-perintahnya, dan meninggalkan seluruh larangan-larangannya semampu mereka”

Setelah Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar masuk ke dalam Islam secara total. Dia memperingatkan manusia agar tidak mengikuti langkah-langkah setan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.

“Dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” [Al-Baqarah : 208]

Ini menunjukkan bahwa hanya ada dua jalan saja, yaitu masuk ke dalam Islam secara total, atau mengikuti jalan-jalan setan yang memerintahkan untuk memisah-misahkan syari’at-syari’at Allah dan meremehkan sebagiannya.

Kedua : Hadits-Hadits Menunjukkan Bahwa Perkara-Perkara Yang Mereka Anggap Sebagai Cabang Atau Kulit Itu Memiliki Hubungan Yang Kuat Dengan Pahala Yang Besar, Kedudukan Yang Mulia, Dan Kenikmatan Abadi.

Di antaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Jika imam berkata “ghairil magh-zhubi ‘alaihim walazh-zhallin”, maka katakanlah “amin”, karena sesungguhnya barangsiapa perkataannya bertepatan perkataan para malaikat, diampuni dosanya yang telah lalu” [HR Bukhari no 782, Muslim no. 410, dari Abu Hurairah]

Demikian juga hadits-hadits menjelaskan bahwa perkara-perkara yang mereka anggap cabang itu merupakan tonggak kemuliaan dan tetapnya agama ini memperoleh kemenangan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Agama ini selalu nampak nyata (menang) selama orang-orang (Islam) menyegerakan berbuka, karena sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashara mengakhirkan (berbuka)” [HR Abu Dawud no. 2353, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak hanya mementingkan perkara-perkara besar, kemudian tersibukkan dari perkara-perkara yang mereka anggap perkara kecil.

“Dari Aisyah –semoga Allah meridhainya-, yaitu isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memberitakan bahwa beliau membeli bantal duduk yang padanya terdapat gambar-gambarnya (makhluk bernyawa, -pent). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihatnya, beliau berdiri di depan pintu, tidak masuk. ‘Aisyah melihat ketidaksukaan pada wajah Rasulullah. ‘Aisyah berkata : “Wahai Rasulullah, aku bertaubat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dosa apakah yang telah aku lakukan?” Beliau bersabda : “Apa pentingnya bantal duduk ini?” Aisyah menjawab : “Aku membelinya agar Anda duduk padanya dan menggunakannya sebagai bantal” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan disiksa pada hari Kiamat. Dan akan dikatakan kepada mereka : ‘hidupkan apa yang telah ciptakan”, dan beliau bersabda : “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar (patung-patung) tidak akan dimasuki oleh para malaikat” [HR Bukhari no. 5957]

Ketiga : Fatwa-Fatwa Ulama Menjelaskan Tentang Kebatilan Pembagian Tersebut

Antara lain fatwa Syaikh ‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah, beliau berkata : “Tidak boleh mengistilahkan syari’at dengan “kulit”, karena di dalam syari’at itu terdapat banyak manfaat dan kebaikan. Bagaimana perintah ketaatan dan keimanan merupakan “kulit”? Sesungguhnya ilmu yang disebut dengan “hakikat” adalah satu bagian dari ilmu syari’at. Dan tidak menggunakan istilah-istilah ini kecuali orang yang dungu, celaka dan kurang ajar. Seandainya dikatakan kepada salah seorang dari mereka : “Sesungguhnya perkataan syaikh (guru) mu itu “kulit”, pastilah dia mengingkarinya dengan keras. Namun dia menyebut “kulit” terhadap syari’at! Sedangkan syari’at itu hanyalah Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Maka orang jahil (bodoh) tersebut perlu dihukum dengan hukuman yang pantas dengan dosanya ini” [Fatawa Izz bin Abdis Salam, halaman 71-72]

Dengan ini semua jelaslah bahwa wajib memegangi Islam secara total, yakni mencakup kehidupan individu dan masyarakat. Syari’at Islam tidak meninggalkan perkara-perkara kecil, apalagi yang besar ; semua dijelaskan. Dengan demikian, Islam merupakan bangunan yang tinggi dan sempurna, dengan fondasi yang kuat dan kokoh.

Kemudian dari pembagian yang tidak benar ini, yaitu beranggapan agama itu terdiri dari kulit dan isi, sebagian tokoh-tokoh kelompok Islam, seperti Syaikh Hasan Al-Bana, membangun kaidah lemah yang membolehkan terjadinya perpecahan umat. Yaitu kaidah :

“Kita saling menolong dalam perkara yang kita sepakati, dan saling toleransi dalam perkara yang kita berselisih padanya”.

Kemudian kaidah ini menjadi ketetapan pasti yang dibacakan kepada para pengikutnya. Dengan kaidah ini, mereka menentang setiap dakwah yang mengajak untuk bersatu di atas kalimat yang haq dan menentang penjelasan menurut Sunnah Nabi, tentang sikap terhadap para ahli bid’ah yang mengikuti hawa nafsu.

Kaidah ini pertama kali dibuat oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah, kemudian beliau memandangnya sebagai kaidah yang rusak, sehingga beliau berlepas diri darinya. Namun Syaikh Hasan Al-Bana mengambilnya dan mendengungkannya. Dan kaidah yang rusak ini juga digunakan oleh Ikhwanul Muslimin untuk melakukan pendekatan dengan Syi’ah Rafidhah!

Seandainya kaidah ini diterapkan, pasti ajaran Islam akan rontok satu persatu, karena :

1). Perselisihan antar umat Islam terjadi sampai dalam perkara aqidah dan prinsip-prinsip. Oleh karena inilah umat berpecah-belah menjadi banyak kelompok. Maka orang yang memberikan toleransi perselisihan seperti ini, berarti dia membenarkan apa yang dilarang oleh Allah.

2). Kaidah ini tidak memiliki landasan dari Al-Kitab, As-Sunnah, dan pemahaman Salafush Shalih. Bahkan manhaj Salaf bertentangan dengan kaidah rusak ini.

3). Seandainya kita praktekkan kaidah ini, pasti akan terbuka kerusakan yang sangat besar. Karena berarti kita memberikan toleransi kepada orang-orang yang menyerukan pemahaman wihdatul wujud [1], pemahaman Khawarij, nikah mut’ah, thawaf di kuburan, tawasul dengan orang-orang yang telah mati, mengingkari sifat-sifat Allah, pemahaman Jabariyah, dan kesesatan-kesesatan lainnya.

4). Hasil kaidah ini adalah kebalikan dari kemauan pembuatnya. Kemauan pembuatnya ialah untuk menghentikan perselisihan antar umat Islam. Namun kenyataan menunjukkan, bahwa kaidah ini menjadi sebab bertambahnya perselisihan dan perpecahan. Oleh karena itulah para ulama pada zaman ini memfatwakan batilnya kaidah ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Dr. Hamd ‘Utsman –haizhahullah- di dalam kitabnya, Zajrul Mutahawun bi Dharari Qaidah Al-Ma’dzirah wat Ta’awun, halaman 123-133.

Sesungguhnya kebaikan itu hanyalah dengan kembali kepada agama yang mulia ini dalam segala bidangnya sesuai dengan kemampuan. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
_________
Footnote
[1]. Suatu pemahaman rusak yang dikafirkan oleh para ulama. Yaitu anggapan bahwa wujud hanyalah satu ; makhluk bersatu dengan sang Khaliq.

Sumber

Baca selengkapnya

30 Mei, 2009

Hukum Mandi Bersama (Sesama Jenis)

Hukum Mandi Bersama (Sesama Jenis)




Tanya:
Apa hukumnya kamar mandi uap (yang merupakan tempat pemandian umum bagi yang ingin mandi uap/sauna) yang sekarang banyak bermunculan? Apakah para wanita dan lelaki boleh masuk/mandi di sana tanpa kain penutup tubuh? Berilah fatwa kepada kami tentang masalah ini, semoga antum mendapatkan pahala karenanya.

Jawab:

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta` menjawab, "Masuk pemandian umum yang berupa kamar mandi uap/sauna bagi lelaki tanpa kain penutup tubuh dilarang keras karena adanya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu:


((مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ الْحَمَّامَ إِلاَّ بِمِئْزَرٍ))


“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia masuk ke kamar mandi (umum) kecuali dengan mengenakan kain penutup tubuh.”
Diriwayatkan oleh An-Nasa`i dan Al-Hakim, ia menshahihkannya di atas syarat Muslim, dan hadits ini memiliki syawahid (pendukung)3.
Para wanita juga terlarang masuk ke tempat pemandian umum. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada para wanita yang biasa masuk ke tempat pemandian umum:


أَنْتُنَّ اللاَّئِي يَدْخُلْنَ نِسَائُكُنَّ الْحَمَّامَاتِ؟ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ هَتَكَتِ السِّتْرَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا



“Apakah kalian ini yang biasa membiarkan wanita-wanita kalian masuk ke tempat pemandian (umum)? Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak ada seorang wanita pun yang melepas pakaiannya (tanpa busana) di selain rumah suaminya melainkan ia telah mengoyak penutup antara dia dan Rabbnya4’.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan ia menshahihkannya di atas syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim) dan Adz-Dzahabi menyepakatinya5.
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad yang dihasankan sanadnya oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu disebutkan bahwa 'Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, "Wahai sekalian manusia, sungguh aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَقْعُدْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ الْحَمَّامَ إِلاَّ بِإِزَارٍ، وَمَنْ كَانَتْ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ تَدْخُلِ الْحَمَّامَ


“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia duduk di meja hidangan yang diedarkan di atasnya khamr. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum) kecuali dengan memakai kain penutup tubuh. Siapa (di antara kaum wanita) yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum).”6
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Ya'la Al-Mushili dan Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban dalam Shahih-nya yang disebut Al-Anwa’ wat Taqasim, dari hadits Muhammad bin Tsabit bin Syarahbil, dari Abdullah bin Yazid Al-Khuthami, dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ الْحَمَّامَ إِلاَّ بِمِئْزَرٍ، وَمَنْ كَانَتْ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ مِنْ نِسَائِكُمْ فَلاَ تَدْخُلِ الْحَمَّامَ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum) kecuali dengan memakai kain penutup tubuh. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara wanita-wanita kalian maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (tempat pemandian umum).”
Kata perawi, “Aku mengatakan hal itu kepada ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu dalam masa kekhilafahannya, maka ia menulis surat kepada Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm yang isinya, ‘Tanyakan kepada Muhammad bin Tsabit tentang haditsnya.’ Abu Bakr pun menanyakan kepada Muhammad, lalu ia menulis surat kepada ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, maka ‘Umar melarang para wanita masuk ke kamar mandi umum. Demikianlah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz. Ia telah menjalankan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:


عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلُفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

“Wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang terbimbing setelahku.”
Kaum muslimin seluruhnya sepakat bahwa ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu termasuk para pemimpin yang mendapatkan petunjuk dan termasuk khalifah yang beroleh bimbingan, yang mana mereka itu memutuskan dengan al-haq (kebenaran) dan selalu menuju kepada kebenaran.” (Selesai ucapan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu)
Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga tertuju kepada nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula untuk keluarga dan pada sahabatnya. (Fatwa no. 19397, kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`, 17/49)

3 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i.
4 Sebagian pensyarah hadits ini berkata, "Tidak diberikan keringanan (rukhshah) bagi wanita untuk masuk kamar mandi umum karena seluruh anggota tubuhnya adalah aurat, dan tidak dibolehkan membukanya kecuali dalam keadaan darurat (boleh baginya masuk kamar mandi umum). Misalnya ia sakit sehingga harus masuk kamar mandi tersebut untuk pengobatan. Atau ia selesai dari nifas dan ingin mandi suci, atau junub sementara hawa sangat dingin dan ia tidak dapat menghangatkan air dalam keadaan ia khawatir memudaratkannya bila menggunakan air dingin. Tidak boleh bagi laki-laki masuk ke kamar mandi umum ini tanpa mengenakan penutup tubuh yang dapat menutupi bagian pusar dan lutut.” ('Aunul Ma'bud, kitabul Hammam, bab satu)
Dalam 'Aunul Ma'bud juga disebutkan bahwa wanita diperintah untuk menutup tubuhnya dan menjaganya agar tidak terlihat oleh ajnabi (bukan mahram) sehingga tidak pantas baginya untuk membuka auratnya sekalipun dalam keadaan sendirian kecuali di sisi suaminya. Bila ia membuka anggota tubuhnya di kamar mandi umum tanpa darurat maka sungguh ia telah mengoyak penutup yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan.
5 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan selainnya.
6 Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu mengatakan tentang hadits ini, "Sanadnya dhaif.” (Akan tetapi hadits berikut ini mendukungnya.)
Faedah: Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, "Wajib bagi suami istri untuk membuat kamar mandi di rumah mereka, dan janganlah seorang suami memperkenankan istrinya untuk masuk/mandi di kamar mandi pasar, karena hal itu diharamkan. Dalam hal ini ada beberapa hadits: Pertama: Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيْلَتَهُ الْحَمَّامَ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدْخُلِ الْحَمَّامَ إِلاَّ بِمِئْزَرٍ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الَآخِرِ فَلَا يَجْلِسْ عَلىَ مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ

"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memasukkan istrinya ke kamar mandi (umum). Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke kamar mandi (umum) kecuali dengan memakai kain penutup tubuh. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di meja hidangan yang diedarkan di atasnya khamr.” (HR. Al-Hakim dan ini lafadznya, At-Tirmidzi, dll)
Kedua: Dari Ummud Darda` radhiyallahu ‘anha, ia berkata, "Aku keluar dari kamar mandi umum. Lalu aku berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, "Dari mana engkau, wahai Ummud Darda`?” "Dari kamar mandi umum,” jawab Ummud Darda`. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda:


وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، ماَ مِنِ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ أَحَدٍ مِنْ أُمَّهَاتِهَا إِلَّا وَهِيَ هَاتِكَةُ كُلِّ سِتْرٍ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الرَّحْمَنِ

"Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang wanita pun yang melepas pakaiannya di selain rumah salah seorang dari ibunya melainkan ia telah mengoyak setiap penutup antara dia dan Ar-Rahman.” (HR. Ahmad, dll)
Ketiga: Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan di atas. (Lihat kitab Adabuz Zafaf, hal. 67-69)
Sumber :
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=716

Baca selengkapnya

28 Mei, 2009

Indonesia Demam FaceBook

Indonesia Demam FaceBook


Hmmm sebenarnya saya juga pengguna FB (istilah kerenya facebook) hmm awal ceritanya sebenarnya dari sebuah forum muslim untuk mengadakan kampanye saat terjadi perang di Gaza sedang berlangsung dan pembantaian manusia disana-sani, kami kumpulkan beberapa foto mengenai kejahatan kemanusiaan ini dalam sebuh lembar halaman berisi foto itu, bermula dari situ saya mengenal FB ini, bagi saya sich biasa aja tu situs,,

Namun beda orang beda pandangan dan beda tujuan, tidak bisa pukul rata, namun melihat pemberitaan akhir-akhir ini bisa dikatakan Indonesia kena demam FB,he,,he,, Bagaiaman tidak dikatakan demikian soale ada seraong istri lalai terhadap perkerjaannya karena FB, ada suami selingkuh karena FB, dari yang kecil hingga yang gede, dari anak sd sampai dengan orang dewasa yang sudah berumah tangga

Sebenarnya manfaatnya dapat kita ambil dari Fb cukup banyak namun begitu juga dengan kejelekan yag juga dapat ditimbulkan darinya, namun fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah banyak jeleknya yang ditimbulkan, contoh saja seperti kejadian di atas, belum lagi para siswa yang melalaikan tugas mereka, ya mau gimana lagi negeri ini menganut kebebasan yang kadang juga kebablasan dalam hal tertentu dan kadang kesulitan untuk mengatur sesuatunya dengan baik,,

sekarang yang terbaik adalah bagaiaman kitanya menerima hal ini, apakah otak kita akan kita jadikan seperti spon yang akan merima dan meyimpan apapun yang masuk dalam dirinya tentu itu jadi pilihan masing-masing dan berawal dari kesadaran pribadi serta kesempatan yang ia miliki,,,
Baca selengkapnya
Bangga Dengan Jenggot?

Bangga Dengan Jenggot?


Sunnah Jenggot

Makin lama Islam makin terasing. Sebagian umat Islam hampir tak mengenal lagi mana ajaran agama dan mana yang bukan. Sedangkan para musuh Islam senantiasa melancarkan aksi untuk menggempur kekuatan kaum muslimin dengan hebatnya. Salah satu caranya adalah menjauhkan kaum muslimin dari syari’at Islam sedikit demi sedikit.

Dan di antara salah satu syari’at yang kami maksud di atas adalah syari’at memanjangkan jenggot bagi kaum lelaki. Sungguh kita telah mengetahui bersama bahwa di Indonesia atau bahkan di belahan bumi lainnya, mayoritas kaum muslimin agak risih dengan yang namanya jenggot. Bila ada lelaki yang berjenggot maka pikiran sebagian kaum muslimin akan langsung terbayang dengan bom dan ledakan-ledakan teror lainnya, yang kesemuanya itu, bila kita teliti lagi hanyalah sebuah konspirasi yang dilakukan oleh orang-orang barat terhadap Islam. Maka dari itu, dengan tulisan ini kami ingin memberikan sebuah wacana baru mengenai jenggot yang melulu diidentikkan dengan kejahatan dan kekerasan. Allahul Musta’an

Definisi Jenggot

Dalam bahasa Arab jenggot disebut dengan al-Lihyah. Ibnu Sayyidihi mengatakan: “(Jenggot adalah) suatu ungkapan yang mencakup nama rambut yang tumbuh di sekitar pipi dan dagu”[2]

Hukum Memanjangkan Jenggot

Menurut hadits-hadits yang telah datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dari berbagai jalur, dapat disimpulkan bahwa hukum memanjangkan jenggot bagi lelaki adalah wajib. Salah satunya sebagaimana yang telah shahih diriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu’anhuma bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda: “Selisihilah orang musyrik, cukurlah kumis dan lebatkanlah jenggot![3]

Dari hadits di atas dan yang semisalnya dapat disimpulkan bahwa perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di atas adalah wajib. Sebab semua perintah itu pada asalnya menunjukkan wajib, menurut pendapat yang paling kuat[4]. Jadi, kita tidak boleh memotong jenggot sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam telah memerintah kita memanjangkan dan membiarkan jenggot tumbuh lebat[5].

Mengapa Laki-Laki Harus Memanjangkan Jenggot ?

Seorang laki-laki seharusnya mengetahui alasan mengapa dia memanjangkan jenggot. Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa alasan yang tepat:

1. Karena ingin ikut menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam

Zaman kita ini –sebagaimana telah disebutkan tadi- adalah zaman keterasingan. Secara tidak langsung, jika kita menghidupkan sunnah jenggot maka kita juga akan mendapatkan gelar sebagai salah satu penghidup dan pembela sunnah.

2. Sebagai pembeda antara kaum Adam dan Hawa serta menambah kewibawaan

Diantara hikmahnya, Allah subhanahu wa ta’ala membedakan antara lelaki dan wanita dengan jenggot. Allah memberikan jenggot untuk lelaki supaya ia tambah berwibawa dan perkasa dihadapan wanita sebab laki-laki adalah pengayom wanita. Lantas Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberikan jenggot kepada wanita supaya wanita tambah sempurna dalam hal kecantikan parasnya tanpa harus diganggu dengan tumbuhnya rambut di wajah[6].

3. Mengikuti para nabi yang juga berjenggot

Semisal Nabi Harun ’alaihissalam saudaranya Nabi Musa ’alaihissalam:

Harun menjawab: ”Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan (pula) kepadaku….”.(QS. Thoha (20):94)

4. Sesuai dengan fitrah manusia

Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: ”Sepuluh hal yang termasuk fitrah: yaitu merapikan kumis dan melebatkan jenggot….” (HR. Muslim:261)

Ragu-Ragu Berjenggot ?

Dalam menghidupkan sunnah jenggot yang terancam punah ini, ada saja orang-orang yang mengaku muslim enggan memanjangkan jenggotnya hanya dengan bersandar pada alasan-alasan yang rapuh:

  1. Banyak orang kafir sekarang yang berjenggot
  2. Hukumnya kan hanya sunnah
  3. Yang penting iman yang di dalam hati, bukan masalah yang lahiriah semisal jenggot.

