24 September, 2011

20 ribu warga Aceh pindah agama


INILAH.COM, Banda Aceh - Dalam 10 tahun terakhir, sekitar 20 ribu warga Aceh pindah agama dari Islam ke non-muslim.
Data mengejutkan ini disampaikan Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar yang menjadi khatib salat Jumat di Mesjid Lamgugup, Syiahkuala, Banda Aceh, Jumat (23/9).
Wagub menyatakan data sekitar 20 ribu warga Aceh telah pindah agama itu kini sudah berada di pemerintah.
“Kami memiliki data berupa nama dan alamat mereka semua. Namun kita tidaklah harus salahkan mereka (karena berpindah agama), melainkan kesalahan pribadi dari diri kita masing-masing yang tidak lagi menjadikan agama sebagai bagian dari kehidupan kita,” sebut Muhammad Nazar dalam khutbahnya.
Menurutnya, kebanyakan warga yang pihak agama tersebut adalah kaum muda dari berbagai suku dan kabupaten di Aceh, terutama di perbatasan. Modus kepindahan agama sejumlah warga Aceh itu didominasi melalui status perkawinan.
Dijelaskannya, banyak warga non-muslim yang berpura-pura masuk Islam kemudian menikahi wanita atau pria warga Aceh. Setelah memiliki anak, warga tadi kembali memeluk agama asal dan meminta istri atau suami ikut serta dengan alasan cinta.
”Modus ini terulang berulang di Aceh. Namun karena kita sendiri (warga Aceh) sibuk berpecah-belah serta melupakan dasar dari agama Islam, sehingga persoalan itu terabaikan,” katanya.
Apalagi, lanjut dia, sekarang ini sakralitas agama Islam di Aceh juga mulai hilang. “Provinsi Aceh kini dikenal di nusantara karena pemarah serta aksi premanisme. Bukan lagi karena Islam yang mengajarkan lemah lembut kepada saudara seimannya,” papar dia.
Parahnya lagi, tambah dia, posisi agama sekarang menjadi nomor dua di Aceh setelah politik. Dengan politik, orang mau melakukan apapun, seperti memfitnah, menudung orang lain kafir, serta membunuh.
”Padahal, perilaku ini sangat dilarang sejak dulu oleh Rasulullah SAW. Semua prilaku ini bukanlah ajaran Islam, namun kini dipraktekkan di Aceh,” katanya.
Di akhir khotbah Jumat, Muhammad Nazar meminta jamaah untuk kembali memperkuat uhkuwah islamiyah serta menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan bernegara.
”Jika ini mulai hilang. Maka, jangan salahkan tindakan anak cucu kita nantinya jika mereka mencari agama baru selain Islam,” katanya. [mor]

Sumber

Lihatlah segala cara mereka lakukan, namun hal ini tidak bisa kita cegah dengan kekerasan dan demo dijalan, mulai dari diri kita sendiri, mulai dari  keluarga kita, mulai dari sanak sodara kita, kita tanamkan ketataan bergama dengan pemahaman tauhid yang benar, Benar firman ALlah mereka tidak akan pernah rela hingga kita mengikuti mereka sejengkal demi sejengkal hingga kita serupa dengannya, dan benar janji allah, allah akan mengganti yang lebih baik jika kita meninggalkan sesuatu karena Allah :)

http://widiy.blogspot.com/
Catatan Al_Fakir
Baca selengkapnya

22 September, 2011

Mana dalilnya (buku) ini Dalilnya (jawaban)

Mana dalilnya (buku) ini Dalilnya (jawaban)

 Kutipan dari ; http://basweidan.wordpress.com
Mukaddimah
mana dalilnya1 1 Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamien… kami menyanjung-Nya, mengharap pertolongan dari-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Kami juga berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Namun barangsiapa dibiarkan sesat oleh-Nya, maka tiada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tiada ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad saw adalah hamba dan utusan-Nya…. penghulu sekalian manusia dan pemimpin orang-orang bertakwa… semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepadanya, keluarganya, sahabatnya, dan setiap orang yang berpegang teguh dengan Sunnah-Nya…. aamien.
Amma ba’du,

Memang… saat ini kita hidup di zaman yang penuh fitnah[1]). Ada fitnah yang menyerang fisik, ada yang menyerang hati, dan ada pula yang menyerang pemikiran. Sebagian orang tenggelam dalam fitnah ini tanpa peduli… sebagian lagi tenggelam dengan sadar… dan sejumlah orang terjerumus ke dalamnya karena ikut-ikutan.

Orang yang hatinya hidup sampai-sampai heran terhadap apa yang dilihatnya. Wajah-wajah telah berubah, bukan lagi seperti yang dikenalnya dahulu… amal perbuatan tak lagi seperti yang diajarkan… dan akal fikiran pun tak lagi mendapat cahaya dari Allah ‘azza wa jalla.

Fitnah tersebut telah membaur dengan masyarakat dan demikian akrab dengan aktivitas mereka, hingga orang yang berada di atas kebenaran seakan terasing di tengah kaumnya.
 Diantara fitnah yang paling berbahaya dan paling menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus ialah; fitnah yang menghalangi perwujudan makna syahadatain; syahadat bahwa tiada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad saw adalah Rasul-Nya. Alangkah banyak orang yang menebarkan fitnah ini dengan sengaja, dan alangkah banyak orang yang termakan fitnah ini karena taklid buta (ikut-ikutan).

Fitnah semacam ini amat beragam bentuknya, dan semuanya terkumpul di zaman ini. Tak pernah ia terkumpul dalam suatu zaman seperti terkumpulnya di zaman ini… namun, alangkah sedikitnya orang yang faham tentangnya dan berjihad melawannya, padahal pengaruhnya telah sedemikian dahsyat!

Ada sementara kalangan yang bila ditanya tentang makna laa ilaha illallaah mengira bahwa maknanya: tiada pencipta selain Allah. Seakan-akan orang jahiliyah tempo dulu –yang kepadanya Allah mengutus para Rasul– menyatakan bahwa pencipta itu ada banyak, hingga Allah mengutus para Rasul-Nya untuk mengajarkan laa ilaha illallaah.

Padahal, masalah sebenarnya bukanlah karena mereka menganggap ada banyak pencipta, akan tetapi karena mereka menyembah banyak ilah. Karenanya Allah mengutus para Rasul dengan laa ilaha illallaah, yang maknanya persis seperti ucapan para Nabi ‘alaihimussalaam kepada kaumnya: “…Janganlah kalian beribadah (menyembah) kecuali kepada Allah” (Fushshilat: 14).
Makna Ibadah dalam bahasa Arab ialah ketundukan, kerendahan diri dan kekhusyu’an. Berbagai ritual ibadah disebut sebagai ‘ibadah’ ialah karena semuanya dilakukan dengan penuh rendah diri, tunduk dan khusyu’, yang nantinya mewariskan sikap tunduk terhadap Rabbul ‘Alamien atas setiap perintah dan larangan-Nya. Inilah makna ibadah yang difahami bangsa Arab lewat ucapan mereka, dan karena pemahaman inilah mereka tidak mau tunduk kepada laa ilaaha illallaah meski sekedar mengucapkannya!

Hari ini, jika anda perhatikan sikap sebagian orang, anda akan dapati bahwa ketundukan dan kekhusyu’an mereka tatkala berdiri di samping kubur, atau di area pemakaman, atau dalam perjalanan mereka untuk ziarah kubur, adalah lebih besar daripada ketundukan mereka saat berada dalam mesjid yang tidak ada kuburnya.

Di sekitar kubur tadi, anda akan dapati berbagai hal yang membatalkan makna tauhid uluhiyyah yang tak terhitung banyaknya. Entah dengan tawaf mengelilinginya, atau mengatakan: “Wahai Wali Allah, sembuhkan sakitku… hapuskan hutangku… dll. Mereka meyakini bahwa si penghuni kubur memiliki pengaruh di dunia, seakan Allah menyerahkan urusan ini kepada mereka.
Namun ada diantara mereka yang tidak meyakini demikian, tapi mengikuti golongan lain yang berbuat syirik dalam mendekatkan diri kepada Allah, yang nantinya menghantarkan mereka ke syirik akbar seperti sebelumnya. Mereka meminta pada si penghuni kubur agar memberikan syafa’at yang dengannya dosa mereka diampuni, rezeki mereka lancar, musibah yang mereka alami berakhir, dan mereka sembuh dari sakitnya. Mereka menyeru perantara-perantara tadi agar menjadi penghubung antara mereka dengan Allah dalam memenuhi hajat mereka. Seakan-akan Allah ‘azza wa jalla telah menutup pintu-Nya dan tidak lagi mengabulkan hajat dan doa mereka.. atau seakan-akan sikap mereka mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak akan memberi atau menolak sesuatu kecuali dengan perantara, dan ini jelas-jelas meremehkan kekuasaan Allah ‘azza wa jalla.
Anda dapati bahwa mereka mendekatkan dirinya kepada si penghuni kubur dengan berbagai cara. Diantara mereka ada yang berkurban untuk si penghuni kubur dan ada pula yang tawaf mengelilinginya untuk mencari syafa’at.
Dua fenomena syirik akbar tadi sayangnya telah merajalela, laa haula walaa quwwata illa billaah…!! Banyak orang tertipu dengan hal ini, lebih-lebih mereka yang awam. Namun ada juga yang justeru memanfaatkannya sebagai peluang mengumpulkan kekayaan. Praktek semacam ini biasanya sangat laris di kalangan kaum sufi akibat terlalu banyaknya ahli ibadah yang bodoh di kalangan mereka. Akhirnya orang-orang bodoh ini mereka peralat untuk mencari kekayaan pribadi.
Fitnah ini semakin menyebar di kalangan kaum muslimin setelah abad ke-5 H. Pengaruhnya semakin ganas dan meluas, hingga nyaris tak tersisa satu kota pun yang selamat darinya. Di manapun dan kapan pun manusia-manusia itu berada, maka tiap kali diantara mereka ada yang wafat segeralah mereka dirikan kubah/bangunan diatas kuburnya, lalu lokasinya dijadikan tempat ziarah… alias tempat orang mencari syafa’at dan minta-minta.
Kuburan semakin banyak, seiring dengan semakin banyaknya ‘oleh-oleh’ yang dipersembahkan oleh para peziarah… hingga makin banyak pula orang yang tertarik menjadi juru kunci dan mengambil manfaat dari ini semua.
Memang… harta adalah fitnah, sebagaimana pamor dan kekuasaan merupakan fitnah. Mereka yang alergi dengan dakwah tauhid ingin supaya orang-orang selalu mengagungkan mereka. Entah dengan mencium tangan, mengusap-usap pakaian, atau dengan menundukkan ucapan dan anggota badan dihadapan mereka.
Kondisi kaum muslimin hari ini memang terlalu panjang untuk dikisahkan… akan tetapi, intinya tersimpulkan dalam penggalan cerita berikut…
Ketika berada di suatu kota di Afrika, kami [2]) berdebat dengan salah seorang ulama besar yang terjerumus dalam fitnah ini. Ia menghasung orang-orang untuk mengangungkan kuburan beserta para juru kuncinya. Lantas, dimanakah arti ibadah kepada Allah? Bagaimana pula dengan pemahaman akan dua kalimat syahadat?? Dengan enteng orang ini menjawab: “Aku tahu bahwa Anda berada diatas kebenaran, namun… biarlah mereka mencari penghidupan!
Inilah kenyataannya…
Jadi, masalahnya bukan bagaimana memperjuangkan kebenaran dengan dalil-dalilnya, akan tetapi bagaimana mempertahankan pengaruh spiritual, pamor, pengagungan, nama harum, dan kekayaan. Mereka lantas mencari-cari dalil demi melegitimasi perbuatan mereka, walau dengan hadits-hadits palsu atau sekedar akal-akalan.
Menjaga pamor dan kehormatan adalah kunci utama para penjaja bid’ah. Pamor dan kehormatan tadi mereka lestarikan secara turun temurun agar anak cucu mereka kelak menjadi orang kaya dan terpandang. Kalau ada diantara mereka yang binasa, segeralah mereka menjadikan kuburnya sebagai pusara besar yang menjadi tambatan hati para pengikutnya. Dengan demikian, generasi penerusnya akan semakin kaya, terkenal dan disegani.
Di belahan bumi manapun yang disana terdapat pemuja kubur, rata-rata ada sekelompok orang yang tetap berjalan sesuai petunjuk Nabi saw. Mereka tidak silau dengan kekuasaan, tidak pula terpengaruh dengan berbagai syubhat. Mereka adalah orang-orang yang terasing dan dikucilkan di banyak tempat. Mereka mengajak manusia kepada sunnah dan membimbing mereka kepada tauhid. Mereka berusaha menuntun hati manusia agar mengagungkan Allah semata, serta hanya takut dan berharap kepada-Nya. Mereka tidak mengaitkan hati kecuali dengan Penciptanya, bukan dengan ciptaan-Nya. Mereka mencintai karena Allah, membenci karena-Nya dan tidak menyembah selain Dia. Jiwa dan raga mereka selalu tercurah dalam rangka menyeru manusia untuk mengesakan Allah dalam setiap ibadah, baik ibadah jiwa maupun raga.
Mereka dijuluki oleh musuh-musuhnya sebagai wahhabi atau muslim fundamentalis. Musuh-musuh mereka cukup giat dalam menyebarkan buku-buku yang kontradiksi dengan misi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab [3]). Mereka membuat berbagai macam kedustaan atas beliau dan para pengikutnya. Ada yang menuduh beliau mengkafirkan kaum muslimin, mengingkari karamah para wali, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau tidak mengakui kerasulan Rasulullah Muhammad saw.
Metode yang mereka gunakan pun bermacam-macam, sesuai dengan tempat buku-buku tersebut disebarkan. Di beberapa daerah mereka menentang secara terus terang, namun di daerah lain mereka menentang secara sembunyi-sembunyi dengan berbagai kamuflase. Akan tetapi, perang yang mereka lancarkan pada hakikatnya sama saja. Jalan yang mereka lalui adalah jalan lama yang banyak dilalui orang… di kanan kiri jalan tersebut berdiri dai-dai mereka, hingga jika salah satunya berteriak maka semua ikut berteriak menyambutnya.
Di Indonesia, ironisnya fitnah ini justeru disebarkan oleh sebagian mereka yang ‘mengaku’ sebagai ahlul bait (anak cucu Nabi saw) [4]). Salah seorang dari mereka bahkan telah menulis beberapa buku demi melestarikannya. Ia hendak membentuk opini bahwa berbagai ritual keagamaan yang mereka lakukan selama ini bukanlah bid’ah dan syirik, namun justeru dianjurkan dalam Islam.
Cara yang dia tempuh sebenarnya bukan cara ilmiah –sebagaimana yang tersirat dalam judulnya–, namun tak lebih dari sebuah cara yang tujuannya mendukung setiap penyeru kebatilan di manapun mereka berada. Ia menggunakan seribu satu jurus untuk melegitimasi berbagai kebatilan tersebut, meskipun dengan memelintir nash-nash Al Qur’an dan Hadits sesuai keinginannya, atau menamainya dengan bid’ah hasanah, atau mengumpulkan berbagai perkataan ‘ulama’ yang sesuai dengan seleranya meski bertentangan dengan dalil, atau berdalil dengan hadits-hadits yang dho’if bahkan palsu, yang penting mendukung pendapatnya.
Dalam buku Mana Dalilnya 1, si penulis nampaknya memang ahli memutarbalikkan fakta. Tak sekedar mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil, ia bahkan menjadikan yang haq tadi sebagai syubhat yang harus dibantah habis-habisan karena tidak sesuai dengan tarekat-nya. Langkah pertama yang dia lakukan ialah ‘meluruskan’ (baca: memelintir) pengertian bid’ah. Maklum saja, sebab memang tidak ada tarekat sufi yang bersih dari bid’ah. Di mana ada tarekat, disitulah sarang bid’ah dan khurafat.[5]
Buku yang merupakan ungkapan dari keyakinan penulisnya ini memang sarat dengan penyimpangan dalam masalah tauhid. Ia membela bid’ah mati-matian, dan membuka berbagai pintu syirik dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, bahkan dianjurkan!!
Kemungkaran besar ini tentunya tidak boleh didiamkan, sebab itu kami memohon pertolongan kepada Allah dalam menjelaskan yang haq dan membongkar kebatilan mereka. Semoga lembaran-lembaran ini diterima di sisi-Nya sebagai amal shaleh, dan semoga Dia menjadikannya bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.[6]