Jawabannya:

  1. Memanjangkan jenggot bukan hanya karena kita ingin menyelisihi orang kafir, bahkan ia adalah termasuk fitrah sebagaimana di dalam hadits riwayat Muslim (di atas). Kebanyakan orang Yahudi dan Majusi atau Nashrani sekarang tidak memanjangkan jenggot mereka. Dan yang terakhir, jika Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan suatu perintah dengan didasari suatu sebab kemudian sebab itu hilang maka perintah itu jika mencocoki fitrah manusia atau menunjukkan syi’ar Islam, perintah tadi tidak dibatalkan. Seperti syariat roml (lari-lari kecil) dalam haji pada asalnya adalah untuk memperlihatkan kepada kaum musyrikin kekuatan muslimin yang telah dihina dan dianggap lemah oleh mereka karena terserang demam Madinah[7].
  2. Lagi-lagi, ketika kita menjelaskan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ada saja sebagian orang mengatakan: ”Ah, itu kan hanya sunnah, kalau ditinggalkan tidak mengapa !”……..Subhanallah! jika itu memang benar-benar sunnah, apakah sikap seorang muslim sejati yang mengakui Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam adalah panutannya dalam kalimat syahadat yang ia ikrarkan? Manakah pengakuan itu ? Ataukah hanya sebagai formalitas ? seandainya kita ada di hadapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu beliau mengatakan: ”Panjangkanlah jenggot!”, beranikah kita mengatakan kalimat tadi kepada beliau ? jika tidak berani semasa hidup lantas apakah kita akan mencobanya ketika beliau telah wafat ?!
  3. Saudara yang mulia, ingatlah pembahasan bulan lalu[8] tentang taqwa yanga da di hati ? bukankah jika hati seseorang benar-benar bertaqwa niscaya akan tampak pada amalan lahiriyahnya ? lantas manakah klaim yang mengatakan bahwa yang penting iman yang ada di hati, bila amalan lahiriah disepelekan ? justru kalau begini malah bisa dibilang sebaliknya.

Berjenggot tetapi bukan karena meniru Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam

Klo gini niatnya nyontoh Nabi atau karena sekedar Gaya-gayaan ya?

Walaupun jenggot mengalami masa keterasingan, ternyata kalau kita lihat ada saja di antara kawula muda zaman ini yang berusaha dengan sunguh-sungguh memelihara jenggotnya. Namun, apakah yang mereka lakukan itu akan membuahkan pahala ? Untuk menjawabnya tentu harus dilihat dahulu apa motif yang melatarbelakangi perbuatannya itu.

Hendaknya diketahui bahwa kadangkala perbuatan yang asalnya disyari’atkan jika kita kerjakan terkadang kita tidak mendapat pahala, bahkan ada yang sampai mendapat dosa! Mengapa sampai demikian? Itu gara-gara niat yang salah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebenarnya telah memberi permisalan yang bagus sekali tentang hal ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan Imam Muslim rahimahumullah[9] tentang orang yang berhijrah. Salah satunya menginginkan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, sedangkan yang lainnya menginginkan dunia maka yang akan dia dapatkan hanya dunia saja. Bahkan dalam jihad beliau juga menerangkan ada di antara mujahid yang berperang namun malah mendapat neraka. Apa sebabnya? Tidak lain hanyalah salah niat!

Masalah merapikan jenggot

Dalam masalah ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi[10]: ”Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memotong bagian bawah dan samping jenggotnya”. Namun, hadits tersebut maudlu’ (palsu) sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam adh-Dho’ifah: 1/456-457[11]

Sementara itu, ada atsar yang disebutkan oleh al-Bukhori rahimahullah bahwa Ibnu Umar radliyallahu’anhuma –salah seorang yang meriwayatkan hadits perintah memanjangkan jenggot- memotong jenggotnya bila telah melebihi satu genggam ketika selesai haji atau umroh. Menyikapi atsar tersebut, ulama telah terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa perbuatan periwayat hadits jika menyelisihi hadits yang telah ia riwayatkan maka yang dijadikan sandaran adalah apa yang diriwayatkannya[12]. Pendapat kedua mengatakan bahwa Ibnu Umar –sebagai orang yang meriwayatkan hadits tersebut- tentu lebih mengetahui maksud dari apa yang telah beliau riwayatkan[13].

Pendapat yang paling mendekati kebenaran –Allah-lah yang lebuh tahu- adalah pendapat yang pertama sebab lebih sesuai dengan nash hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana yang telah dikatakan juga oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim: 1/490[14]. Namun demikian, kita tidak boleh menjadikan malasah ini sebagai bahan celaan bagi saudara kita yang mengambil (merapikan) jenggotnya melebihi satu genggam, karena dalil yang mendasari pendapat mereka juga kuat. Wallahu’alam semoga bermanfaat.

Abu Usamah al-Kadiri

Sumber: Buletin al-Furqon Vol.1 No. 4 Tahun ke-4, terbit Jumadil Awal 1430 H


[1] Bagi para pembaca yang ingin memperluas pembahasan ini kami anjurkan untuk merujuk buku yang telah ditulis uleh Ustadzuna Abu Ubaidah as-Sidawi hafizhahullah yang berjudul “Bangga Dengan Jenggot”, terbitan Pustaka an-Nabawi, Surabaya.

[2] Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur: 15/243, Lihat juga Fathul Bari: 10/430

[3] HR. Bukhori:5892 dan Muslim: 260

[4] Lihat Manzhumah Ushul Fiqh wa Qowa’idihi

[5] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz Kumpulan Muhammad Sa’ad Suwai’ir: 8/376

[6] Lihat Miftah Daris Sa’adah karya Ibnul Qayyim:2/215

[7] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin: 11/128

[8] Pada Buletin al-Furqon Vol. 12 No. 1. Robi’ul Akhir 1430 H, yang insyaAllah akan kita posting untuk kedepannya. Di dalamnya disampaikan perkataan Ibnul Utsaimin: “Jika hati seseorang benar-benar bertaqwa makan akan muncul darinya amalan anggota badan. Sebabnya, permisalan hati bagi anggota badan adalah layaknya seorang raja dan para rakyatnya. Bila raja itu baik maka rakyatnya juga akan baik, begitu juga kebalikannya.” (Syarah al-Arbai’in an-Nawawiyyah: 370)

[9] HR. Bukhori: 1, Muslim: 1907, lihat juga tentang keterangan hadits di atas oleh Syaikh Utsaimin dengan sangat bagus dalam syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah:13

[10] HR. at-Tirmidzi:2762

[11] Lihat juga dalam Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz: 8/368, 374.

[12] Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau: 8/370

[13] Seperti yang telah diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam salah satu masa’il beliau dari Ibnu Hani’ (Badai’ul Fawa’id: 4: 1430-1431) dan al-Albani dalam footnote silsilah al-Hadits adh-Dho’ifah: 1/457

[14] Lihat juga dalam shohih Fiqh Sunnah karya Abu Malik Sayyid Salim : 1/102-103

Disalin dari : http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/05/28/bangga-dengan-jenggot/#_ednref1

Baca selengkapnya
Hikmah Perkawinan

Hikmah Perkawinan


Ilmu tentang rumah tangga dan pernikahan adalah suatu ilmu yang baik dan sangat penting untuk diketahui. Namun pada kenyataannya, sedikit sekali orang yang mengetahui atau peduli pada ilmu ini, sehingga setelah menikah banyak di antara pasangan suami istri yang mengalami krisis dan kesulitan sebagai dampak minimnya pemahaman ilmu ini.

Tak jarang pula perkawinan harus berakhir, yang pada akhirnya berdampak pada anak-anak. Maka tak ada salahnya kali ini kita bersama-sama kembali mengingat hikmah perkawinan, dan nilai-nilai yang bisa kita petik dari sunnah mulia ini.

MENIKAH ADALAH IBADAH DAN NIKMAT

Dalam sebuah haditsnya Rasulullah n bersabda,

“Jika seorang hamba menikah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah untuk menyempurnakan sebagian yang lainnya.” (Riwayat Baihaqi dengan sanad hasan)

Dalam Islam, menikah memiliki nilai ibadah yang tinggi. Selain pernikahan bisa membebaskan manusia dari kenistaan, juga merupakan media untuk mencapai tujuan yang lebih mulia.

Allah l berfirman,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Juga dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Dalam firman-Nya yang lain,

“Dialah yang menciptakan engkau dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.”(Al- A’raf:189)

Melalui ayat di atas, Allah l meletakkan dasar-dasar kehidupan yang penuh dengan perasaan dan kedamaian. Jika hal ini terwujud, maka pernikahan sebagai sarana guna mencapai tujuan mulia lain akan mudah terlaksana, sekaligus merupakan nikmat tiada tara.

MENGAPA MENIKAH?

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang engkau senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nissa: 3)

Dalam ayat lain Allah juga berfirman, “Mereka itu merupakan pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah: 187)

Kedua ayat ini mengisyaratkan adanya perintah untuk menikah. Namun kenyataannya, ada sekelompok manusia yang menghina dan melecehkan arti pernikahan atau menyesal telah menikah. Bahkan ada yang sengaja menghabiskan hari hanya untuk bercengkerama dengan teman-temannya saja. Sehingga perbuatan itu hanya membawa kita makin jauh dari Allah.

Memang hidup menikah berbaur dengan sesuatu yang meletihkan, seperti lelah mengurus anak, tuntutan kebutuhan lain serta mencari nafkah. Akan tetapi semua akan terasa nikmat jika kita ikhlas, dan jiwa pun akan puas. Bandingkan dengan orang yang melajang. Dia akan tetap merasakan hampa, atau ada yang kurang dalam hidupnya.

Menikah, selain ibadah dan sunnah yang utama, juga mendatangkan maslahat lain, dan hikmah tak terhingga. Pernikahan dapat memanjangkan usia dan menjadikan orang awet muda, serta membawa pada kehidupan yang teratur. Sungguh, seorang istri yang terbiasa dengan segala keletihan, baik karena persoalan anak-anak, perannya sebagai ibu ataupun beban hidup lain justru akan memanjangkan usianya daripada mereka yang meninggalkan pernikahan.

Pernikahan mampu mengembalikan semangat muda, juga mendewasakan seseorang sehingga mampu berpikir panjang. Karena biasanya pasangan menikah lebih banyak mengutamakan pertimbangan akal dan etika dalam mengambil keputusan.