[1]) Yang dimaksud dengan fitnah ialah cobaan, musibah, bencana, azab, dan apapun yang berdampak negatif bagi manusia.
[2]) Yang bercerita di sini adalah Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alus Syaikh, yang sekarang menjabat Menteri Urusan Agama Saudi Arabia.
[3]) Berangkat dari sini, maka julukan wahhabi yang ditujukan kepada pengikut beliau adalah keliru dari segi lafazh dan maknanya. Dari segi lafazh, mestinya orang yang mengikuti beliau dijuluki Muhammadi bukan wahhabi, karena nama beliau adalah Muhammad dan nama ayahnya Abdul Wahhab, sedangkan Wahhab adalah salah satu nama Allah. Adapun dari segi makna, julukan tadi seakan mengisyaratkan bahwa beliau mengajarkan ajaran baru yang berbeda dari ajaran Islam, padahal siapa pun yang membaca kitab-kitab beliau secara obyektif dan independen, pasti mendapati bahwa beliau tidak membawa ajaran baru, namun sekedar berusaha mengembalikan kaum muslimin kepada Al Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman As Salafus Shaleh. Sebagai bukti, silakan saudara baca kitab beliau yang paling monumental: Kitab Tauhid, yang tiada lain isinya adalah ayat Al Qur’an, Hadits Nabi saw. dan ucapan para ulama.
[4]) Kami tidaklah mengingkari keutamaan mereka (kalaulah mereka memang tergolong ahlul bait). Namun yang kami ingkari ialah sikap dari mayoritas haba-ib tadi yang justeru bertentangan dengan ajaran Rasulullah saw., yang notabene adalah penghulu ahlul bait itu sendiri. Kalau Rasulullah saw. menghabiskan umur beliau demi menegakkan tauhid (memurnikan ibadah kepada Allah), mereka justeru acapkali mengajarkan pengikutnya untuk tabarruk dengan ‘orang shaleh’, menyemarakkan kuburan, tawassul dengan orang mati, dan berbagai pintu syirik lainnya.
Ironis memang, tatkala misi utama Rasulullah saw. di kemudian hari justeru digagalkan oleh mereka yang ‘mengaku’ sebagai anak-cucu beliau…! Sungguh demi Allah, seandainya mereka memperjuangkan dakwah tauhid ini, niscaya kami akan mencintai mereka lebih dari yang lainnya, pertama karena cinta kami terhadap sesama muslim, dan kedua karena kedekatan nasab mereka terhadap orang yang paling kami cintai, yaitu Baginda Rasulullah saw. .
[5]) Perlu diketahui bahwa berkembangnya bid’ah khurafat di kalangan mereka ialah sejak leluhur mereka yang dijuluki Al Faqieh Al Muqaddam (574-651 H) menganut ajaran tasawuf dan menyebarkannya di Hadramaut, Yaman Selatan. Padahal sebelumnya –sejak As Sayyid Ahmad bin ‘Isa Al Muhajir rahimahullah (leluhur mereka yang pertama kali singgah di Hadramaut, wafat sekitar abad 4 H)– mereka adalah tokoh-tokoh Ahlussunnah dan orang-orang shalih yang berjalan sesuai dengan manhaj sahabat. Sangat disesalkan mengapa mereka tidak meneladani leluhur mereka sebelum Al Faqieh Al Muqaddam yang bersih dari bid’ah & khurafat? Bukankah generasi pertama mereka lebih mulia dan lebih pantas untuk diikuti dari pada yang belakangan? (lihat: Tahqiequl Farqi bainal ‘Aamil Bi’ilmihi wa Ghairihi, hal 25-26 (footnote), oleh ‘Allaamah wa Mufti Hadhramaut; As Sayyid Abdurrahman bin ‘Ubeidillah Assaqqaf (w. 1375 H), tahqiq & ta’liq: As Sayyid ‘Alawi bin Abdul Qadir Assaqqaf, cet.1, 1426/2005). Kesufian Al Faqieh Al Muqaddam diakui sendiri oleh Novel Alaydrus dalam bukunya: Jalan Nan Lurus, Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi; hal 97-112.
[6]) Disadur dari mukaddimah kitab: Haadzihi Mafaahimuna, oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalu Syaikh dengan beberapa penyesuaian.

 Lanjutan
Bahagian Pertama
Memahami Akar Permasalahan & Solusinya
mana dalilnya1 1
Dalam kitabnya yang terkenal, Al Imam Al Hafizh Ibnu Rajab -rahimahullah- menjelaskan, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hadits-hadits yang disebut sebagai poros Islam (madaarul Islaam). Diantara pendapat yang beliau nukil di sana ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal[1]), Imam Ishaq ibnu Rahawaih[2]), Imam Utsman bin Sa’id Ad Darimy[3]), dan Imam Abu ‘Ubeid Al Qaasim bin Sallaam[4]) -rahimahumullah-. Akan tetapi dari sekian pendapat yang beragam tadi, semuanya sepakat bahwa hadits ‘Aisyah berikut merupakan salah satu poros Islam:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ e : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البخاري ومسلم, وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan dari padanya, maka perbuatannya itu tertolak” (H.R. Bukhari no 2499 dan Muslim no 3242). Dalam riwayat Muslim lainnya (no 3243) disebutkan: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan urusan kami, maka amalan itu tertolak” (lihat hadits no 5 dalam Al Arba’in An Nawawiyyah).
Dalam penjelasannya, Ibnu Rajab -rahimahullah- mengatakan:
“Hadits ini adalah salah satu kaidah agung dalam Islam. Ia merupakan neraca untuk menimbang setiap amalan secara lahiriah, sebagaimana hadits ‘Innamal a’maalu binniyyah’ (=setiap amalan tergantung pada niatnya) adalah neraca batinnya. Jika setiap amal yang tidak diniatkan untuk mencari ridha Allah pelakunya tidak akan mendapat pahala, maka demikian pula setiap amal yang tidak berlandaskan aturan Allah dan Rasul-Nya, amal tersebut juga pasti tertolak.
Siapa pun yang mengada-adakan perkara baru dalam agama tanpa izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu bukanlah bagian dari agama sedikit pun…” kemudian lanjut beliau: “Lafazh hadits ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak berlandaskan urusan Allah & Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Sedangkan mafhum (makna yang tersirat) dari hadits ini ialah bahwa setiap amalan yang berlandaskan urusan Allah dan Rasul-Nya berarti tidak tertolak. Sedang yang dimaksud dengan ‘urusan kami’ dalam hadits ini ialah agama & syari’at-Nya.
Jadi maknanya ialah: siapa saja yang amalnya keluar dari koridor syari’at, tidak mau terikat dengan tata cara syari’at, maka amalan itu tertolak” [5]).
Sering kali ketika seseorang mendapat teguran bahwa amalan yang diperbuatnya tidak dicontohkan oleh Nabi e -alias bid’ah-; ia beralasan: “Ini kan baik, mengapa mesti dilarang…?!” ini kalau dia agak moderat dan lugu. Tapi sebagian justeru mengatakan: “Semua-semua bid’ah!… tahlilan bid’ah, shalawatan bid’ah, baca Barzanji (mberjanjen) bid’ah… mana dalilnya?. Jawaban kedua ini memang terkesan lebih ‘ilmiah’, mengapa? Karena ia menanyakan ‘mana dalilnya’.
Akan tetapi… benarkah setiap bid’ah harus ada dalil yang melarangnya ?
Cobalah saudara renungkan pertanyaan di atas dengan seksama…
Agar lebih mudah memahaminya, kami akan membuat sebuah contoh ringan;
Sebagian orang mengatakan bahwa mengadakan majelis dzikir berjama’ah bukanlah suatu bid’ah, karena tidak ada dalil yang melarang kita melakukan hal tersebut. Demikian pula dengan tahlilan, ngalap berkah, tawassul dengan Nabi/orang shalih, shalawatan, istighatsah dengan orang mati, dsb…
Bagaimana menurut anda jika pertanyaannya kami balik menjadi: Adakah dalil yang menyuruh kita mengadakan majelis dzikir berjama’ah, tahlilan, ngalap berkah, dll… ? Kami yakin, sebagai orang yang obyektif tentu saudara akan menjawab: “tidak ada”, selama yang dicari ialah dalil yang shahih dan sharih. Artinya dalil tersebut bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya, yakni berupa Al Qur’an atau hadits shahih, dan maknanya jelas berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Dengan kata lain, dalil tersebut menjelaskan secara rinci bagaimana pelaksanaan majelis dzikir berjamaah, tahlilan dan shalawatan tadi [6]).
Bagaimana jika ada orang yang melaksanakan shalat subuh empat roka’at umpamanya, dengan alasan bahwa waktu subuh adalah waktu senggang yang sangat tepat untuk banyak beribadah… suasananya pun cukup hening, hingga apabila seseorang menambah shalatnya menjadi empat roka’at pun tetap terasa khusyu’. . . lagi pula kan tidak ada dalil yang melarang kita untuk itu?! Pasti saudara akan mengingkari pemikiran seperti ini dan menghukuminya sebagai bid’ah dholaalah (bid’ah yang sesat), mengapa? Jawabnya: karena ibadah bukanlah sesuatu yang bebas dilakukan semaunya, tapi wajib ikut ‘aturan main’ dari Allah dan Rasul-Nya.
Kalaulah kita sepakat bahwa shalat adalah ibadah yang tidak boleh dilakukan sembarangan, mestinya kita bersikap konsekuen terhadap ibadah-ibadah lainnya. Tentunya setelah kita mengetahui apa itu definisi ibadah yang sesungguhnya [7]).
Namun biasanya analogi (penalaran) seperti ini akan ditolak mentah-mentah oleh sebagian orang. “Kalau shalat subuh empat roka’at itu jelas bid’ah dholalah. Tapi kalau dzikir bersama, tahlilan, tawassul, shalawatan, dsb hukumnya lain. Ini adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Ini semua baik dan mengandung manfaat. lagi pula kita khan diperintahkan untuk banyak berdzikir, membaca Al Qur’an, bershalawat kepada Nabi e, dan seterusnya…?!” begitu sanggah mereka.
Sebagian yang agak pintar mungkin berdalih: “Bukankah tahlil, takbir, tahmid, tasbih, membaca shalawat, dsb itu merupakan dzikir yang dianjurkan? Bukankah itu semua merupakan amal shaleh? Mengapa saudara membid’ahkan-nya…? Mana dalilnya…?
Dan masih segudang lagi alasan yang mungkin mereka utarakan demi meligitimasi praktik-praktik bid’ah tersebut. Ya… kami katakan bahwa itu semua adalah bid’ah khurafat yang dilekatkan pada ajaran Islam, namun Islam berlepas diri dari padanya meskipun ia dipandang baik oleh kebanyakan manusia.
Lantas, bagaimana solusinya…?
Untuk mendudukkan masalah ini, kita harus menetapkan suatu standar baku dalam menilai mana bid’ah dan mana sunnah… Mana yang baik dan bermanfaat, dan mana yang sesat dan penuh khurafat… alias standar untuk menilai mana yang haq dan mana yang batil.
Kami mengajak para pembaca yang budiman untuk menyatukan pedoman dalam hal ini, yaitu Al Qur’an, As Sunnah (hadits shahih), dan Ijma’. Kami yakin bahwa pembaca sekalian tidak akan keberatan dalam menerima ketiga sumber hukum di atas sebagai pedoman kita dalam menetapkan dan menerapkan suatu ibadah, atau sebagai rujukan ketika ada perselisihan.
Sekarang kita telah sepakat bahwa rujukan kita adalah Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’. Tapi bukankah semua golongan yang saling bertikai menyatakan bahwa rujukan mereka adalah Al Qur’an dan Sunnah? Lantas mengapa mereka masih bertikai juga? Pasti ada yang tidak beres…
….Benar, mereka berbeda pendapat dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah e, karenanya mereka pun tetap berselisih. Selama Al Qur’an dan Sunnah masih difahami menurut akal dan selera masing-masing, maka mencari titik temu melaluinya ibarat menegakkan benang basah, alias perbuatan yang sia-sia !!
Karenanya, kita harus terlebih dahulu menyepakati pemahaman yang akan kita jadikan acuan dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah. Kami akan menawarkan kepada pembaca yang budiman, sebuah manhaj (metodologi) dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah. Manhaj ini bukanlah hasil rumusan kami atau golongan tertentu… namun ia adalah manhaj rabbani yang Allah gariskan dalam Kitab-Nya. Sebuah manhaj yang telah diridhai-Nya dan telah sukses dipraktikkan oleh generasi terbaik umat ini. Manhaj yang menghantarkan mereka ke puncak kejayaan dunia dan akhirat.
….Ya, itulah manhaj salafus shaleh, leluhur kita yang mulia…
Kami akan menjelaskan kepada saudara bahwa manhaj ini adalah manhaj terbaik dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah secara benar; dan tentunya berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah. Namun pertama-tama, bukalah fikiran dan hati sanubari kita terlebih dahulu… tepislah semua bentuk subyektivitas yang akan menghambat kita untuk menerima kebenaran dari pihak lain. Marilah sejenak kita memanjatkan do’a kepada Allah U agar Ia menunjukkan kebenaran kepada kita…
اللَّهُمَّ أَرِناَ الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقُنْاَ اتـِّباَعَهَ, وَأَرِناَ الْباَطِلَ باَطِلاً وَارْزُقنْاَ اجْتِناَبَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah yang haq sebagai al haq bagi kami, dan jadikanlah kami orang yang mengikutinya. Tampakkan pula yang batil itu sebagai kebatilan bagi kami, dan jadikanlah kami orang yang menjauhinya.”
اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Ya Allah, Rabbnya Jibril, Mikail, dan Israfil. Pencipta langit dan bumi. Dzat yang mengetahui yang ghaib maupun yang nampak. Engkaulah yang memutuskan perselisihan di antara hamba-Mu. Tunjukkanlah bagiku kebenaran dalam perselisihan mereka atas seizin-Mu. Sesungguhnya Engkau berkenan menunjukkan siapa pun yang Kau kehendaki pada jalan yang lurus” (H.R. Muslim).
%^^%

[1]) Beliau ialah Al Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy Syaibany Al Baghdady. Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, seorang ‘alim dan ahli zuhud panutan. Beliau lahir di bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 H. Beliau salah satu sahabat dekat dan murid kesayangan Imam Syafi’i. Ahmad senantiasa melazimi gurunya yang satu ini hingga ia (Imam Syafi’i) pindah ke Mesir. Imam Syafi’i berkata: “Tak pernah kutinggalkan seorang pun di Baghdad yang lebih bertakwa dan faqieh (pandai) dari Ahmad bin Hambal”. Kitab beliau yang bernama Al Musnad adalah kitab hadits terbesar yang sampai kepada kita, memuat sekitar 30 ribu hadits. Beliau lah satu-satunya ulama yang tetap tegar menolak kemakhlukan Al Qur’an meski disiksa sedemikian rupa, hingga karenanya ia dijuluki Imam Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau wafat pada hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal tahun 241 H, rahimahullahu rahmatan waasi’an. (lihat: Wafayaatul A’yaan 1/63-64 & Tadzkiratul Huffazh 2/431-432)
[2]) Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad Al Handhaly Al Marwazy. Imam dan ulama Ahlussunnah wal jama’ah. Terkumpul padanya ilmu hadits, fiqih, hafalan kuat, kejujuran, sikap wara’ dan zuhud. Beliau mengembara ke Irak, Hijaz, Yaman, Syam, dan kembali ke Khurasan dan wafat di Nishapur. Beliau termasuk salah satu sahabat Imam Ahmad dan guru besar Imam Bukhari. Lahir pada tahun 161 H. Ibnu Khuzaimah berkata: “Demi Allah, seandainya beliau hidup di zaman tabi’in, pastilah mereka mengakui kekuatan hafalan, kedalaman ilmu, dan pemahamannya”. Abu Dawud Al Khoffaf berkata; aku mendengar Ishaq berkata: “Seakan-akan aku melihat 100 ribu hadits dalam kitabku, 30 ribu diantaranya dapat kubaca dengan lancar”. Beliau wafat pada tahun 237 atau 238 H, rahimahullah. (lihat Tahdziebut Tahdzieb, Siyar A’laamin Nubala’, dan Tahdziebul Kamal)
[3]) Beliau ialah Al Imam Al ‘Allaamah Al Hafizh, Abu Sa’id Utsman bin Sa’id bin Khalid bin Sa’id Ad Darimy At Tamimi. Lahir sebelum tahun 200H. Beliau menimba ilmu hadits dari Ali ibnul Madiny, Yahya ibnu Ma’in, dan Ahmad bin Hambal -rahimahumullah,- hingga mengungguli orang-orang di zamannya. Beliau adalah orang yang gigih memegang Sunnah, dan ahli dalam berdebat. Beliau menulis sebuah kitab yang membantah kesesatan Bisyr Al Marrisi (salah seorang tokoh Jahmiyyah), dan kitab Musnad. Beliau wafat pada bulan Dzul Hijjah tahun 280 H (As Siyar, 2/2651-2653).
[4]) Beliau ialah Al Imam Al Hafizh Abu ‘Ubeid, Al Qasim bin Sallam bin Abdillah. Lahir tahun 157 H. berguru kepada Abdullah ibnul Mubarak, Waki’, Ibnu Mahdy, Yahya Al Qatthan dan lainnya. Karnya cukup banyak, diantaranya: Gharibul Hadits, Al Amtsal, Gharibul Mushannaf, Al Amwal, Fadha-ilul Qur’an, Ath Thuhur, dan lain-lainnya. Beliau ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti hadits, qiraat, fiqih, dan sastera Arab. Ibnul Anbary berkata: “Abu Ubeid konon membagi malam jadi tiga; sepertiga untuk shalat, sepertiga untuk tidur, dan sisanya untuk menyusun kitab”. Ishaq ibnu Rahawaih berkata: “Abu ‘Ubeid lebih luas ilmunya dari kita, lebih mulia perangainya, dan lebih banyak menyusun kitab. Kita membutuhkan dirinya, namun dia tidak butuh kepada kita”. Beliau wafat tahun 224 H (As Siyar 2/3057-3060).
[5]) Jaami’ul ‘Uluumi wal hikam hal 73-74, oleh Ibnu Rajab Al Hambaly. cet. Daarut Tauzi’ wan Nasyril Islamiyyah.
[6]) Konsekuensinya, jika dalil tersebut tidak shahih maka tidak sah dijadikan pegangan. Atau jika dalil tersebut shahih namun petunjuknya bersifat umum –seperti yang disebutkan oleh Novel dalam banyak contohnya–, maka ia juga tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab menetapkan ibadah dengan tata cara tertentu, tempat tertentu atau waktu tertentu adalah urusan Allah dan Rasul-Nya. Jika ibadah tersebut diperintahkan untuk dilakukan secara bebas ya kita tidak boleh membatasinya dengan bilangan, waktu dan tata cara tertentu. Sebaliknya jika ibadah tersebut diperintahkan dengan tata cara tertentu ya kita harus terikat dengan tata cara tersebut.
[7]) Definisi ibadah yang paling universal ialah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
اَلْعِباَدَةُ: اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَعْمَالِ الْباَطِنَةِ وَالْظَاهِرَةِ (كتاب العبودية ص 38)
Ibadah ialah nama untuk setiap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang nampak maupun tersembunyi. (Kitab Al ‘Ubudiyyah, hal 38)


Syubhat 2:
Anjuran Sebagian Salaf Untuk Merayakan Maulid
Dalam bukunya, Ustadz Novel mengutip pendapat sebagian salaf[1]) tentang dianjurkannya maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Setelah merujuk ke sumber aslinya, kami dapati bahwa buku yang jadi rujukan tersebut tidak mencantumkan sama sekali sanad setiap riwayat yang dinukil di sana. Padahal penulis buku itu [2]) hidup pada abad ke 14 Hijriah (wafat th 1310 H), lalu dari mana ia menukil riwayat-riwayat tadi? Tentunya cara seperti ini sangat tidak ilmiah, apalagi untuk menetapkan praktek-praktek ibadah yang tidak ada dalilnya.
Ketidak ilmiahan itu ialah dari dua sisi; pertama, ia menukil riwayat-riwayat yang buntung tanpa sanad. Sehingga otomatis tidak bisa kita pertanggungjawabkan kebenarannya. Kedua, ia menukil sebagiannya dari kitab-kitab sirah (sejarah) Nabi. Padahal telah sama dimaklumi bahwa kitab-kitab semacam ini mencampuradukkan antara hadits shahih, hasan, dha’if, bahkan hikayat-hikayat palsu sekalipun tanpa disertai penjelasan. Karenanya, riwayat-riwayat yang dinukil dari sumber yang terkontaminasi tadi menyebabkan aqidahnya ikut terkontaminasi…
Perlu kita fahami, bahwa yang berhak menetapkan sesuatu sebagai ibadah atau bukan hanyalah Allah ‘azza wa jalla melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam [3]). Demikian pula dalam menentukan halal-haramnya sesuatu. Segala sesuatu yang dianggap baik oleh Allah dan Rasul-Nya adalah kebaikan meski di mata manusia buruk. Sebaliknya apa yang dinyatakan buruk oleh keduanya adalah buruk meski dianggap baik oleh manusia.
Manhaj inilah yang diterapkan oleh para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang bisa kita tangkap dari riwayat-riwayat berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تَمَتَّعَ النَّبِيُّ فَقَالَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنْ الْمُتْعَةِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مَا يَقُولُ عُرَيَّةُ قَالَ يَقُولُ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ عَنْ الْمُتْعَةِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أُرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ أَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ وَيَقُولُ نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ (رواه أحمد حديث رقم 3121)
Dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan haji tamattu’[4])…” maka ‘Urwah bin Zubeir menyela: “Tapi Abu Bakar dan Umar melarang untuk melakukan tamattu’…”. Lalu kata Ibnu ‘Abbas: “Apa yang barusan dikatakan Urayyah [5])…?”. “Abu Bakar dan Umar melarang orang untuk tamattu’…” kata Urwah. Maka kata Ibnu Abbas ra: “Nampaknya mereka akan celaka… kukatakan kepadamu: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini dan begitu… tapi dia mengatakan: “Abu Bakar dan Umar melarangnya…” [6]) (H.R. Ahmad no 3121).
Hal senada juga diriwayatkan oleh Salim bin Abdillah bin ‘Umar, bahwa Abdullah bin ‘Umar (ayahnya) berkata: aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian larang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid jika mereka meminta izin kepadamu untuk kesana”. Maka Bilal bin Abdillah bin Umar menyanggah: “Demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka…!!” maka bangkitlah Ibnu Umar menghampirinya seraya mencaci-makinya dengan makian yang belum pernah kudengar sebelumnya… lalu katanya: “Kukabarkan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepadamu, tapi kamu justeru berkata: “Demi Allah, kami akan melarang mereka…?!” (H.R. Muslim no 442).
Lihatlah, bagaimana sikap ta’zhim para sahabat terhadap setiap petuah kekasih mereka; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai mereka berang jika mendengar ada orang yang berani menyelisihinya… tabiat Ibnu Umar yang semula halus dalam sekejap berubah menjadi kasar, bahkan sampai hati memaki-maki puteranya sendiri… mengapa? Hanya karena puteranya mengeluarkan kata-kata yang menyelisihi sabda Nabi tadi. Padahal kita yakin bahwa maksud Bilal bukanlah seperti itu, akan tetapi ia faham bahwa kaum wanita sering kali menyalahgunakan hadits ini sebagai alasan untuk sering-sering keluar rumah [7])… perkataannya tadi persis seperti yang diungkapkan oleh Ibunda ‘Aisyah y:
لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسَاجِدَ كَمَا مُنِعَهُ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ (رواه مالك في الموطأ كتاب: النداء للصلاة, باب: ما جاء في خروج النساء إلى المساجد, رقم 418)
“Seandainya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang diperbuat oleh kaum wanita saat ini, pastilah beliau akan melarang mereka untuk ke masjid, sebagaimana wanita-wanita Bani Israel dilarang ke masjid” (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’, no 418).
Akan tetapi Ibnu Umar tak kuasa mendengar kata-kata anaknya tadi… ia tak kuasa membiarkan anaknya hendak mengoreksi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam… maka terjadilah apa yang kita saksikan tadi… Ya Subhaanallaah…!! Bagaimana kiranya kalau Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma hidup di zaman kita, lalu mendengar ada orang yang berani mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat… tapi ada bid’ah yang makruh, ada yang mubah, ada yang sunnah, bahkan ada yang wajib…? padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat… kira-kira makian apa yang akan diterima orang ini…??
Dari sini terbuktilah bagaimana para salaf –terutama para sahabat radhiyallahu ‘anhum– demikian mengagungkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam… mereka tak berani sembarangan mengotak-atik dhahir hadits yang mereka dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, meski mereka memiliki alasan untuk menafsirkannya… bandingkan dengan manhaj yang dipakai Ustadz Novel dalam memelintir sabda Nabi yang terang-benderang maknanya bak matahari di siang bolong; bahwa semua bid’ah itu sesat… lantas ia menafsirkannya bahwa bid’ah yang bertentangan dengan agama sajalah yang sesat… Subhaanallaah!
Kalaulah orang yang menolak sabda Nabi dengan ucapan Abu Bakar dan Umar saja dinyatakan celaka oleh Ibnu Abbas –padahal keduanya merupakan manusia paling takwa dalam umat ini,– maka bagaimana kiranya kalau yang dipertentangkan dengan sabda Nabi itu hanyalah pendapat ulama biasa? Meskipun sekaliber As Suyuthi… atau Ibnu Hajar… atau seribu orang seperti mereka, memangnya apa arti keimanan dan ketakwaan mereka di samping keimanan dan ketakwaan Abu Bakar dan Umar…?? Lupakah dia bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan:
لَوْ وُضِعَ إِيْمَانُ أَبِي بَكْرٍ عَلىَ إِيْمَانِ هَذِهِ الأُمَّةِ لَرَجَحَ بِهَا (كشف الخفاء  ج 2 / ص 165)
“Seandainya keimanan Abu Bakar ditimbang dengan keimanan umat ini, niscaya lebih berat keimanan Abu Bakar” (Kasyful Khofa’ 2/165) [8]).
Pun demikian, Ibnu Abbas t tak sedikit pun berani mendahulukan perkataan keduanya di atas sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam… saya rasa pembaca bisa menilai dari ini semua, siapa yang lebih benar manhajnya; Ustadz Novel cs yang mendahulukan perkataan ulama di atas sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ataukah para sahabat yang mendahulukan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam di atas segalanya?
Bersambung ke syubhat ketiga….
€€€