Menikah mengangkat derajat tabiat (insting) biologis, sehingga insting tersebut tersalurkan dengan cara yang benar dan sehat. Hingga Allah memerintahkan bagi mereka yang belum menikah untuk berpuasa.

“Dan orang-orang yang belum mampu menikah, maka hendaklah mereka menjaga kesucian diri sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (An-Nuur: 33)

Dalam haditsnya Rasulullah pun bersabda,

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah. Karena sesungguhnya hal itu dapat mencegah pandangan mata kalian dan menjaga kehormatan kalian. Sedang bagi siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, dan puasa itu adalah perisai baginya.” ( Riwayat Bukhari Muslim)

Menikah juga menghindarkan dari perbuatan menyimpang, seperti seks bebas. Sayangnya, masih saja ada yang beranggapan pernikahan hanya akan membatasi kesenangan dan menjadi beban. Hidup bebas, free seks malah menjadi pilihan. Dampak dari pola hidup ini sangat banyak, misalnya penyakit kelamin yang menular, AIDS, frigiditas serta penyimpangan seks.

Hikmah lain dari pernikahan adalah membuka pintu-pintu rezeki. Karena memiliki tanggung jawab, seorang suami akan selalu termotivasi untuk bekerja memenuhi kebutuhan dan berusaha optimal untuk memperbaiki taraf ekonomi keluarganya. Usaha dan keikhlasan ini, insyaallah tak akan pernah disia-siakan Allah sebagaimana janji-Nya untuk memberi rezeki pada hamba-Nya.

Yang tak kalah penting, tujuan dari pernikahan adalah untuk memperbanyak keturunan. Rasulullah n bersabda,

“Nikahilah istri-istri yang subur, karena nanti di hari kiamat aku akan bangga dengan banyaknya umatku.” (Riwayat Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan)

Melalui hadits di atas jelaslah Rasulullah menganjurkan umatnya untuk memiliki banyak anak. Hanya dengan pernikahanlah hal ini bisa diwujudkan.

Anak-anak selain sebagai generasi penerus, adalah ladang-ladang amal bagi orangtuanya. Nabi bersabda,

”Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu pada sedekah jariah yang pernah ia berikan, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang akan selalu mendoakan dirinya.”

Subhanallah, segala puji bagi Allah yang telah menghalalkan pernikahan, dan yang menjadikannya sebab untuk melestarikan kehidupan manusia, dan meramaikan serta memakmurkan bumi dengannya.

PERKAWINAN BAHAGIA

Allah berfirman,

“Janganlah kalian memberi dengan harapan memperoleh balasan yang lebih banyak.” (Al-Muddatsir: 6)

Rasulullah pun bersabda,

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, hingga ia mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’i)

Jika seseorang menginginkan perkawinannya bahagia, maka ia harus memperhatikan kebahagiaan pasangan, senang meringankan bebannya, baik pekerjaan ataupun beban pikirannya. Bila terjadi perselisihan atau perbedaan, harus selalu ada kesungguhan kedua belah pihak untuk menyelesaikannya.

Ada baiknya salah satu atau kedua belah pihak mengalah, untuk saling memahami hingga mampu memandang perbedaan sebagai nilai positif yang menghidupkan nilai pernikahan. Kedepankan dialog, tanpa harus memaksakan kehendak dan egoisme masing-masing.

Di samping itu, untuk mewujudkan kebahagiaan, suami istri harus selalu berusaha menjalin kebersamaan, menyamakan visi dan misi, serta cita-cita untuk mewujudkan pernikahan yang matang. Mampu menjadi partner dalam mencapai tujuan bersama, dan saling membangkitkan perhatian atas tugas-tugas pasangan. Insyaallah, hal itu akan semakin memperbesar rasa cinta dan kasih sayang dalam pernikahan.

Pernikahan adalah sebuah sarana untuk melaksanakan pekerjaan yang lebih besar, serta lebih banyak dari sebelumnya, yang didasari cinta sepasang insan, dengan latar belakang berbeda. Jadi tak sekedar bermodal cinta perkawinan dibangun. Tanpa usaha dan perhatian yang sungguh-sungguh, tak menjamin langgengnya pernikahan. Sebab cinta itu sendiri butuh siraman dan bantuan untuk tetap tumbuh sehat dan kuat.

Dan pada akhirnya cinta yang kokoh, kearifan sikap serta kebersamaan pasangan dalam perkawinan akan menjadikan kebahagiaan abadi. Terlebih lagi jika cinta itu dibangun karena Allah. Kian sempurnalah kebahagiaan pernikahan. Maha Suci Allah, yang menjadikan pernikahan sebagai syariat. Maha Besar Allah yang menjadikan hikmah atasnya. (ummu ahmad fadhl)

Sumber
Baca selengkapnya

27 Mei, 2009

10 Alasan Enggan Berjilbab dan Jawaban

10 Alasan Enggan Berjilbab dan Jawaban

1. Jilbab tidak menarik.
Jawabnya seorang wanita muslimah harus sudi menerima kebenaran agama Islam, dan tidak mempermasalahkan senang atau tidak senang. Sebab rasa senangnya itu diukur dengan barometer hawa nafsu yang menguasai dirinya.

2. Takut durhaka kepada orang tuanya yang melarangnya berpakaian jilbab.
Jawabnya adalah Rasulullah SAW telah mengatakan agar tidak mematuhi seorang makhluk dalam durhaka kepada-Nya.
Yang telah menjawab hal ini adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla termulia, Rasulullah SAWW dalam nasihatnya yang sangat bijaksana; “Tiada kepatuhan kepada suatu ciptaan diatas kepatuhan kepada Allah SWT.” (Ahmad). Sesungguhnya, status orangtua dalam Islam, menempati posisi yang sangat tinggi dan terhormat. Dalam sebuah ayat disebutkan; “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang Ibu Bapak . . “ (QS. An-Nisa:36). Kepatuhan terhadap orangtua tidak terbatas kecuali dalam satu aspek, yaitu apabila berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah SWT. Allah berfirman; “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…(QS. Luqman : 15)

Berbuat tidak patuh terhadap orangtua dalam menjalani perintah Allah SWT tidak menyebabkan kita dapat berbuat seenaknya terhadap mereka. Kita tetap harus hormat dan menyayangi mereka sepenuhnya. Allah berfirman di ayat yang sama; “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Kesimpulannya, bagaimana mungkin kamu mematuhi ibumu namun melanggar Allah SWT yang menciptakan kamu dan ibumu.
3. Tidak bisa membeli pakaian yang banyak memerlukan kain.
Jawabannya, orang yang mengatakan alasan seperti itu adalah karena (pertama) ia benar-benar sangat miskin sehingga tidak mampu membeli pakaian Islami. Atau (kedua) karena dia Cuma alasan saja, sebab ia lebih menyukai pakaian yang bugil sehingga tampak lekuk tubuhnya atau paha mulusnya bisa kelihatan orang.

4. Karena merasa gerah dan panas.
Jawabannya, wanita muslimah di Arab yang udaranya lebih panas saja mampu mengenakan pakaian Islami, mengapa di negara lainnya tidak? Dan orang yang merasa gerah dan panas mengenakan pakaian Islami, mereka tidak menyadari tentang panasnya api neraka bagi orang yang membuka aurat. Syetan telah telah menggelincirkan, sehingga mereka terasa bebas dari panasnya dunia, tetapi mengantarkannya kepada panas api neraka.
Allah SWT memberikan perumpamaan dengan mengatakan; “api neraka jahannam itu lebih lebih sangat panas(nya) jikalau mereka mengetahui..”(QS At-Taubah : 81). Bagaimana mungkin kamu dapat membandingkan panas di daerahmu dengan panas di neraka jahannam? Sesungguhnya saudariku, syetan telah mencoba membuat tali besar untuk menarikmu dari panasnya bumi ini kedalam panasnya suasana neraka. Bebaskan dirimu dari jeratannya dan cobalah untuk melihat panasnya matahari sebagai anugerah, bukan kesengsaraan. Apalagi mengingat bahwa intensitas hukuman dari Allah SWT akan jauh lebih berat dari apa yang kau rasakan sekarang di dunia fana ini. Kembalilah pada hukum Allah SWT dan berlindunglah dari hukuman-Nya, sebagaimana tercantum dalam ayat; “mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah” (QS. AN-NABA 78:24-25). Kesimpulannya, surga yang Allah SWT janjikan, penuh dengan cobaan dan ujian. Sementara jalan menuju neraka penuh dengan kesenangan, nafsu dan kenikmatan.


5. Takut tidak istiqamah.
Mereka melihat contoh wanita muslimah yang kurang baik ‘Buat apa mengenakan jilbab sementara, Cuma pertama saja rajin, nanti juga dilepas’. Jawabannya adalah mereka mengambil sample (contoh) yang tidak cocok, bukan wanita yang ideal (yang istiqamah) menjalankannya. Ia mengatakan hanya untuk menyelamatkan dirinya. Dan ia tidak mau mengenakan jilbab karena takut tidak istiqamah. Kalau saja semua orang berfikir demikian, tentunya mereka akan meninggalkan agama secara keseluruhan. Orang tidak akan shalat sama sekali karena takut tidak istiqamah, begitu pula puasa dan ibadah lainnya.
Kepada saudari itu saya berkata, “apabila semua orang mengaplikasikan logika anda tersebut, mereka akan meninggalkan seluruh kewajibannya pada akhirnya nanti! Mereka akan meninggalkan shalat lima waktu karena mereka takut tidak dapat melaksanakan satu saja waktu shalat itu. Mereka akan meninggalkan puasa di bulan ramadhan, karena mereka takut tidak dapat menunaikan satu hari ramadhan saja di bulan puasa, dan seterusnya. Tidakkah kamu melihat bagaimana syetan telah menjebakmu lagi dan memblokade petunju bagimu? Allah SWT menyukai ketaatan yang berkesinambungan walaupun hanya suatu ketaatan yang sangat kecil atau dianjurkan. Lalu bagaimana dengan sesuatu yang benar-benar diwajibkan sebagaimana kewajiban memakai jilbab? Rasulullah SAWW bersabda; “Perbuatan yang paling dicintai Allah adalah perbuatan mulia yang terus menerus, yang mungkin orang lain anggap kecil.” Mengapa kamu saudariku, tidak melihat alasan mereka yang dibuat-buat untuk menanggalkan kembali jilbab mereka dan menjauhi mereka? Mengapa tidak kau buka tabir kebenaran dan berpegang teguh padanya? Allah SWT sesungguhnya telah berfirman; “maka kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang di masa kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. AL BAQARAH 2:66). Kesimpulannya, apabila kau memang teguh petunjuk dan merasakan manisnya keimanan, kau tidak akan meninggalkan sekali pun perintah Allah SWT setelah kau melaksanakannya.

6. Takut tidak laku, jadi selama ia belum menikah, maka ia tidak mengenakan jilbab.
Jawabannya, adalah ucapan itu sebenarnya tidak sebenarnya. Justru berakibat buruk pada dirinya sendiri. Sesungguhnya pernikahan adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebagian besar orang audah meyakini bahwa jodoh di tangan Tuhan. Betapa banyak gadis yang berjlbab dan menutup aurat dalam berbusana tetapi lebih cepat mendapatkan jodoh dibandingkan mereka yang berpakaian seksi. Karena wanita yang menyukai pakaian seksi akan dijadikan permainan bagi laki-laki iseng.

Gadis-gadis berpakaian seksi dipandang sebagai gadis murahan. Sesungguhnya suami-suami yang menyukai wanita-wanita yang berpakaian ‘berani’, setengah bugil atau beneran, membuka aurat dan bermaksiat kepada Allah adalah bukan tipe suami yang baik, yang shalih dan berjiwa besar. Ia tidak punya rasa cemburu sama sekali terhadap larangan-larangan Allah dan tidak dapat memberikan pertolongan kepada isterinya kelak. Jadi jika wanita yang menyukai pakaian seksi atau melepaskan jilbab dengan tujuan mendapatkan jodoh yang baik, maka hal itu sungguh merupakan suatu kebodohan.
Saudariku, suami mana pun yang lebih menyukaimu tidak memakai jilbab dan membiarkan auratmu di depan umum, berarti dia tidak mengindahkan hukum dan perintah Allah SWT dan bukanlah suami yang berharga sejak semula. Dia adalah suami yang tidak memiliki perasaan untuk melindungi dan menjaga perintah Allah SWT, dan jangan pernah berharap tipe suami seperti ini akan menolongmu menjauhi api neraka, apalagi memasuki surga Allah SWT. Sebuah rumah yang dipenuhi dengan ketidak-taatan kepada Allah SWT, akan selalu menghadapi kepedihan dan kemalangan di dunia kini dan bahkan di akhirat nanti. Allah SWT bersabda; “dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. TAHA 20:124). Pernikahan adalah sebuah pertolongan dan keberkahan dari Allah SWT kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Berapa banyak wanita yang ternyata menikah sementara mereka yang tidak memakai jilbab tidak?

Apabila kau, saudariku tersayang, mengatakan bahwa ketidak-tertutupanmu kini adalah suatu jalan menuju sesuatu yang murni, asli, yaitu pernikahan. Tidak ada ketertutupan. Saudariku, suatu tujuan yang murni, tidak akan tercapai melalui jalan yang tidak murni dan kotor dalam Islam. Apabila tujuannya bersih dan murni, serta terhormat, maka jalan menuju kesana pastilah harus dicapai dengan bersih dan murni pula. Dalam syariat Islam kita menyebutnya : Alat atau jalan untuk mencapai sesuatu, tergantung dari peraturan yang ada untuk mencapai tujuan tersebut. Kesimpulannya, tidak ada keberkahan dari suatu perkawinan yang didasari oleh dosa dan kebodohan.

7. Menampakkan anugerah tubuh yang indah atau ingin menghargai kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya.
Jawabnya menghargai atau bersyukur itu dengan porsi yang benar. Bersyukur itu dengan mengahrgai perintah-Nya, yakni menjaga aurat, bukan dengan mengobralnya.
Jadi saudari kita ini mengacu pada Kitab Allah selama itu mendukung kepentingannya dan pemahamannya sendiri ! ia meninggalkan tafsir sesungguhnya dibelakang ayat itu apabila hal itu tidak menyenangkannya. Apabila yang saya katakan ini salah, mengapa saudari kita ini tidak mengikuti ayat : “janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak daripadanya” (QS An-Nur 24: 31] dan sabda Allah SWT: “katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya..” (QS Al-Ahzab 33:59). Dengan pernyataan darimu itu, saudariku, engkau telah membuat syariah sendiri bagi dirimu, yang sesungguhnya telah dilarang oleh Allah SWT, yang disebut at-tabarruj dan as-sufoor. Berkah terbesar dari Allah SWT bagi kita adalah iman dan hidayah, yang diantaranya adalah menggunakan hijab. Mengapa kamu tidak mempelajari dan menelaah anugerah terbesar bagimu ini? Kesimpulannya, apakah ada anugerah dan pertolongan terhadap wanita yang lebih besar daripada petunjuk dan hijab?
8. Belum mendapat hidayah, jilbab itu ibadah. Jika Allah memberi hidayah, pasti kami akan mengenakannya.
Jawabnya, Allah menciptakan segala sesuatu itu ada sebab-sebabnya. Misalnya orang yang sakit jika ingin sembuh hendaknya menempuh sebab-sebab bagi kesembuhannya. Adapun sebab yang harus ditempuh adalah berikhtiar dan berobat. Sebab orang kenyang karena makan, dsb. Maka demikian pula orang yang ingin mendapatkan hidayah itu harus menempuh sebab-sebab datangnya hidayah yakni dengan mematuhi perintah-Nya mengenakan jilbab.
Saya bertanya kepada saudariku ini, rencana atau langkah apa yang ia lakukan selama menunggu hidayah, petunjuk dari Allah SWT seperti yang dia katakan? Kita mengetahui bahwa Allah SWT dalam kalimat-kalimat bijak-Nya menciptakan sebab atau cara untuk segala sesuatu. Itulah mengapa orang yang sakit menelan sebutir obat untuk menjadi sehat, dan sebagainya. Apakah saudariku ini telah dengan seluruh keseriusan dan usahanya mencari petunjuk sesungguhnya dengan segala ketulusannya, berdoa, sebagaimana dalam surah Al-Fatihah 1:6 “Tunjukilah kami jalan yang lurus” serta berkumpul mencari pengetahuan kepada muslimah-muslimah lain yang lebih taat dan yang menurutnya telah diberi petunjuk dengan menggunakan jilbab? Kesimpulannya, apabila saudariku ini benar-benar serius dalam mencari atau pun menunggu petunjuk dari Allah SWT, dia pastilah akan melakukan jalan-jalan menuju pencariannya itu.

9. Belum waktunya. Sebagian ada yang berkata bahwa mengenakan jilbab itu harus tepat waktunya, misalnya karena masih anak-anak atau masih remaja. Ada yang akan mengenakannya jika sudah tua. Atau jika sudah menunaikan ibadah haji.
Jawabnya adalah alasan mengulur-ulur waktu itu hanyalah sebagai sekedar dalil pembenaran saja. Itu sama artinya dengan orang yang menunda-nunda shalat, menunggu sampai ia berusia tua. Apakah kita tahu kapan kita akan meninggal dunia? Sedangkan mati itu tidak mengenal usia, tua maupun muda.
Malaikat kematian, saudariku, mengunjungi dan menunggu di pintumu kapan saja Allah SWT berkehendak. Sayangnya, saudariku, kematian tidak mendiskriminasi antara tua dan muda dan ia mungkin saja datang disaat kau masih dalam keadaan penuh dosa dan ketidaksiapan Allah SWT bersabda; “tiap umat mepunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (QS Al-An’aam 7:34] saudariku tersayang, kau harus berlomba-lomba dalam kepatuhan pada Allah SWT; “berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumu..”(QS Al-Hadid 57:21).

Saudariku, jangan melupakan Allah SWT atau Ia akan melupakanmu di dunia ini dan selanjutnya. Kau melupakan jiwamu sendiri dengan tidak memenuhi hak jiwamu untuk mematuhi-Nya. Allah mengatakan tentang orang-orang yang munafik, “dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri”(QS Al-Hashr 59: 19) saudariku, memakai jilbab di usiamu yang muda, akan memudahkanmu. Karena Allah SWT akan menanyakanmu akan waktu yang kau habiskan semasa mudamu, dan setiap waktu dalam hidupmu di hari pembalasan nanti.Kesimpulannya, berhentilah menetapkan kegiatanmu dimasa datang, karena tidak seorang pun yang dapat menjamin kehidupannya hingga esok hari.

10. Tidak mau dianggap sebagai orang yang mengikuti golongan tertentu.
Jawabannya, bahwa anggapan ini karena dangkalnya pemahaman terhadap Islam atau karena dibuat-buat untuk menutupi diri agar tidak dituduh melanggar syari’at. Sesungguhnya di dalam Islam itu hanya ada dua golongan, yaitu golongan Hizbullah, golongan yang senantiasa menaati perintah Allah dan golongan Hizbus Syaithan, yakni golongan yang melanggar perintah Allah.
Saudariku, hanya ada dua kelompok dalam Islam. Dan keduanya disebutkan dalam Kitabullah. Kelompok pertama adalah kelompok / tentara Allah (Hizbullah) yang diberikan pada mereka kemenangan, karena kepatuhan mereka. Dan kelompok kedua adalah kelompok syetan yang terkutuk (hizbush-shaitan) yang selalu melanggar Allah SWT. Apabila kau, saudariku, memegang teguh perintah Allah SWT, dan ternyata disekelilingmu adalah saudara-saudaramu yang memakai jilbab, kau tetap akan dimasukkan dalam kelompok Allah SWT. Namun apabila kau memperindah nafsu dan egomu, kau akan mengendarai kendaraan Syetan, seburuk-buruknya teman.

Tambahan lagi

  • ALASAN : Saya belum benar-benar yakin akan fungsi/kegunaan jilbab

    Kami kemudian menanyakan dua pertanyaan kepada saudari ini; Pertama, apakah ia benar-benar percaya dan mengakui kebenaran agama Islam? Dengan alami ia berkata, Ya, sambil kemudian mengucap Laa Ilaa ha Illallah! Yang menunjukkan ia taat pada aqidahnya dan Muhammadan rasullullah! Yang menyatakan ia taat pada syariahnya. Dengan begitu ia yakin akan Islam beserta seluruh hukumnya. Kedua, kami menanyakan; Bukankah memakai jilbab termasuk hukum dalam Islam? Apabila saudari ini jujur dan dan tulus dalam ke-Islamannya, ia akan berkata; Ya, itu adalah sebagian dari hukum Islam yang tertera di Al-Quran suci dan merupakan sunnah Rasulullah SAWW yang suci. Jadi kesimpulannya disini, apabila saudari ini percaya akan Islam dan meyakininya, mengapa ia tidak melaksanakan hukum dan perintahnya?
  • ALASAN : Posisi dan lingkungan saya tidak membolehkan saya memakai jilbab.