[1]) Seperti Al Imam Hasan Al Bashry (w.110 H bukan 116 H seperti yang dinukil Novel), Ma’ruf Al Karkhy (w. 200-204 H), As Sariy As Saqthy (w. 253 H), , Imam Al Junaid (w. 297 H), lihat: Wafayaatul A’yaan. Lihat Mana Dalilnya 2 hal 48-55.
[2]) Bukunya berjudul: I’anatuth Thalibin, karya Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad Dimyathi.
[3]) Lihat kembali ayat 21 surat Asy Syura.
[4]) Tamattu’ ialah melakukan umrah pada bulan-bulan haji, kemudian bertahallul darinya. Lalu melakukan haji pada tahun itu juga. Makna tamattu’ ialah bersenang-senang. Disebut demikian karena setelah umrah jamaah haji meninggalkan ihramnya dan bisa kembali bersenang-senang dengan wewangian, pakaian, dan lain sebagainya hingga tanggal delapan Dzul Hijjah, di samping ia cukup sekali safar untuk bisa haji dan umrah. Istilah tamattu’ juga kadang ditujukan untuk orang yang haji qiran karena dengan begitu ia cukup melakukan safar satu kali ke Baitullah tapi bisa melakukan umrah & haji sekaligus; dan ini merupakan salah satu kesenangan. Para ulama berbeda pendapat mengenai manasik haji yang dipilih Rasulullah. Akan tetapi yang rajih ialah bahwa beliau melakukan haji Qiran (menggabungkan antara haji dan umrah), yang oleh Ibnu Abbas dalam hadits ini dinamakan tamattu’ -pen).
[5]) Kata ‘Urayyah adalah tashghier (pengecilan) dari ‘Urwah, yang biasanya digunakan untuk bercanda atau menyindir seseorang.
[6]) Larangan Abu Bakar dan Umar ra untuk melakukan haji tamattu’ ialah agar supaya orang-orang tak mencukupkan diri mengunjungi Baitullah sekali saja dalam setahun. Sehingga mereka melarang untuk haji tamattu’ dan menganjurkan haji ifrad. Akan tetapi Rasulullah sendiri mengangan-angankan seandainya beliau diberi kesempatan untuk haji lagi di tahun berikutnya, niscaya beliau tak akan menggiring binatang hadyu beliau, dan akan menjadikannya umrah secara terpisah, alias haji tamattu’ sebagaimana yang disebutkan dalam shahih Bukhari, Nasa’i, dan yang lainnya.
[7]) Dalam riwayat Ahmad (6014) disebutkan bahwa alasan Bilal mengatakan yang demikian ialah karena kaum wanita akan mengelabui suami mereka dengan pura-pura minta izin ke masjid untuk menyelesaikan urusan mereka yang lain. Disebutkan pula bahwa semenjak itu Ibnu Umar tak pernah mengajaknya bicara hingga ia wafat (lihat Fathul Bari, syarh hadits no 865).
[8]) Ungkapan yang senada juga diriwayatkan dari Umar secara mauquf (=perkataan beliau pribadi) dengan sanad yang shahih (lihat Al Ibanatul Kubra oleh Ibnu Batthah no 1155; dan Syu’abul Iman oleh Al Baihaqy no 35). Sedangkan yang marfu’ (=dinisbatkan kepada Nabi e) di atas ialah riwayat Abdullah bin Umar t. Meskipun salah seorang perawinya ada yang didha’ifkan, akan tetapi ia dikuatkan oleh hadits lain yang semakna. Lihat Kasyful Khofa’ 2/165, oleh Al ‘Ajluny, cet. Daarul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon.

 
mana_dalilnya_2_front_covSyubhat 3:
Ada Apa Dengan Syair Abbas bin Abdil Mutthalib radhiyallaahu ‘anhuma ?
Pada halaman 70, Ustadz Novel mengutip sebuah syair yang konon diucapkan oleh Abbas bin Abdil Mutthalib radhiyallaahu ‘anhuma kepada beliau sepulang dari perang Tabuk. Terjemahan syair itu menurutnya adalah sebagai berikut:

Sebelum terlahir ke dunia,
Engkau hidup senang di Surga
Ketika aurat tertutup dedaunan
Engkau tersimpan di tempat yang aman
Kemudian Engkau turun ke bumi
Bukan sebagai manusia, segumpal darah maupun daging,
tetapi nutfah, yang menaiki perahu Nuh
Ketika banjir besar menenggelamkan semuanya
anak cucu Adam beserta keluarganya
Kemudian engkau berpindah dari sulbi ke rahim
Dari satu generasi ke generasi berikutnya
Hingga kemuliaan dan kehormatanmu
berlabuh di nasab terbaik
yang mengalahkan semua bangsawan
Ketika engkau lahir
Bumi bersinar
cakrawala bermandikan cahayamu
Kami pun berjalan di tengah-tengah cahaya,
sinar dan jalan yang penuh petunjuk itu
Kemudian Ustadz Novel mengatakan: Coba Anda simak, bait-bait syair di atas. Dalam syair di atas secara ringkas Sayyidina ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma menceritakan perjalanan hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum terlahir ke dunia ini hingga hari lahir ke muka bumi. Karena itu sungguh aneh jika ada orang yang menyatakan bahwa para sahabat tidak pernah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, sedangkan Sayidina ‘Abbas telah menyampaikan bait-bait syair tersebut di hadapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dan sejumlah sahabat. Inilah salah satu bentuk peringatan maulid yang diselenggarakan oleh para sahabat.[1])
Saya katakan: sungguh aneh kalau Ustadz Novel menganggap apa yang dilakukan oleh ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma tadi sebagai peringatan maulid. Mengapa? Pertama: ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma tidak mengucapkan syair tadi pada hari kelahiran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam , namun ia mengucapkannya sepulang dari perang Tabuk, sedangkan perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab tahun sembilan Hijriah[2]). Lantas apa sangkut-pautnya dengan peringatan maulid yang diselenggarakan tiap bulan Rabi’ul Awwal? Siapa yang aneh disini kalau begitu…? Kedua: hal ini hanya terjadi satu kali sepanjang sejarah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam , dan ia mendapat persetujuan beliau. Sedangkan peringatan maulid yang kita saksikan sekarang terulang terus setiap tahun tanpa ada persetujuan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam . Lalu bagaimana yang kedua ini hendak dikiaskan dengan apa yang dilakukan ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma ? Ketiga: Yang disetujui oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini ialah syair ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma karena isinya tidak berlebihan[3]). Artinya persetujuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tadi tidak berlaku pada setiap syair yang dipersembahkan kepada beliau di kemudian hari, mengapa? Karena boleh jadi syair-syair lainnya mengandung unsur ghuluw kepada beliau. Sebagai contoh, perhatikan riwayat berikut:
قَالَتْ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ : جَاءَ النَّبِيُّ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ لاَ تَقُوْلِي هَذَا وَقُوْلِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ (رواه البخاري برقم 4001, 5147)
Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afra’ mengatakan: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam datang di hari pernikahanku, kemudian beliau duduk di atas dipanku seperti posisi dudukmu sekarang [4]). Maka mulailah gadis-gadis kecil menabuh rebana sembari menyebut-nyebut kepahlawanan nenek moyangku yang terbunuh dalam perang Badar[5])… sampai ketika ada diantara mereka yang mengatakan: “…diantara kita ada seorang Nabi yang tahu apa yang terjadi esok”, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyela: “Jangan berkata begitu, katakan saja apa yang sebelumnya kau katakan” (H.R. Bukhari no 4001, 5147).
Coba saudara perhatikan, jelas sekali bahwa ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyetujui pujian-pujian tertentu yang ditujukan kepadanya, tidak berarti pujian lain hukumnya seperti itu. Apalagi kalau Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam belum pernah mendengarnya semasa hidupnya. Karenanya, syair-syair pujian yang ditujukan kepada beliau sepeninggal beliau, tidak bisa kita samakan dengan syair-syair yang diucapkan oleh para sahabat di hadapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam atas persetujuannya. Karena yang terakhir ini telah ‘lulus sensor’, sedang yang pertama belum. Jadi harap dibedakan mas Novel…
Bersambung ke syubhat keempat….
^$^$^

[1]) Mana Dalilnya 2, hal 71-72. [2]) Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab ‘Uyunul Atsar, 2/253, oleh Muhammad bin Abdillah bin Yahya (ibnu Sayyidin Naas), cet. Muassasah ‘Izzuddien th 1406H, Beirut-Libanon.
[3]) Inipun setelah kita menganggap bahwa kisah ini benar adanya.
[4]) Ibnu Hajar dalam Fathul Baari mengatakan bahwa dengan memperhatikan berbagai nash yang ada, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah e memiliki kekhususan bahwa beliau merupakan mahram bagi tiap wanita muslimah. Karenanya, hadits di atas tidak boleh dijadikan dalil bolehnya seorang lelaki ajnabi berduaan dengan wanita ajnabiyyah, karena hal ini merupakan kekhususan Rasulullah e (lihat syarh hadits no 5147).
[5]) Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang dimaksud nenek moyang di sini ialah secara majaz. Karena yang terbunuh pada perang Badar ialah ayahnya, pamannya, dan kerabatnya dari suku Khazraj seperti Haritsah bin Suraqah t (Fathul Baari, syarh hadits no 4001).