    Saudari ini mungkin satu diantara dua tipe: dia tulus dan jujur, atau sebaliknya, ia seorang yang membohongi dirinya sendiri dengan mengatasnamakan lingkungan pekerjaannya untuk tidak memakai jilbab. Kita akan memulai dengan menjawab tipe dia adalah wanita yang tulus dan jujur. “Apakah anda tidak tidak menyadari saudariku tersayang, bahwa wanita muslim tidak diperbolehkan untuk meninggalkan rumah tanpa menutupi auratnya dengan hijab dan adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk mengetahuinya? Apabila engkau, saudariku, menghabiskan banyak waktu dan tenagamu untuk melakukan dan mempelajari berbagai macam hal di dunia ini, bagaimana mungkin engkau dapat sedemikian cerobohnya untuk tidak mempelajari hal-hal yang akan menyelamatkanmu dari kemarahan Allah dan kematianmu?” Bukankah Allah SWT telah berfirman; “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl : 43). Belajarlah untuk mengetahui hikmah menutup auratmu. Apabila kau harus keluar rumahmu, tutupilah auratmu dengan jilbab, carilah kesenangan Allah SWT daripada kesenangan syetan. Karena kejahatan dapat berawal dari pemandangan yang memabukkan dari seorang wanita.

    Saudariku tersayang, apabila kau benar-benar jujur dan tulus dalam menjalani sesuatu dan berusaha, kau akan menemukan ribuan tangan kebaikan siap membantumu, dan Allah SWT akan membuat segala permasalahan mudah untukmu. Bukankah Allah SWT telah berfirman; “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..”(QS. AtTalaq :2-3). Kedudukan dan kehormatan adalah sesuatu yang ditentukan oleh Allah SWT. Dan tidak bergantung pada kemewahan pakaian yang kita kenakan, warna yang mencolok, dan mengikuti trend yang sedang berlaku. Kehormatan dan kedudukan lebih kepada bersikap patuh pada Allah SWT dan Rasul-Nya SAWW, dan bergantung pada hukum Allah SWT yang murni. Dengarkanlah kalimat Allah; “sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu..”(QS. Al-Hujurat:13).Kesimpulannya, lakukanlah sesuatu dengan mencari kesenangan dan keridhoan Allah SWT, dan berikan harga yang sedikit pada benda-benda mahal yang dapat menjerumuskanmu.
Saudariku,
Jangan biarkan tubuhmu dipertontonkan di pasar para syetan dan merayu hati para pria. Model rambut, pakaian ketat yang mempertontonkan setiap detail tubuhmu, pakaian-pakaian pendek yang menunjukkan keindahan kakimu, dan semua yang dapat membangkitkan amarah Allah SWT dan menyenangkan syetan. Setiap waktumu yang kau habiskan dalam kondisi ini, akan terus semakin menjauhkanmu dari Allah SWT dan semakin membawamu lebih dekat pada syetan. Setiap waktu kutukan dan kemarahan menuju kepadamu dari surga hingga kau bertaubat. Setiap hari membawamu semakin dekat kepada kematian. “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain dari kesenangan yang memperdayakan” (QS Ali ‘Imran 3:185). Naikilah kereta untuk mengejar ketinggalan, saudariku, sebelum kereta itu melewati stasiunmu. Renungkan secara mendalam, saudariku, apa yang terjadi hari ini sebelum esok datang. Pikirkan tentang hal ini, saudariku, sekarang, sebelum semuanya terlambat !

Sumber
Sumber 2



Baca selengkapnya

26 Mei, 2009

Istri Selingkuh?

Istri Selingkuh?

Begitu mudah kiranya setan itu menggoda hamba-gambanya walau hanya melewati lubang rambut dikulit-kulit kita, begitu mudah mata ini menilai yang dilihatnya, begitu besar prasangka yang dihadirkan iblis laknatullah terhadap apa-apa yang yang kita sayangi, benarlah kata allah bahwa semua yang kamu miliki adalah cobaan bagi kamu, benarlah kata allah jika harta, anak, istri adalah cobaan bagi kita,

Sebuah pelajaran penting bagi kita semoga dapat kita mengambil manfaat dari pertanyaan seorang suami yang mendapati istrinya dalam dugaan selingkuh, betapa susah menentukan istrinya berseingkuh, betapa lebih susah mengatakan bahwa istri telah berzina dikarenakan syarat dan ketentuan mengatakan zina itu cukup berat, kalau sampai tidak memenuhi syarat maka jatuhlah pernyataan itu dalam fitnah,

Sedari kecil kita dididik dalam pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, seorang wanita banyak mempunyai teman lak-laki dengan bebas dan itu dianggap pergaulan biasa, wajar dan umunya memang demikian, maka kalaulah ketika ia bersuami harus menjaga dirinya dari hal itu sungguh hal itu sangat sulit dan mungkin dikatakan mustahilun, sikap dan kebiasaan seperti ini bukanlah hal yang dapat berubah dengan instan layaknya mie intsan yang hanya tinggal diseduh maka jadilah ia makanan yang lain, tidak ,,sungguh tidaklah demikian,

Kedekatan kita terhadap lawan jenis jika kita sudah menikah atau mungkin belum saya rasa banyak mudharatnya dibanding manfaatnya, lebih banyak dosanya dibanding pahalanya,

akhir kata semoga jawaban ustadz kholid ini bisa memberi pemahaman dan ilmu yang bermanfaat khususnya bagi diri saya pribadi, dan pembaca pada umunya

==============++++++++++++++++++++++++++=============
Assalamualaikum Ustadz, Ana mau tanya apakah tindakan yang paling tepat sesuai dengan tuntunan Islam jika seorang suami mengetahui istrinya selingkuh dengan laki-laki lain, dan sudah sangat diduga pernah berzina dengan laki-laki itu. Apakah suami tersebut wajib menceraikan istrinya, sementara dia masih menyayangi isterinya dan isterinya juga tidak mau sekali kalau diceraikan. Syukron ya Ustadz. Wassalam


Ustadz Kholid menjawab:

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Kebebasan bergaul yang berkembang dan sudah menjadi adat yang mendarah daging dalam sebagian kaum muslimin adalah satu musibah besar dan berimplikasi sangat buruk. Implikasi buruk ini tidak hanya mengenai sang wanita atau pria saja namun juga berakibat buruk bagi tatanan keluarga dan masyarakat. Karena itulah Islam memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis dengan demikian indah dan kuatnya, sehingga kemungkinan muncul perselingkuhan, pacaran dengan cinta monyet serta perzinahan dapat dicegah dan diputus sejak awal. Ditambah lagi dengan hukuman keras bagi pezina baik yang belum pernah menikah maupun yang pernah menikah. Sayang masyarakat enggan menerapkannya sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan seperti ini. Dalam rumah tangga seorang suami haruslah menjadi pemimpin yang menampakkan kebijakan dan kemampuannya mengatur biduk rumah tangga. Perselingkuhan disamping akibat kebebasan pergaulan yang ada dimasyarakat dan diperkenankan sang suami juga terkadang disebabkan karena sikap suami yang tidak mengetahui kebutuhan istri. Penampilan suami ketika menjumpai istri, cara bergaul dan bersikap sampai cara memberikan nafkah batin terkadang dapat memicu hal tersebut. Yang jelas pergaulan wanita dengan lelaki lain secara bebas akan memberikan opini kepada wanita tipe lelaki yang lain lalu bisa jadi ia banding-bandingkan dengan suaminya. Rasa bosan dengan suami dan mulut buaya dan sikap lelaki lain pun tidak kalah berbahayanya. Oleh karena itu Syari’at islam sangat menekankan seorang wanita membatasi pergaulannya dengan lelaki asing (bukan suami dan mahramnya) dan tidak bersinggungan kecuali karena kebutuhan dan sebatas kebutuhannya saja.

Lalu bagaimana sikap suami bila sudah mendapatkan musibah demikian. Orang yang ia cintai ternyata berselingkuh dengan lelaki lain. Maaf sebelumnya, dugaan berzina yang anda sampaikan memiliki hukum sendiri. Syari’at islam sangat menjaga kehormatan wanita dan mengancam penuduh wanita berzina dengan ancaman berat. Lihat saja firman Allah:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَتَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ . إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ . وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَآءُ إِلآ أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ . وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ . وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذَابَ أَن تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ . وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَآ إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ .

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” (QS. An-Nuur/24: 4-9)

Dalam ayat ini Allah membagi penuduh wanita mu’minah berzina dalam dua kategori:

1. Orang yang menuduh bukan suaminya, maka wajib menghadirkan empat saksi yang melihat langsung kejadiannya atau wanita itu mangakuinya. Apabila terjadi demikian maka wanita itu dihukum dengan hukuman pezina. Namun bila tidak mangakui dan tidak dapat menghadirkkan empat saksi maka penuduh didera (cambuk) delapan puluh kali dan tidak diterima persaksiannya selama-lamanya kecuali bila bertaubat.

2. Suami wanita tersebut, dalam hal ini sama dengan diatas, hanya saja bila wanita tidak mengakui dan ia tidak mampu menghadirkan saksi ia tidak dikenakan hukuman dera. Akan tetapi ia harus melakukan mula’anah (saling melaknat) seperti dalam ayat diatas.

Kembali ke kasus yang anda ceritakan, bila sang istri terbukti selingkuh -walaupun tidak sampai berzina- maka tindakan yang paling tepat -menurut saya- adalah wajib menceraikannya dan tidak sepantasnya seorang suami mempertahankan istri yang telah mencederai kesetiaannya dengan berbuat serong (dengan maknanya yang luas). Sebab, istri telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dipandang remeh. Menjalin hubungan asmara terlarang dengan lelaki lain, siapapun dia.