Seputar Istighatsah
 Definisi istighatsah ala jahiliyah
Pembaca yang budiman, sungguh mengherankan memang, ketika orang yang hidup di abad 21 dengan berbagai kemajuan Iptek-nya masih berpikir ala jahiliyah. Masih mending jika keyakinan tersebut berangkat dari kebodohan karena ia tinggal di tengah hutan belantara, atau di daerah terpencil yang tak pernah mengenyam pendidikan. Namun jika ia mengaku ‘terpelajar’ dan masih mempercayai takhayul bahkan mengajak orang kepada hal tersebut, maka orang ini perlu kita waspadai… pasti ada udang di balik batu! Saya sudah berusaha untuk khusnudzon terhadap Novel dari awal buku ini. Akan tetapi, setelah membaca masalah istighatsah di akhir bukunya, saya terbakar rasa cemburu… cemburu akibat dilanggarnya hak-hak Allah atas nama syariat! Coba perhatikan bagaimana si Qubury ini mendefinisikan istighatsah (hal128):
“Dalam syariat istighatsah diartikan sebagai permintaan tolong kepada Nabi, Rasul atau orang saleh –yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia– untuk mendoakan agar ia dapat memperoleh manfaat atau terhindar dari keburukan dan lain sebagainya”.
Minta doa kepada yang sudah meninggal dunia? Lho kok bisa? Bisa saja… karena masalah takhayul memang tidak mengenal batas. Segala sesuatu yang tidak masuk akal pun bisa diterima dengan pola pikir jahiliyah semacam ini. Dia meyakini orang yang sudah mati bisa mendoakan yang masih hidup, padahal Allah U berfirman kepada Nabi e:
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar (Faathir: 22).
Ayat di atas jelas sekali mengatakan bahwa Nabi e saja tidak dapat membikin orang yang sudah mati bisa mendengar, padahal beliau adalah manusia paling shalih. Artinya, jelas sekali bahwa siapapun yang sudah mati tidak bisa mendengar seruan orang yang masih hidup. Jadi percuma saja orang minta-minta kepada orang mati, sebab yang dia mintai tadi sama dengan batu yang tidak mendengar. Kalau ada yang membolehkan minta doa kepada orang mati, berarti ia meyakini bahwa orang mati bisa mendengar permintaan yang masih hidup. Nah, bukankah ini sama dengan menentang makna ayat di atas? Lalu perhatikan ayat berikut beserta penafsiran Imam Ibnu Jarir[1] atasnya:
Allah U berfirman:
يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ (13) إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ (14)
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.
Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau pun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.
Syaikhul Mufassirin[2] Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabary dalam tafsirnya mengatakan: Allah mengatakan bahwa jika kalian –wahai sekalian manusia- menyeru sesembahan-sesembahan yang kalian sembah selain Allah itu, mereka tidak akan mendengar seruan kalian karena mereka adalah benda mati yang tidak bisa memahami apa yang kalian katakan. Kalaupun mereka bisa mendengar, memahami dan tahu bahwa kalian menyeru mereka; mereka tidak akan menjawab seruan kalian karena mereka tidak bisa bicara, dan tidak setiap yang mendengar ucapan bisa menjawabnya dengan mudah. Kemudian Allah berfirman kepada orang-orang yang menyekutukannya dengan para aalihah dan autsaan[3]: “Lalu bagaimana kalian bisa menyembah selain Allah yang sifatnya seperti itu? Sedangkan sesembahan itu tidak punya manfaat apa-apa untuk kalian, dan tidak mampu mencelakai kalian, lalu kalian tinggalkan peribadatan Dzat yang dapat memberi manfaat dan kecelakaan bagi kalian, padahal Dia lah yang menciptakan dan memberi nikmat kalian? Demikianlah penjelasan para ahli tafsir…”, kemudian beliau menyebutkan nama & ucapan mereka satu persatu[4]. Lalu Allah berfirman kepada orang-orang musyrik penyembah watsan: Di hari kiamat nanti, sesembahan-sesembahan kalian yang selain Allah akan berlepas diri dari kalian. Mereka mengingkari kalau mereka dijadikan sekutu Allah ketika di dunia. Mereka tidak pernah mengakui perbuatan syirik tersebut dan tidak merestuinya. Dan tidak ada yang bisa bercerita kepadamu, hai Muhammad,  –tentang sesembahan kaum musyrikin dan bagaimana keadaan mereka dan para penyembahnya di hari kiamat– seperti Allah yang tahu akan semua yang sedang dan akan terjadi. Demikianlah penjelasan para ahli tafsir”. Kata beliau mengakhiri ucapannya.[5]
Dari uraian di atas, kita dapat menarik titik temu antara definisi Novel yang mengatakan bahwa istighatsah adalah minta tolong kepada Nabi, Rasul, atau orang shalih walaupun sudah meninggal…dst; dengan keyakinan kaum musyrikin kepada berhala-berhala mereka. Di mana titik temunya? Ialah karena Novel dan orang-orang musyrik tersebut sama-sama meyakini bahwa para berhala maupun orang yang mati tadi bisa memberi manfaat, atau mendengar seruan orang yang menyerunya.
Na’udzubillahi minal kufri wasy syirki billaah (kami berlindung kepada Allah dari perbuatan kufur dan syirik kepada-Nya)!! Inikah yang kau ajarkan hai Novel?? Sungguh buruklah apa kau ajarkan selama ini…!! Engkau membolehkan kaum muslimin untuk minta doa dari orang yang sudah mati, dan menganggap mereka bisa memberi manfaat kepada yang masih hidup… lantas apa bedanya ajaran yang engkau bela tersebut dengan keyakinan musyrikin Mekkah yang selama 23 tahun ditentang habis-habisan oleh Kakekmu[6], Rasulullah Muhammad e beserta para sahabatnya? Toh musyrikin Quraisy pada hakikatnya tidak meyakini bahwa patung dan berhala yang mereka sembah mampu menolong mereka secara langsung, mereka tidak lain tidak bukan hanyalah menganggap sesembahan itu sebagai perantara untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah, karena berhala tersebut adalah lambang atau simbol dari orang-orang shalih yang pernah hidup di zaman dahulu[7]… inilah hakikat syirik yang mereka lakukan, yaitu menganggap bahwa dalam beribadah kita harus pakai perantara. Siapakah perantaranya? Yaitu berhala untuk musyrikin tempo dulu, atau kuburan ‘wali’, orang shalih, habib, kyai, dll untuk musyrikin zaman ini…. apa bedanya? Tidak ada.
Jadi, saya tidak mengada-ada bila mengatakan bahwa Novel hendak mengembalikan ajaran jahiliyah yang dibungkus dengan indah dan dibumbui ayat-ayat dan hadits-hadits[8] agar bisa diterima masyarakat…. Toh banyak masyarakat kita masih banyak yang percaya dengan takhayul, tidak mengerti bahasa Arab, ilmu tafsir, musthalah hadits dan lain sebagainya. Hingga mudah bagi dia untuk mempermainkan akal mereka demi kepentingan pribadinya…
Kalau engkau mengatakan (hal 127): “Saudaraku, kita semua meyakini bahwa hanya Allah lah yang dapat menolong kita. Hanya DIA lah yang dapat memberi manfaat dan mencegah keburukan. Itulah keyakinan semua umat Islam. Tetapi, apakah dengan demikian kita tidak boleh meminta tolong kepada makhluk yang IA beri keistimewaan?”
Saya katakan: engkau salah besar! Tidak semua orang yang mengaku Islam meyakini seperti itu, bahkan puluhan atau mungkin ratusan juta kaum muslimin masih meyakini bahwa para wali, orang shalih, atau haba-ib –yang kuburannya dibangun megah dan dikeramatkan di berbagai penjuru dunia– dapat memberi manfaat dan menyampaikan hajat mereka[9].
Kalaulah mereka tidak meyakini hal tersebut, niscaya tidak ada gunanya Rasulullah e melarang keras segala bentuk pengeramatan dan pengagungan terhadap orang shalih yang sudah mati. Kalaulah seluruh kaum muslimin meyakini seperti apa yang kau katakan, maka tolong jelaskan apa maksud ayat berikut?
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ [يوسف/106]
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).
Adapun meminta tolong kepada orang yang DIA beri keistimewaan, maka sepanjang yang dimintai tolong adalah orang yang masih hidup dan mampu menolong, maka hal tersebut tidak mengapa dan tidak ada kaitannya dengan makna istighatsah dalam syari’at. Itu adalah isti’anah (minta tolong) biasa. Tapi jika yang dimintai tolong adalah orang mati, maka kemungkinannya hanya dua: pertama, dia telah mendustakan firman Allah di atas (Faathir: 22), atau dia orang gila karena menganggap orang mati bisa mendengar ucapannya.
Cara berdalil yang Aneh bin Ajaib ala Novel Alaydrus
Saya sengaja tidak menggubris dalil-dalil bolehnya istighatsah dengan orang yang masih hidup karena semuanya shahih tapi tidak ada kaitannya dengan pembahasan ini. Kecuali dalil ketiga yang disebutkan Novel (hal 130), yaitu hadits:
إِذَا ضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئاً أَوْ أَرَادَ عَوْناً وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ فِيْهَا أَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ: يَا عِبَادَ اللهِ أَغِيثُونِي، يَا عِبَادَ اللهِ أَغِيْثُونِي، فَإِنَّ لِلَّهِ عِبَاداً لاَ نَرَاهُمْ
“Jika salah seorang di antara kalian menghilangkan sesuatu[10] atau menginginkan pertolongan, sedangkan ia berada di suatu tempat yang tidak ada teman di sana, maka hendaklah dia mengucapkan, ‘Wahai hamba-hamba Allah tolonglah aku, wahai hamba-hamba Allah tolonglah aku’. Sesungguhnya Allah memiliki beberapa hamba yang tidak kita lihat.” (HR Thabrani).
Ini bukti kedua akan ketidak jujuran Novel dalam menukil dan meriwayatkan suatu hadits. Ia sengaja mengabaikan penjelasan Al Haitsami yang disertakan di catatan kaki hadits tersebut. Al Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Ath Thabrani, dan para perawinya dianggap tsiqah meski sebagiannya memiliki kelemahan, akan tetapi Zaid bin Ali tidak pernah berjumpa dengan ‘Utbah[11].
Selain sanad yang terputus tadi, hadits ini memiliki cacat lain karena salah seorang perawinya bernama Abdurrahman bin Syarik. Orang ini dinyatakan oleh Abu Hatim sebagai: ‘Waahil hadiets’ (=haditsnya sangat lemah), sedangkan Ibnu Hibban menyifatinya dengan kata-kata: ‘Rubbama akhtha’ (=terkadang keliru). Kemudian ia meriwayatkan dari ayahnya yang bernama Syarik bin ‘Abdillah Al Qadhi, yang disifati oleh Ibnu Hajar sebagai: ‘Shaduq yukhti’u katsieran, taghayyara hifdhuhu mundhu waliyal qadha’ (=Shaduq, banyak keliru, hafalannya melemah sejak menjabat sebagai Qadhi/hakim). Singkatnya, hadits ini adalah hadits mardud yang tidak boleh dijadikan dalil, apalagi bila menyangkut masalah aqidah seperti ini[12].
Istighatsah dengan yang telah meninggal dunia
Saya sempat tertegun membaca judul tersebut… ya, barangkali pembaca juga demikian. Memang, orang-orang sufi macam Novel Alaydrus tidak mungkin terlepas dari masalah khurafat dan takhayul semacam itu. Mengapa? Sebab dalam kamus tasawuf, seorang wali yang telah meninggal masih memiliki pengaruh hebat di ‘alam sana’. Mereka diyakini bisa mendengar dan mengabulkan doa orang yang menyerunya, bahkan banyak diantara firqah Sufi yang meyakini bahwa alam semesta ini berada di bawah kendali para wali Quthub… dan segudang keyakinan ‘aneh’ lainnya.
Oleh karena itu, Imam Syafi’i demikian tegas mencela orang yang belajar tasawuf secara umum. Dengarlah perkataan beliau tentang tasawuf dan orang-orang sufi di zamannya, yang notabene masih ‘jauh lebih bagus’ daripada orang-orang sufi zaman ini. Beliau mengatakan:
لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَصَوَّفَ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، لَمْ يَأْتِ عَلَيْهِ الظُّهْرُ إِلاَّ وَجَدْتَهُ أَحْمَقَ
Jika seseorang belajar tasawuf dari pagi, begitu menginjak dhuhur pasti kau dapati dia seorang yang tolol [13].
مَا رَأَيْتُ صُوفِياًّ عَاقِلاً قَطُّ إِلاَّ مُسْلِمٌ الخَوَّاصُ
Aku tidak pernah sekalipun melihat ada orang sufi yang berakal, kecuali Muslim Al Khawwash.[14]
لاَ يَكُونُ الصُّوفِيُّ صُوْفِياًّ حَتىَّ يَكُونَ فِيْهِ أَرْبَعُ خِصَالٍ: كَسُولٌ أَكُولٌ نَؤُومٌ كَثِيرُ الفُضُولِ
Seorang sufi tidak akan benar-benar menjadi sufi hingga ia memiliki empat sifat: pemalas, banyak makan, banyak tidur dan banyak melakukan hal-hal yang tidak perlu.[15]
مَا لَزِمَ أَحَدٌ الصُّوفِيِّيْنَ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً فَعَادَ عَقْلُهُ أَبَداً
Tidaklah seseorang bergaul dengan orang-orang sufi selama 40 hari, melainkan akalnya tidak akan kembali selamanya.[16]
Nah, kalau kita sudah mengerti hakikat dari ajaran yang dibawa oleh orang-orang sufi model Novel, kita bisa sedikit maklum mendengar hal-hal yang ‘aneh’ semacam itu… kita cukup mengingat perkataan Imam Syafi’i di atas dan mengatakan: “Maklum… akalnya sudah tidak beres”.
Berangkat dari sini, kita tidak usah bertele-tele menjawab dalil-dalil yang disebutkan oleh orang yang akalnya sudah tidak beres tadi, toh semuanya tidak lepas dari hadits dha’if, maudhu’, atau qiyas yang kacau… yah, bagaimana tidak kacau? Kalau akal yang dipergunakan untuk mengqiyaskan sudah kacau, dijamin hasil qiyasnya seratus persen pasti kacau. Tidak percaya? Coba baca tulisannya berikut (hal 131-132):
Kita mungkin melihat dan mendengar seseorang yang menziarahi sebuah makam waliyullah, seorang yang saleh, kemudian berkata, “Wahai Syeikh Fulan, doakan agar kami dapat menjadi Muslim yang baik, dapat mendidik anak-anak kami dengan benar…” Dan hal-hal yang serupa. Pertanyaannya, bolehkah hal tersebut dilakukan? Apakah ini termasuk istighatsah?
Saudaraku, kalimat yang kami contohkan di atas merupakan salah satu bentuk istighatsah dengan yang telah meninggal dunia. Istighatsah semacam ini diizinkan oleh syariat. Sebab, pada intinya tidak ada perbedaan antara istighatsah dengan yang hidup atau dengan mereka yang telah meninggal dunia. Kami akan menjelaskannya secara singkat.
Pertama, pada hakikatnya, para Nabi dan kaum sholihin yang diridhai Allah adalah hidup di kuburnya. Allah U mewahyukan:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ  [آل عمران/169]
Dan Janganlah kamu kira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; mereka bahkan hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki (Ali Imran: 169).
Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa para syuhada itu hidup di alamnya sana. Jika para syuhada hidup dan mendapatkan kenikmatan di sisi Allah, maka para Nabi dan Rasul serta Para sahabat dan kaum sholihin yang berkedudukan lebih mulia dari mereka juga hidup seperti mereka. Jika kita oleh syariat diizinkan untuk meminta tolong kepada teman kita, kepada guru kita, kepada kaum sholihin, kepada para malaikat, maka meminta tolong kepada mereka yang telah meninggal dunia hukumnya juga sama. Sebab, setelah meninggal dunia, mereka tetap saudara kita.
Saya katakan, inilah bukti ketidakberesan akal Novel… pertama, ayat diatas tidak ada sangkut pautnya dengan istighatsah dengan orang mati. Kedua, orang mati tidak sama dengan orang hidup, kecuali menurut orang gila! Ketiga, alasan yang disebutkannya juga sama sekali tidak nyambung dengan istighatsah… apakah mentang-mentang masih saudara kita lantas hukum yang mati harus disamakan dengan yang masih hidup? Kalaulah saudara kita yang mati hukumnya sama dengan yang masih hidup, niscaya hartanya tidak boleh dibagi waris, isterinya tidak boleh menikah lagi dan harus menjanda selamanya. Inilah rusaknya qiyas (baca: akal-akalan) orang sufi macam Novel Alaydrus…
Lebih dari itu, ayat yang disebutkan justeru menolak pendapatnya… kalaulah orang yang mati bisa memberi manfaat kepada yang hidup, lantas mengapa Allah mengatakan bahwa mereka ‘diberi rezeki’ dan tidak mengatakan ‘memberi rezeki’? Dan mengatakan bahwa mereka hidup ‘di sisi Tuhannya’, bukan ‘hidup di dunia’? Apakah firman Allah tadi tidak bermakna apa-apa?
Tentu Novel masih punya dalil lain, yaitu hadits dha’if jiddan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath Thayalisi (bukan Imam Abu Dawud yang menulis kitab Sunan!), bunyinya (hal 132-133):
إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى أَقْرِبَائِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ فِي قُبُورِهِمْ فَإِنْ كَانَ خَيْراً اِسْتَبْشَرُوا بِهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوا: اَللَّهُمَّ أَلْهِمْهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِطَاعَتِكَ
“Sesunnguhnya semua amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di kubur mereka. Jika (melihat) amal yang baik, mereka merasa bahagia dengannya. Dan jika (melihat) amal yang buruk, mereka berdoa, “Ya Allah, berilah mereka ilham (ide) untuk melakukan amal taat kepada-Mu.”
Saya katakan, dalam hadits ini ada perawi yang namanya Ash Shalt bin Dinar, darinyalah Abu Dawud meriwayatkan hadits ini[17]. Nah, perawi ini adalah matruk hingga hadits yang diriwayatkannya derajatnya dha’if jiddan (sangat lemah).[18]
Adapun dalil lain yang disebutkan Novel  ialah peristiwa isra’ dan mi’raj ketika Nabi Musa u memberi saran kepada Rasulullah e agar minta keringanan perintah shalat kepada Allah dari 50 waktu hingga menjadi 5 waktu. Kemudian Novel mengatakan (hal 133): “Lihatlah, Nabi Musa u masih bisa memberikan manfaat meskipun beliau telah meninggal dunia”. Kemudian Novel menyebutkan dalil-dalil lainnya sebagai berikut:
Ingatkah Anda pada kisah Nabi Musa dan Khidhir u yang berusaha untuk mendirikan rumah anak yatim yang akan roboh demi menyelamatkan harta warisan mereka yang tersimpan di dalamnya? Semua itu mereka lakukan karena ayah (kakek ketujuh) kedua anak yatim tersebut seorang yang saleh. Perhatikanlah, meskipun telah meninggal dunia, mereka masih dapat memberikan manfaat kepada yang hidup hingga Allah mengutus Nabi Musa dan Khidhir u untuk menjaga harta warisan tersebut.
Ibnu Abi Syaibah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sayidina ‘Umar t pernah terjadi paceklik. Saat itu Bilal bin Harits al Muzani berziarah ke makam Rasulullah e dan berkata, “Duhai Rasulullah e, mintakanlah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa.” Tak lama kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi e yang berkata kepadanya, “Temuilah ‘Umar, sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan bahwa mereka akan memperoleh hujan…”. Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Para ulama yang meriwayatkan hadits ini juga tidak ada yang mencela isinya.[19]
Saya katakan, kisah isra’ mi’raj yang disebutkan oleh Novel terjadi di akhirat bukan di dunia. Kemudian itu terjadi antara para Nabi, bagaimana ia hendak mengqiyaskan masalah akhirat yang terjadi di antara para Nabi dengan bolehnya orang yang masih hidup minta doa kepada orang yang mati ketika di dunia? Sungguh benar-benar qiyas yang aneh bin ajaib…
Demikian pula kisah Nabi Musa dan Khidhir u. Manfaat yang diberikan oleh si Kakek kepada cucunya ialah karena keshalihan kakek tersebut, dan ini khusus bagi seseorang untuk cucunya. Lantas bagaimana hendak diqiyaskan dengan istighatsah kepada orang mati? Dimanakah persamaannya? Kalaulah Si kakek dinyatakan shalih oleh Allah yang Maha Tahu (QS al Kahfi: 82), lalu siapa yang menjamin bahwa yang berada di dalam kubur tadi benar-benar orang shalih? Lepas dari itu semua, tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa orang yang sudah mati dapat mendengar seruan orang yang masih hidup, apalagi mendoakannya.
Kemudian tentang riwayat Ibnu Abi Syaibah, setelah merujuk ke kitab aslinya[20] ternyata dalam hadits tersebut tidak disebutkan nama Bilal bin Harits Al Muzani, berikut ini kami nukilkan riwayatnya lengkap dengan sanadnya, Ibnu Abi Syaibah berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مَالِكِ الدَّارِ , قَالَ: وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ , قَالَ: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ , فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ e , فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ , اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا , فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلامَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ : عَلَيْك الْكَيْسُ , عَلَيْك الْكَيْسُ , فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ , ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ.
Artinya: Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy, dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar, (Abu Shalih berkata): Konon dia (yakni Malik Ad Daar) adalah penjaga gudang makanan di masa Umar. Malik Ad Daar berkata: “Di zaman Umar, orang-orang mengalami paceklik, maka datanglah seseorang ke kubur Nabi e lalu mengatakan: “Ya Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Maka Beliau mendatangi orang tersebut dalam mimpinya lantas berkata kepadanya: “Datangilah Umar lalu sampaikan salamku kepadanya, dan kabarkan kepadanya bahwa kalian akan mendapat hujan. Lalu katakan kepadanya: “Hendaklah engkau bijaksana (2x)”. Kemudian orang tersebut mendatangi Umar dan mengatakan hal tersebut, maka Umar pun menangis dan mengatakan: “Ya Rabbi, aku tidaklah melalaikan kecuali apa yang tak sanggup kulakukan”.[21]
Kemudian setelah mengecek ucapan Ibnu Hajar Al Asqalani dari sumber aslinya[22], ternyata beliau mengatakan:
وَرَوَى ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ مَالِكِ الدَّارِي وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ…
Artinya: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih sebagai riwayat Abi Shalih As Samman dari Malik Ad Daar, dan konon ia penjaga gudang Umar…dst.
Ini menunjukkan bahwa Ibnu Hajar tidak menshahihkan hadits tersebut secara mutlak, akan tetapi menshahihkannya dari riwayat Abu Shalih As Samman dari Malik Ad Daar[23]. Namun, berhubung Novel dan gurunya[24] sama-sama tidak mengerti musthalah hadits, ia tidak bisa memahami perkataan Ibnu Hajar tadi dengan benar, lantas memotong perkataan beliau seenaknya dan mengatakan bahwa beliau menshahihkan hadits tersebut. Singkatnya, Ibnu Hajar tidak menshahihkan riwayat tersebut secara keseluruhan, tapi hanya menshahihkan sejumlah perawinya, yaitu: Abu Mu’awiyah, Al A’masy dan Abu Shalih As Samman. Kalaulah beliau hendak menshahihkan riwayat tersebut secara keseluruhan, niscaya beliau mengatakan:
وروى ابن أبي شيبة بإسناد صحيح أن مالك الدار…[25]
            Kemudian jika ditinjau dengan ilmu musthalah, hadits ini tidak bisa dianggap shahih. Karena kita tidak tahu siapakah orang yang mendatangi kuburan tersebut yang kemudian mimpi bertemu dengan Nabi… dst. Jelas sekali bahwa orang ini tidak diketahui identitasnya, lantas bagaimana hadits ini bisa dishahihkan, sedangkan pemeran utama dalam kisah tersebut adalah orang yang tidak dikenal…?
Thayyib, saya akan beritahu darimana Novel bisa mengatakan bahwa orang tersebut adalah sahabat Nabi yang bernama Bilal bin Harits Al Muzani… Novel menukil hal itu dari kitab ‘guru’nya yang menukil dari Saif bin Umar At Tamimi, yang meriwayatkan bahwa orang tersebut adalah Bilal bin Harits Al Muzani. Tapi sayangnya, Saif bin Umar adalah seorang yang dha’iful hadiets[26]. Jadi, riwayatnya otomatis mardud.
Barangkali karena merasa bahwa dalil-dalil yang disebutkannya tidak ada yang cukup kuat, Novel pun menyebutkan dalil berikutnya. Ia mengatakan (hal 134): “Imam Darimi menceritakan bahwa pada suatu ketika warga Madinah mengalami musim kemarau yang sangat panjang. Mereka mendatangi Ummul Mukminin ‘Aisyah rha mengadukan keadaan mereka. Beliau berkata, “Pandanglah makam Nabi Muhammad e dan buatlah lubang (seperti jendela) di atap makam beliau, sehingga antara makam beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya.” Masyarakat Madinah melaksanakan saran Ummul Mukminin ‘Aisyah rha dan tidak lama setelah itu turunlah hujan yang menyuburkan rerumputan dan menggemukkan onta. Atsar ini juga menyebutkan bahwa para sahabat beristighatsah dengan Rasulullah e setelah wafat beliau.
Saya heran, mengapa Novel tidak menyebutkan nomor jilid dan halaman dari kitab tempat dia menukil atsar tersebut? Tapi segera terlintas dalam benak saya bahwa atsar ini ia nukil dari sunan Ad Darimi, dan ternyata memang benar. Tapi masalahnya bukan di sini, rupanya Novel sengaja tidak menyebutkan nomor jilid dan halamannya karena khawatir jika kebohongannya terungkap, sebab dia mengatakan bahwa atsar ini juga menyebutkan bahwa para sahahat beristighatsah dengan Rasulullah setelah wafat beliau [27]. Dan saya sama sekali tidak mendapatkan apa yang dikatakan Novel tersebut. Bila pembaca ingin membuktikannya, silakan baca mukaddimah Sunan Ad Darimi, bab: Maa Akramallaahu Ta’ala Nabiyyahu e ba’da mautihi.[28] Bahkan dari penamaan bab-nya kita bisa menyimpulkan bahwa hadits diatas tidak ada hubungannya dengan istighatsah dengan orang yang sudah mati, akan tetapi sekedar menjelaskan bagaimana Allah memuliakan Nabi-Nya setelah beliau wafat.

[1] Penafsiran ini sengaja kami salin apa adanya secara selang-seling antara potongan ayat dengan tafsirnya agar mudah difahami.
[2] Demikianlah julukan para ulama terhadap beliau, yang artinya “Gurunya para ahli tafsir”. Hal ini ialah karena kitab tafsir yang beliau susun adalah kitab tafsir paling agung dan paling awal, dan seluruh ahli tafsir setelah beliau pasti menukil dari kitab tersebut. Nama beliau adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir, Abu Ja’far Ath Thabary. Beliau lahir tahun 224 H dan memiliki ilmu, kecerdasan dan banyaknya karya tulis yang jarang ada tandingannya di zaman itu. Beliau mengatakan: “Aku istikharah dan minta tolong kepada Allah selama tiga tahun untuk mewujudkan niatku menyusun tafsir sebelum aku menulisnya, maka Allah pun menolongku”. Suatu ketika beliau berkata kepada murid-muridnya:
“Tertarikkah kalian dengan tarikh sejak Nabi Adam hingga hari ini?”
“Seberapa panjang itu?” tanya mereka.
“Sekitar 30 ribu lembar, jawab beliau.
“Wah, umur kita akan habis sebelum menyelesaikannya”, jawab mereka.
“Inna lillaah, semangat (dalam mencari ilmu) telah padam”, tukas beliau.
Maka beliau pun meringkasnya menjadi sekitar 3000 lembar. Kemudian ketika ingin meng-imla’kan (mendiktekan) kitab tafsirnya, beliau juga berkata seperti itu dan mendapat jawaban yang sama, maka beliau pun meringkasnya menjadi 3000 lembar. Beliau wafat pada tahun 310 H, dan alhamdulillah, kedua kitab tersebut masih ada sampai hari ini. Demikianlah sekelumit biografi beliau, selengkapnya dapat saudara baca dalam Siyar A’laamin Nubala’ jilid 14 hal 267-282, tulisan Imam Adz Dzahabi.
[3] Inilah yang penting untuk difahami, apa makna aalihah dan autsaan? Yang pertama adalah bentuk jama’ dari kata ilaah, artinya sesuatu yang diibadahi, yang dalam konteks ini adalah shanam (patung/arca). Sedang yang kedua adalah bentuk jama’ dari kata watsan. Beda antara shanam dengan watsan ialah bahwa shanam memiliki tubuh atau wajah, sedangkan watsan tidak (lihat: Lisaanul ‘Arab, kata sha-na-ma (صنم) ).
[4] Lihat: Tafsir Ath Thabary 20/453.
[5]  Idem, 20/453.
[6]  Ironis memang kalau sang cucu justeru mengkhianati perjuangan orang yang diklaim sebagai leluhurnya. Mudah-mudahan dia segera bertaubat dari kesesatannya agar tidak menjadi seperti anak Nabi Nuh yang durhaka dan kufur terhadap ajaran ayahnya, hingga binasa dalam kekufuran. Ya… karena Islam bukan agama nepotisme, tidak bisa mentang-mentang keturunan Nabi lantas dapat jaminan Surga, doanya manjur, banyak berkahnya dan sebagainya… TIDAK sama sekali.
[7] Dalam surat Az Zumar ayat 3 Allah berfirman yang artinya: Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Lalu muncullah berhala seperti Laatta, ‘Uzza dan sebagainya. Tahukah Anda siapa itu Laatta? Simak penjelasan Ibnu ‘Abbas, Ibnuz Zubeir, Mujahid berikut: Al Laatta konon seorang yang membikin adonan gandum untuk jemaah haji –diambil dari kata: latta-yaluttu fahuwa laattun, yang artinya mencampur tepung dengan air. Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Setelah orang itu wafat, mereka mengeramatkan kuburannya dan menyembahnya!” (lihat: Tafsir Al Qurthubi, 17/100).
[8] Tanpa peduli apakah itu shahih, dha’if atau bahkan palsu sekalipun. kalaupun ada yang shahih –dan itu sangat jarang— maknanya pasti tidak mengena dan dipelintir kesana kemari.
[9] Sebagai rujukan, silakan baca kitab yang berjudul: Dam’atun alat tauhid (دمعة على التوحيد). Kitab ini dapat didownload dari internet, isinya tentang fenomena penyembahan terhadap berbagai kuburan di seluruh penjuru dunia. Anda mungkin tidak percaya jika di Mesir saja ada sekitar 6000 kuburan yang dikeramatkan, belum lagi di Pakistan, Bangladesh, Sudan dan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya.
[10] Begitu terjemahan Novel, sedangkan yang tepat adalah: kehilangan sesuatu.
[11]  Lihat: Al Majma’uz Zawa-id 10/133.
[12] Lihat penjelasan Syaikh Al Albani tentang hadits ini dan bantahan beliau terhadap orang yang menjadikannya sebagai dalil bolehnya beristighatsah kepada yang sudah mati dalam Silsilah Al Ahadiets adh Dha’iefah wal Maudhu’ah 2/109 hadits no 656.
[13] Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i 2/208 dengan sanad yang shahih.
[14] Idem, 2/208.
[15] Idem, 2/208.
[16] Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzy dalam Talbis Iblis hal 371, dengan sanad yang shahih.
[17] Lihat: Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 3/340, hadits no 1903.
[18] Lihat catatan kaki muhaqqiq pada hadits tersebut.
[19] Mana Dalilnya 1 hal133-134. Novel menukil dalil-dalil tersebut dari seorang Sufi sepertinya yang kacau dalam berpikir. Yaitu Muhammad ‘Alwi Al-Maliki dalam bukunya: Mafahim Yajibu An Tushahhah hal 151.
[20] Tidak seperti biasanya, Novel kali ini tidak mencantumkan lafazh haditsnya, mengapa? Wallahu a’lam, barangkali karena lafazh hadits tersebut dhahirnya banyak mengandung ‘masalah’ hingga repot untuk dipelintir kesana kemari, karena itu ia cukup menulis terjemahannya saja yang berbeda dari aslinya.
[21] Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 17/63-64.
[22] Lihat: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari 2/495, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.
[23] Artinya: sanadnya shahih sampai ke Abu Shalih As Samman saja. Adapun perawi yang disebutkan setelahnya tidak termasuk dalam ucapan beliau, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.
[24] Yaitu Muhammad ‘Alwi Al Maliki dalam bukunya Mafahiem Yajibu An Tushahhah. Novel banyak sekali menukil dari buku ini dalam menulis buku Mana Dalilnya 1.
[25] Yang artinya: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa Malik Ad Daar… dst”.
[26] Lihat: Taqriebut Tahdzieb 1/408. lihat juga perkataan para ulama tentangnya dalam Tahdzibut Tahdzieb 4/297, keduanya tulisan Ibnu Hajar. Diantara para ulama bahkan ada yang menuduhnya sebagai pemalsu hadits.
[27] Mana Dalilnya 1 hal 134 paragraf ke-3.
[28] Lihat scan halaman terkait dalam lampiran.