Syaikh Prof. DR. Shalih Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullah (seorang anggota majelis ulama besar kerajaan saudi Arabia dan anggota Islamic Fiqh Academy (IFQ) Liga Muslim Dunia (Rabithoh al-’Alam al-Islami)) memaparkan: “Apabila keadaan istri tidak lurus agamanya, seperti meninggalkan shalat atau suka mengakhirkan pelaksanaannya di akhir waktu, sementara suami tidak mampu memperbaikinya, atau bila tidak memelihara kehormatannya, maka menurut pendapat yang rajih, suami dalam kondisi ini wajib untuk menceraikan istrinya.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 2/305)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Raahimahullahu Ta’ala berkata: “Jika istri berzina, maka suami tidak boleh tetap mempertahankannya dalam kondisi ini. Kalau tidak, ia menjadi dayyuuts (suami yang membiarkan maksiat terjadi di dalam rumah)”.

Adapun bila ia tidak mau bercerai dan mengaku masih mencintai suaminya, maka ini bohong. Bila ia cinta sama suaminya kenapa harus selingkuh. Wanita yang baik dan normal tidak akan berselingkuh dengan lelaki lain, sebab ia memiliki rasa malu yang jauh lebih besar dari lelaki. Bila ia telah selingkuh dengan lelaki lain maka rasa malu tersebut tentunya hilang dan kemungkinan berselingkuh lagi sangat besar sekali. Bagaimana tidak? Ia tidak puas dengan suaminya yang ada dan telah merasakan keindahan semu selingkuhnya dengan PIL (pria Idaman Lain). Wanita yang secara umum perasaannya lebih menguasai dari akal sehatnya tentu kemungkinan mengulanginya lagi itu sangat mungkin. Apalagi PIL nya tersebut masih membuka pintu baginya.

Karena itu nasehat saya kepada suami, ceraikan saja wanita tersebut dan berilah ia kemudahan untuk mendapatkan yang ia angan-angankan. Dengan bertawakkal kepada Allah dan mengikhlaskan perceraian tersebut kepada Allah maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih daik darinya.

Mudah-mudahan jawaban ini memberikan pencerahan yang gamblang terhadap para suami yang tertimpa musibah memiliki istri tidak setia dan pelajaran bagi kita semua untuk berhati-hati dalam memilih pendamping kita. Lihat agamanya dan akhlaknya nanti kamu akan beruntung, seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.


Sumber

Baca selengkapnya

25 Mei, 2009

Hukum Wudhu Wanita Berkuteks

Hukum Wudhu Wanita Berkuteks


Oleh : Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullahu

Sahkah wudhu wanita yang di kukunya terdapat kuteks?

Jawab: Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Kuteks yang dipakai oleh wanita di kukunya memiliki lapisan/cat yang menempel, sehingga tidak boleh dipakai bila hendak shalat karena menghalangi sampainya air ke bagian jarinya dalam wudhu. Segala sesuatu yang mencegah sampainya air ke anggota wudhu tidak boleh dipakai oleh orang yang berwudhu atau orang yang mandi wajib. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “…Maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian.” (Al Maidah:6)

Kuteks yang dipakai oleh seorang wanita pada kukunya akan menghalangi air mengenai kuku/jarinya sehingga tidak bisa dikatakan ia telah mencuci tangannya. Dengan begitu ia telah meninggalkan suatu kewajiban dari kewajiban-kewajiban wudhu atau mandi.

Adapun wanita yang sedang tidak shalat karena haid tidak mengapa memakai kuteks ini. Hanya saja memakai kuteks termasuk kekhususan wanita-wanita kafir. Karena alasan ini maka tidak boleh memakainya, agar tidak jatuh dalam perbuatan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir.

Aku pernah mendengar sebagian orang berfatwa bahwa memakai kuteks bisa dikiaskan dengan memakai khuf (sementara ada pensyariatan mengusap di atas khuf dan ada ketentuan waktunya), dengan begitu seorang wanita boleh memakainya sehari semalan bila ia sedang tidak safar/bepergian dan tiga hari tiga malam bila ia musafir. Namun ini fatwa yang salah. Karena tidak setiap yang menutupi tubuh seseorang disamakan dengan memakai khuf. Kalau khuf dibolehkan oleh syariat untuk mengusapnya karena umumnya ada kebutuhan. Kedua telapak kaki ini butuh dihangatkan dan butuh ditutup karena keduanya bersentuhan dengan tanah, kerikil, rasa dingin, dan selainnya, maka syariat ini pun mengkhususkan pengusapan di atas keduanya.

Terkadang mereka juga mengkiaskan dengan sorban dan ini pun tidak benar. Karena sorban itu tempatnya di kepala, sementara kepala dari asalnya memang diringankan. Kepala hanya wajib diusap dalam amalan wudhu, beda halnya dengan tangan, kedua tangan harus dicuci. Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memperkenankan wanita mengusap kaos tangannya ketika wudhu, padahal kaos tangan tersebut menutupi tangannya. Ini menunjukkan tidak bolehnya seseorang mengkiaskan segala penghalang/penutup yang menghalangi sampainya air ke anggota wudhu dengan sorban dan khuf.

Yang wajib dilakukan oleh seorang muslim adalah mencurahkan segala kesungguhan dan upayanya untuk mengetahui al haq serta janganlah berfatwa melainkan dalam keadaan ia menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak akan menanyakan kepadanya tentang fatwa tersebut (meminta pertanggungjawabannya), karena ia memberikan penggambaran tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang memberi taufik, yang membimbing kepada ash-shirath al- mustaqim. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh, 11/148-149)

Sumber: Asy Syariah No. 49/V/1430 H/2009, Katagori: Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah, Halaman 89 s.d. 90


http://wahonot.wordpress.com/2009/05/25/hukum-wudhu-bagi-wanita-yang-berkuteks/








Baca selengkapnya

23 Mei, 2009

Hukum Menggunakan Hadits Lemah Dalam Beramal

Hukum Menggunakan Hadits Lemah Dalam Beramal



Hukum Menggunakan Hadits Lemah Dalam Beramal
Hukum Menggunakan Hadits Lemah Dalam Beramal
Sebelumnya Main Selanjutnya

HUKUM MENGGUNAKAN HADITS-HADITS LEMAH DALAM KEUTAMAAN AMAL

Berkata Syaikh Muhadits (ahli hadits) Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah: ”Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu ini telah masyhur bahwa hadits dla’if (lemah) boleh diamalkan dalam fadlailul ‘amal (keutamaan amal). Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan. Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau bahwa hal ini telah disepakati. (Seperti dalam kitab Arba’in Nawawi, pent.) Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena perselisihan dalam hal ini ma’ruf. Sebagian besar para muhaqiq (peneliti) berpendapat bahwa hadits dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan.

Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam kitab Qawaid At-Tahdits, hal: 94 mengatakan bahwa pendapat tersebut diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam ‘Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma’in dan Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakr bin ‘Arabi. Pendapat ini juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hajm.
Saya (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada keraguan padanya karena bebarapa perkara;pertama: Hadits dla’if hanya mendatangkan sangkaan yang salah (dzanul marjuh). Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits dla’if dalam keutamaan amal, hendaknya dia mendatangkan bukti, sungguh sangat jauh!. Kedua: Yang aku pahami dari ucapan mereka tentang keutamaan amal yaitu amal-amal yang telah disyari’atkan berdasarkan hadits shahih, kemudian ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi orang yang mengamalkannya. Maka hadits dla’if dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam keutamaan amal, karena hal itu bukan pensyari’atan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yang diharapkan oleh pelakunya. Oleh karena itu ucapan sebagaian ulama dimasukkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara keutamaan amal walaupun tidak didukung secara ijma’ sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi, yaitu pada amal yang shahih berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Maka dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits dla’if diperbolehkan jika telah adanya hadits shahih yang menunjukkan disyari’atkannya amal itu. Akan tetapi kebanyakan orang yang berpendapat seperti itu tidak dimaksudkan makna seperti itu. Buktinya kita menyaksikan mereka beramal dengan hadits-hadits dla’if yang tidak terkandung dalam hadits-hadits shahih, seperti Imam An-Nawawi dan yang mengikutinya menganggap sunnah menjawab ucapan orang yang mengumandangkan iqamah ketika mengucapkan dua kalimat syahadat (=qadqa matis shalah, qadqa matis shalah) dengan ucapan “aqamahala wa adamaha” (=semoga Allah menegakkannya dan melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini adalah dha’if . [Kelemahan hadits ini dapat dilihat pada; Irwa’ul Ghalil 241. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah; Ilmu Ushulil Bida’, hal: 157. Syaikh ‘Ali Hasan bin Adul Hamid.]

Amal ini tidak ditetapkan pensyari’atannya kecuali pada hadits dla’if tersebut. Meskipun demikian mereka menganggap hal itu merupakan suatu sunnah. Padahal perkara sunnah adalah salah satu hukum diantara kelima hukum (yakni: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) yang harus ditetapkan berdasarkan dalil.

Betapa banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyari’atkan dan disunnahkan bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits lemah yang tidak ada asal pensyari’atannya dalam hadits shahih. Akan tetapi disini tidak mungkin untuk mencantumkan sebagai contoh, cukuplah salah satu contoh yang telah aku sebutkan.

Adapun yang terpenting disini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak mutlak menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam Tabyanul Ujab, hal: 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang keutamaan amal walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seharusnya hal ini diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya menyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits dla’if dan mensyari’atkan apa yang tidak disyari’atkan atau sebagian orang-orang jahil (=bodoh) menyangka bahwa hadits itu adalah shahih.

Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain- lain.
Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam:

“Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap hadits itu dusta, maka dia termasuk seorang pendusta” [Untuk lebih jelasnya lihat permasalahn ini pada kitab Syarh Shahih Muslim, juz: 1, bagian muqadimah. Imam An-Nawawi Ad- Damsiqi rahimahullah.]

Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?!. Tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara keutamaan amal, sebab semuanya adalah syari’at.

Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dengan hadits-hadits hla’if dalam keutamaan amal;
- Hadits itu tidak maudlu’ (=palsu).
- Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu adalah dha’if.
- Tidak memasyhurkan untuk beramal dengannya.

Akan tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya, mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga (hadits) tersebut tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits shahih!. Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah dikalangan kaum Muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanad-sanad (=jalan, pent) yang shahih.

Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi, sebab satupun diantara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tanpak.

Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidz Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh beramal dengan hadits dla’if berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam keutamaan amal sebab semuanya adalah syari’at.