Antara Bid’ah dan Mashalih mursalah
            Saudaraku seiman, yang akan kita bahas kali ini sangatlah penting, yaitu persamaan dan perbedaan antara bid’ah dan mashalih mursalah. Dalam buku Mana Dalilnya 1, si penulis tak bisa membedakan antara bid’ah dan mashalih mursalah, akibatnya  ia menggolongkan hal-hal yang merupakan mashalih mursalah ke dalam bid’ah[1]). Seperti ketika menjelaskan  bid’ah wajib, ia mengatakan:
Bid’ah wajib ialah bid’ah yang harus dilakukan demi menjaga terwujudnya kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Diantaranya adalah:
  1. Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an menjadi satu mushaf demi menjaga keaslian Al Qur’an, karena telah banyak penghapal Al Qur’an yang meninggal dunia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar t.
  2. Memberi titik dan harakat (garis tanda fathah, kasrah dan dzamma pada huruf-huruf Al Qur’an). Pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin y, Al Qur’an ditulis tanpa titik dan harakat. Pemberian harakat dan titik baru dilakukan pada masa Tabi’in. Tujuannya adalah untuk menghindari kesalahan baca yang dapat menimbulkan salah pengertian dan penafsiran.
  3. Membukukan Hadits-hadits Nabi Muhammad e sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan ahli Hadits lainnya.
  4. Menulis buku-buku tafsir Al Qur’an demi menghindari salah penafsiran dan untuk memudahkan masyarakat memahami Al Qur’an.
  5. Membuat buku-buku fiqih sehingga hukum agama dapat diterapkan dengan baik dan mudah. [2])
Sebelum menjelaskan kerancuan klasifikasi di atas, ada baiknya kalau kita mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan mashalih mursalah itu.
Definisi Mashalih mursalah
Istilah di atas merupakan salah satu istilah ushul fiqih yang masyhur, yang tersusun dari dua kata; mashalih (مَصَالِحٌ) dan mursalah (مُرْسَلَةٌ). Kata yang pertama adalah bentuk jamak dari ‘maslahah’ (مَصْلَحَةٌ) yang artinya manfaat/kemaslahatan. Sedangkan mursalah artinya yang diabaikan. Jadi mashalih mursalah secara bahasa artinya ialah kemaslahatan-kemaslahatan yang diabaikan.
Agar lebih jelas, kita harus tahu bahwa setiap kemaslahatan pasti tak lepas dari salah satu keadaan berikut;
  1. Maslahah mu’tabarah (kemaslahatan yang diperhitungkan)
  2. Maslahah mulghaah (kemaslahatan yang dibatalkan)
  3. Maslahah mursalah (kemaslahatan yang diabaikan)
Maslahah mu’tabarah pengertiannya ialah setiap manfaat yang diperhitungkan oleh syari’at berdasarkan dalil-dalil syar’i. Aplikasi dari maslahah mu’tabarah ini biasanya kita temui dalam masalah qiyas. Misalnya ketika syari’at mengharamkan khamer, sesungguhnya ada suatu alasan yang selalu diperhitungkan dalam hal ini, yaitu sifat memabukkan.
Rasulullah e bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ (رواه مسلم رقم 2003).
 “Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap khamer itu haram” (H.R. Muslim no 2003).
Karenanya, segala sesuatu yang memabukkan -entah itu makanan, minuman, atau apapun- dihukumi sama dengan khamer. Qiyas semacam ini merupakan bentuk pengamalan akan maslahah mu’tabarah [3]). Karena dengan begitu kita dapat menjaga akal manusia dari segala sesuatu yang merusaknya, yang dalam hal ini adalah khamer. Sedangkan menjaga akal merupakan maslahah yang diperhitungkan oleh syari’at [4]).
Kesimpulannya, pengharaman setiap yang memabukkan seperti miras dan narkoba merupakan maslahah mu’tabarah.
Sedangkan maslahah mulghaah, ialah kemaslahatan yang dianggap batal oleh syari’at. Contohnya ialah maslahat yang terkandung dalam khamer dan perjudian. Allah U berfirman:
(البقرة: من الآية 219)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (Al Baqarah: 219).
Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa khamer dan judi itu mengandung beberapa manfaat bagi manusia, namun demikian hukumnya haram sehingga manfaatnya dianggap batal oleh syari’at Islam. Inilah yang dinamakan maslahah mulghaah. Contoh lainnya ialah maslahat mencari kekayaan dengan cara menipu dan manipulasi. Kekayaan di sini merupakan maslahat, akan tetapi caranya bertentangan dengan syari’at, sehingga maslahat yang ditimbulkannya dianggap batal. Demikian pula wanita yang mencari uang lewat melacur umpamanya.
Adapun maslahah mursalah, maka tak ada dalil dalam syari’at yang secara tegas memperhitungkan maupun membatalkannya. Singkatnya, maslahah mursalah adalah maslahat-maslahat yang terabaikan –alias tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya,– namun ia sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at [5]). Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, kita tahu bahwa sesungguhnya syari’at ditegakkan di atas azas mendatangkan manfaat dan menolak madharat. Karenanya, segala sarana yang bisa mendatangkan manfaat bagi seorang muslim atau menolak madharat darinya, boleh dipakai selama cara tersebut tidak bertentangan dengan syari’at[6]). Inilah sebenarnya hakekat mashalih mursalah, dan inilah yang sering dianggap bid’ah hasanah oleh sebagian orang yang tidak faham.
Untuk lebih jelasnya, kami akan menyebutkan beberapa persamaan antara bid’ah dan mashalih mursalah:
No
Mashalih Mursalah
Bid’ah
1
Tidak dijumpai di zaman Nabi e
Tidak dijumpai di zaman Nabi e
2
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya
Sedangkan perbedaan antara keduanya ialah:
No
Maslahah Mursalah
Bid’ah
1
Bisa bertambah dan berkurang atau bahkan ditinggalkan sesuai dengan kebutuhan, karena ia sekedar sarana & bukan tujuan hakiki, alias bukan ibadah yang berdiri sendiri.
Bersifat paten dan dipertahankan hingga tidak bertambah atau berkurang, karena ia merupakan tujuan hakiki alias ibadah yang berdiri sendiri dan bukan sarana.
2
Sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi; atau sudah ada tapi ada penghalangnya
Sebab-sebabnya sudah ada di zaman Nabi dan tidak ada penghalangnya.
3
Tidak mengandung unsur memberatkan, karena tujuan dasarnya ialah mencari kemaslahatan.
Mengandung unsur memberatkan, karena tujuannya dasarnya untuk berlebihan dalam beribadah.
4
Selaras dengan misi syari’at (maqashidus syari’ah)
Tidak selaras dengan misi syari’at, bahkan cenderung merusaknya [7]).
Kalau kita merenungi perbedaan-perbedaan di atas, maka kerancuan yang terjadi dalam menentukan mana bid’ah dan mana maslahah mursalah bisa kita hindari. Jika salah satu ciri bid’ah di atas kita temukan dalam suatu masalah, maka ketahuilah bahwa ia termasuk bid’ah, demikian halnya dengan mashalih mursalah.
Kemudian perlu diketahui pula bahwa mashalih mursalah terbagi menjadi tiga: dharuriyyah (bersifat darurat), haajiyyah (diperlukan), dan tahsiniyyah (sekedar tambahan/pelengkap). Contoh yang dharuriyyah ialah pembukuan Al Qur’an dalam satu mushaf, sedangkan contoh yang haajiyyah ialah membuat mihrab di masjid sebagai petunjuk arah kiblat; dan contoh yang tahsiniyyah seperti melakukan adzan awal sebelum adzan subuh[8]). Bertolak dari sini, kita akan menjawab semua yang dianggap bid’ah di atas:
1.       Pembukuan Al Qur’an dalam satu Mushaf
Hal ini termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa alasan; pertama: ia merupakan sarana untuk menjaga keotentikan Al Qur’an dan bukan tujuan hakiki. Karenanya, sekarang Al Qur’an tidak sekedar berwujud mushaf, akan tetapi sudah direkam dalam kaset, CD, dan perangkat elektronik lainnya. Kedua: kendati sebab-sebabnya ada di zaman Nabi e, tapi ketika itu ada yang menghalangi para sahabat untuk membukukannya. Karena ketika itu Al Qur’an belum turun seluruhnya, dan sering terjadi nasekh (penghapusan hukum atau lafazh ayat tertentu). Padahal alasan untuk membukukan sudah ada, dan sarana tulis-menulis pun ada. Ketiga: dengan dibukukan dalam satu mushaf, penjagaan akan keotentikan Al Qur’an jadi lebih mudah.
Lebih dari itu, penulisan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan sunnah-nya Khulafa’ur Rasyidin, jadi tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah [9]).
2.   Pemberian titik dan harakat pada huruf-huruf Al Qur’an.
Sebagaimana pendahulunya, hal ini bukanlah bid’ah namun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah jika dilihat dari tiga sisi. Pertama: ia merupakan cara/wasilah agar orang tak keliru membaca ayat, tapi bukan tujuan hakiki dan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya cara tersebut bisa ditambah/diperlengkap sesuai kebutuhan, seperti tanda-tanda waqaf, saktah, isymam, dan semisalnya. Kedua: sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi e karena para sahabat semuanya fasih dalam berbahasa Arab, sehingga mereka tak perlu pakai titik dan harakat dalam membaca teks Arab, apalagi sebagian besar mereka masih mengandalkan kekuatan hafalan daripada tulis-menulis. Ketika banyak orang ‘ajam (non Arab) yang masuk Islam, otomatis mereka tak mampu membaca huruf Arab yang gundul tanpa titik dan harakat tadi. Maka diberilah tanda-tanda tertentu sebagai pedoman membaca. Ketiga: tujuannya jelas untuk mempermudah membaca Al Qur’an.
3.    Membukukan hadits-hadits Nabi.
Ini pun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa hal. Pertama: ia merupakan sarana untuk mengumpulkan dan mengabadikan hadits Nabi e, dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya metode yang digunakan pun berubah-ubah sesuai kebutuhan[10]). Kedua: belum ada sebab-sebab yang mendorong hal itu di zaman Nabi e. Karena saat itu belum ada pemalsuan hadits, dan periwayatan hadits berada di tangan orang-orang yang jujur dan terpercaya. Namun ketika terjadi fitnah antara Ali t dan Mu’awiyah t, para pendukung dari masing-masing golongan mulai berani memalsukan hadits atas nama Rasulullah e dengan tujuan mengunggulkan pemimpin masing-masing, tambah lagi periwayatan hadits pun semakin meluas dan mencakup setiap golongan, baik yang jujur dan kuat hafalannya, maupun yang pendusta dan sering lupa. Karenanya para ulama terdorong untuk membukukan hadits dan menjelaskan derajat hadits tersebut. Ketiga: tujuannya jelas untuk mendekatkan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullah e agar mudah dibaca dan diamalkan.
Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat maslahah mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga dien.
Demikian pula dengan contoh keempat dan kelima yang disebutkan oleh Novel di atas. Itu semua termasuk maslahah mursalah yang berkisar antara dharuriyyah atau haajiyyah, dan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah kalau kita terapkan penalaran tadi.
Contoh lain dari maslahah mursalah yang sering dianggap bid’ah ialah penggunaan mikrofon dan karpet di masjid-masjid, berangkat haji dengan pesawat terbang, makan dengan sendok dan garpu, cara berpakaian, dan sebagainya. Mereka yang menganggapnya bid’ah hendak menyamakannya dengan tahlilan, shalawatan, peringatan 7 harian, 40 harian, 100 harian, dan bid’ah-bid’ah lainnya. Sehingga kita jadi serba susah kalau ingin membid’ahkan hal-hal semacam ini. Untuk itu mari kita bahas permasalahan ini dengan menerapkan kaidah pembeda antara bid’ah dengan maslahah mursalah.
4.    Penggunaan mikrofon di masjid-masjid
Hal ini sama sekali bukan bid’ah secara syar’i, mengapa? Pertama: karena  mikrofon hanyalah sarana untuk memperluas jangkauan adzan, ceramah, dan sebagainya; dan alasan ini didukung oleh syari’at. Buktinya ialah disunnahkannya memilih muadzin  yang bersuara lantang. Ini jelas menunjukkan bahwa ia sekedar sarana dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Artinya tidak ada seorang pun yang meyakini bahwa dengan menggunakan mikrofon pahalanya akan bertambah. Begitu pula kalau sekali waktu mikrofon itu ngadat, aktivitas tetap berjalan tanpa kurang suatu apa, karena ia tak lebih dari sekedar alat. Kedua: alat seperti ini belum ada di zaman Rasulullah, karenanya keberadaannya sekarang bukanlah bid’ah secara syar’i. Ketiga: ia bertujuan mempermudah, bukan memberatkan.