Inilah yang haq, karena hadits dla’if yang tidak ada penguatnya kemungkinan adalah maudlu’ (=palsu), bahkan umumnya palsu dan mungkar. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dla’if termasuk dalam ucapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam:”…yang dianggap hadits itu dusta”, yaitu dengan menampakkan demikian. Oleh karena itu Al-Hafidz menambahkan dengan ucapannya:”Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya”.

Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk dalam hadits ini. Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidz (Ibnu Hajar):”Maka bagaimanakah dengan orang yang mengamalkannya”.
Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar tersebut. Adapun jika ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu’ (=palsu) dan tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan keutamaan adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al-Hafidz, sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dla’if, bukan maudlu’ sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.

Apa yang kami sebutkan tidak menafi’kan (=meniadakan) bahwa Al-Hafidz (Ibnu Hajar) menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dla’if. Sebab kita katakan bahwa Al-Hafidz menyebutkan perkataan itu kepada orang-orang yang membolehkan memakai hadits dla’if dalam perkara keutamaan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seakan-akan beliau berkata kepada mereka:”Jika kalian berpendapat demikian, maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini”.

Al-Hafidz tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam membolehkan (beramal dengan hadits-hadits yang dla’if) dengan syarat-syarat itu. Bahkan diakhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kami terangkan.
Kesimpulannya, bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat itu ketika mengamalkan hadits dla’if, Wallahu Muwaffiq. Demikian perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.

[Tamamul Minah Fii Ta’liq Fiqh Sunnah, hal: 34-38. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Dinukil dari majalah Salafy edisi: XXIII/Ramadlan/1418H/1996, hal: 23-25.]

Baca selengkapnya
HADITS-HADITS LEMAH HISNUL MUSLIM

HADITS-HADITS LEMAH HISNUL MUSLIM



HADITS-HADITS LEMAH HISNUL MUSLIM

1. Do’a Ketika Masuk Rumah.

بسم الله ولجنا, وبسم الله خرجنا, وعلى ربنا توكلنا... {أخرجه أبو داود 4/325)
“Dengan menyebut nama Allah kami masuk (ke rumah), dan dengan nama Allah kami keluar (darinya) dan kepada Rabb kami, kami bertawakal...” (HR. Abu Dawud 4/325)

Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam kitab Dla’if Abi Dawud no. 5096; Al-Kalamut Thayyib no. 62.
Ucapan salam ketika memasuki rumah merupakan perintah Allah Ta’ala, hal ini sebagaimana firman-Nya:
فإذا دخلتم بيوتا فسلموا على أنفسكم تحيتة من عند الله مباركة طيبة {سورة النور:61)
“Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkah lagi baik” (QS. An-Nuur: 61).

2. Do’a Al-Istiftah.
الله أكبرا كبيرا, الله أكبرا كبيرا, الله أكبرا كبيرا, والحمد لله كثيرا, والحمد لله كثيرا, والحمد لله كثيرا, وسبحان الله بكرة وأصيلا {ثلاثا} أعوذ بالله من الشيطان: من نفخه, ونفثه, وهمزه (أخرجه أبو داود 1/ 203؛ إبن ماجة 1/256؛ أحمد 4/85)
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore” (dibaca 3 kali). “Aku berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan dan godaan Syaithan” (HR. Abu Dawud 1/203; Ibnu Majah 1/256; Ahmad 4/85).

Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Abu Dawud no. 764; Dla’if Ibnu Majah no. 155; Al-Misykah no. 817; Irwa’ul Ghalil no. 342.

3. Dzikir-dzikir di Waktu Pagi dan Sore.
اللهم إني أصبحت أشهدك وأشهد حملة عرشك, وملائكتك وجميع خلقك, أنك أنت الله لا إله إلا أنت وحدك لا شريك لك, وأن محمدا عبدك ورسولك {أربع مرات} (أخرجه أبو داود 4/317؛ البخاري في الأدب المفرد برقم: 1201؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 9؛ إبن السني برقم: 70)
“Ya Allah! Sesungguhnya aku di waktu pagi mempersaksikan Engkau malaikat yang memikul Arsy-Mu, malaikat-malaikat dan seluruh makhluk-Mu, sesungguhnya Engkau adalah Allah, Tiada Rabb kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi- Mu dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu” (dibaca 4 kali) (HR. Abu Dawud 4/317; Bukhari dalamAdabul Mufrad no. 1201; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah no. 9; Ibnu Sinni no. 70).

Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Adabul Mufrad no. 1201; Dla’if Jami’ Ash-Shaghir no. 5729; Al-Kalamut Thayyib no. 25; Ad-Dla’ifah no. 1041
Dan juga hadits:
اللهم ما أصبح بي من نعمة أو بأحد من خلقك فمنك وحدك لا شريك لك, فلك الحمد ولك الشكر (أخرجه أبو داود 4/318؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 7؛ إبن السني برقم: 41؛ إبن حبان رقم: 2361)

“Ya Allah! Nikmat yang kuterima atau diterima oleh seseorang diantara makhluk-Mu di pagi ini adalah dari-Mu. Maha Esa Engkau, tiada sekutu bagi-Mu, segala puji dan syukur kepada-Mu” (HR. Abu Dawud 4/318; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al- Lailah no. 7; Ibnu Sinni no. 41; Ibnu Hibban no. 2361).

Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Jami’ Ash- Shaghir no. 5730; Kalamut Thayyib no. 26.
Dan juga hadits:
حسبي الله لا إله ألا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم {سبع مرات} (أخرجه إبن السني برقم: 71؛ أبو داود 4/321)
“Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhanku), tidak ada Rabb kecuali Dia, kepada-Nya aku bertawakal. Dialah Rabb yang menguasai Arsy yang agung” (dibaca 7 kali) (HR. Ibnu Sinni no. 71; Abu Dawud 4/321)

Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ad-Dla’ifah no. 5286 bahkan hadits ini Maudlu’ [Lihat Dla’if Abi Dawud no. 5081.]
Dan juga hadits:
رضيت بالله ربا, وبالإسلام دينا, وبمحمد –صلى الله عليه وسلم- نبيا {ثلاث مرات} (أخرجه أحمد 4/337؛ النسائي في عمل اليوم والليلة برقم: 4؛ إبن السني برقم: 68؛ أبو داود 4/418؛ الترمذي 5/465)
“Aku ridlo Allah adalah Rabb-ku, Islam adalah agamaku, dan Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam adalah nabiku” (dibaca 3 kali) (HR. Ahmad 4/337; An-Nasa’I dalam ‘Amal Al-Yaum Wa Al-Lailah no. 4; Ibnu Sinni no. 68; Abu Dawud 4/418; At-Tirmidzi 5/465)
Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dla’if Jami’ Ash- Shaghir no. 5734; Al-Misykah no. 2399; Kalamut Thayyib no. 24; Ad-Dla’ifah no. 5020; Shahih wa Dla’if Sunan At-Tirmidzi no. 3389.
Dan juga hadits:
أصبحنا وأصبح الملك لله رب العالمين, اللهم إني أسألك خير هذا اليوم: فتحه, ونصره ونوره, وبركته, وهداه, وأعوذ بك من شر ما فيه وشر ما بعده (أخرجه أبو داود 4/322)
“Kami masuk pagi, sedang kerajaan hanya milik Allah, Rabb seru sekalian alam. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar memperoleh kebaikan, pembuka (rahmat), pertolongan, cahaya, berkah dan petunjuk di hari ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang ada didalamnya dan kejahatan sesudahnya” (HR. Abu Dawud 4/322)

Hadits ini didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dla’ifah no. 5606 dan Dla’if Sunan Abi Dawud no. 5084.

4. Dzikir-dzikir Ketika Tidur.
اللهم قني عذابك يوم تبعث عبادك {ثلاث مرات} (أخرجه أبو داود 4/311؛ أنظر صحيح الترمذي 3/143)
“Ya Allah! Jauhkanlah aku dari siksaan-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu” (dibaca 3 kali) (HR. Abu Dawud 4/311 dan ini merupakan lafadznya. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/143).

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam As-Shahihah no. 2754; Shahih Adabul Mufrad no. 1215 jika tidak ada penambahan kalimat “dibaca 3 kali”.

Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah:”Sedangkan penambahan kalimat ‘dibaca 3 kali’ adalah mungkar atau syadz. Sesungguhnya hadits ini telah dishahihkan oleh Al- Hafidz dan orang-orang yang taqlid kepadanya pada jaman sekarang…” . [Lihat Ta’liq pada kitab Shahih Adabul Mufrad, hal: 470]

Wallahu Ta’ala a’lam wa Ahkam

Daftar Pustaka
1. Shahih wa Dla’if Al-Jami’ As-Shaghir (3 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin Al- Albani rahimahullah. Penerbit: Al-Maktabah Al-Islamiy, Bairut-Libanon.
2. Sunan At-Tirmidzi (Shahih wa Dla’if) (1 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin Al- Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Linnasyir Wa At-Tauji’, Riyadl- KSA.
3. Shahih wa Dla’if Sunan Abi Dawud (4 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin Al- Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Linnasyir Wa At-Tauji’, Riyadl- KSA.
4. Shahih wa Dla’if Sunan Ibnu Majah (4 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin Al- Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Linnasyir wa At-Tauji’, Riyadl- KSA.
5. Irwa’ul Ghalil Fii Takhrij Ahadits Manaarus Sabiil (9 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Al-Maktabah Al-Islamiy, Bairut- Libanon.
6. Silsilah Ahadits Ad-Dla’ifah (13 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Linnasyir Wa At-Tauji’, Riyadl-KSA.
7. Silsilah Ahadits As-Shahihah (11 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Linnasyir Wa At-Tauji’, Riyadl-KSA.
8. Shahih Wa Dla’if Adabul Mufrad (2 Jilid); Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Penerbit: Dar As-Shadiq, Makkah Al-Mukaramah-KSA.
9. Tarjamah Hisnul Muslim; Mahrus ‘Ali. Penerbit: Muasasah Al-Jaresiy, Riyadl-KSA.
(Dikutip dari tulisan Al Akh Abu Muhammad Abdur Rahman, murid asy Syaikh Kholid Az Zufairi hafidhohullah, Kuwait.)
Ebook compiled by akhukum fillah La Adri At Tilmidz
Semoga bermanfaat
Baca selengkapnya
Diberdayakan oleh Blogger.