5.    Berangkat haji dengan pesawat terbang
Hal ini juga sering diidentikkan dengan bid’ah[11]). Tentunya dengan logika yang dangkal pun kita bisa membantahnya… Memang apa sangkut-pautnya antara ibadah haji dan kendaraan yang kita naiki? Adakah seseorang meyakini bahwa dengan naik pesawat hajinya jadi lebih mabrur? Tentu tidak. Ia tak ubahnya seperti orang yang berangkat shalat jum’at dengan naik mobil, sepeda motor, becak, atau kendaraan lainnya. Sama sekali tak terbetik dalam benaknya bahwa kendaraan yang ia tumpangi memberikan nilai plus terhadap ibadahnya. Apa lagi kalau dilihat dari segi sebabnya, jelas di zaman Nabi belum ada sebab-sebab terwujudnya pesawat terbang. Demikian pula dengan fungsinya yang hanya sebagai sarana transportasi belaka. Juga dari sifatnya yang mengikuti perkembangan teknologi. Kalau dahulu kaum muslimin berangkat haji dengan mengendarai unta atau berjalan kaki, kemudian terus berkembang hingga kira-kira di awal abad 20 mulai digunakan kendaraan bermotor dan kapal laut, maka saat ini mereka menggunakan pesawat terbang. Entah kendaraan apa yang akan digunakan seabad kemudian…
Adapun cara makan, jika dilakukan dengan menyerupai orang kafir, atau berangkat dari keyakinan tertentu seperti menghindari jenis makanan tertentu yang dihalalkan dengan niat taqarrub kepada Allah U, padahal tidak ada anjuran untuk itu; maka ia termasuk bid’ah. Namun jika tidak demikian maka tidak termasuk bid’ah.
Demikian pula dengan cara berpakaian, ia tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah selama tidak menyerupai orang kafir, atau dilakukan cara tertentu yang tidak berdasar kepada dalil tapi diiringi i’tikad bahwa hal tersebut dianjurkan dalam Islam.

[1]) Demikian pula setiap orang yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, pasti ia mencampuradukkan antara bid’ah dengan mashalih mursalah.
[2])  Mana Dalilnya 1, hal 29.
[3]) Lihat Mudzakkirah fi Ushulil Fiqh hal 201, oleh Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithy, cet  Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, Madinah Saudi Arabia.
[4])  Para ulama menyebutkan bahwa misi setiap syari’at (maqashidu asy syari’ah) itu ada lima:
1.        Menjaga dien (agama).
2.        Menjaga jiwa.
3.        Menjaga akal.
4.        Menjaga keturunan.
5.        Menjaga harta. Ada pula yang menambahnya dengan:
6.        Menjaga kehormatan.
(lihat Al Ihkam, 3/274 oleh Al Aamidy, ta’liq Syaikh Abdurrazzaq Al ‘Afify cet. Al Maktabul Islamy; Al Bahrul Muhith (كتبا القياس, تقسيم المناسب) oleh Badruddien Az Zarkasyi; Syarh Al Kaukabul Munier  (باب القياس, الرابع من مسالك العلة المناسبة) oleh Al Futuhy.
[5]) Lihat: Mukhtasar Al I’tisham hal 101 oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar oleh Sayyid ‘Alawi bin Abdul Qadir Assaqqaf, cet 1 1418H  Daarul Hijrah, Riyadh – Saudi Arabia.
[6])  Lihat: Al Inshaf, 26-28.
[7])  Lihat Qawa’id fi Ma’rifatil Bida’, oleh DR. Muhammad Husein Al Jezany.
[8])  Ibid, hal 29-30.
[9]) Bandingkan dengan bid’ahnya majelis dzikir jama’ah yang sering terlihat di televisi umpamanya. Pertama: hal tersebut adalah tujuan hakiki, bukan sekedar sarana; karenanya ia dianggap sebagai ibadah yang berdiri sendiri. Kedua: sebab-sebab untuk mengadakannya sudah ada di zaman Nabi; dan tidak ada yang menghalangi para sahabat untuk melakukannnya. Ketiga: ia mengandung unsur memberatkan karena sifatnya menambah aktivitas ibadah seseorang. Keempat: tidak sesuai dengan misi syari’at dan dalil syar’i, diantaranya firman Allah yang maknanya: “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam hatimu dengan khusyu’ dan rasa takut, serta dengan tidak mengeraskan suara, baik di pagi  maupun petang hari…” (Al A’raf: 205).
[10]) Ada yang mengumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya (seperti kitab-kitab musnad); ada pula yang berdasarkan topik-topik tertentu dengan hanya memasukkan yang shahih saja (disebut Jaami’, seperti Al Jaami’us Shahih atau Shahih Bukhari dan Shahih Muslim); ada lagi yang khusus berkenaan dengan masalah fiqih (disebut Sunan, seperti Sunan Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dll), dan seterusnya. Ini menandakan bahwa penyusunnya tidak mempertahankan model tertentu tapi sewaktu-waktu dapat ditinggalkan.
[11]  Dalam buku Mana Dalilnya hal 31, Novel menggolongkannya dalam bid’ah mubah.


Seputar Ziarah Kubur
Ziarah kubur bagi wanita
Ziarah kubur bagi laki-laki adalah hal yang disunnahkan, sedangkan bagi wanita masih diperselisihkan hukumnya. Sebagian ulama menganjurkan, sebagian lagi mengharamkan , sebagian lagi memakruhkan, dan sebagian lagi membolehkan dengan syarat tidak sering melakukannya. Masing-masing punya dalil dalam hal ini, dan setelah diamati, agaknya pendapat terakhirlah yang rajih karena bisa mengkompromikan dalil-dalil yang ada, wallahu a’lam. Pun demikian, ada syarat-syarat lain yg harus dipenuhi, yaitu: tidak boleh berhias, tidak boleh meratap, bisa mengendalikan diri, dan memakai busana muslimah.
Berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita, Novel mengatakan: “Sebagaimana kaum pria, para wanita juga diizinkan untuk berziarah, selama tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Agama. Bahkan mereka dianjurkan untuk menziarahi kubur para Nabi dan ulama untuk mendapatkan keberkahan mereka” [1].
            Saya katakan: Mana dalilnya yang menyebutkan bahwa tujuan dari ziarah kubur ialah mencari berkah? Tidak ada satu dalilpun yang mengarah kesana… bahkan ada sebuah hadits yang berlawanan dengan pendapatnya secara diametral!!
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ.
Dari Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah e melaknat wanita-wanita yang sering menziarahi kuburan (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya. Hadits ini dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani).[2]
Kalau Novel mengatakan bahwa hadits ini disampaikan oleh Rasulullah e sebelum beliau mengizinkan dan memerintahkan ziarah kubur, maka saya katakan: Mana dalilnya yang menunjukkan demikian??
Kalau Novel mengkhususkan larangan tersebut bagi wanita yang meratapi mayit dan bersolek secara berlebihan hingga menimbulkan fitnah bagi kaum pria, maka saya katakan: Mana dalilnya yang mengarah kesana?? Nampaknya Novel lupa bahwa judul bukunya suatu ketika menjadi bumerang baginya.
Namun hal lain yang lebih penting untuk dicermati ialah ketika dia mengaitkan ziarah kubur dengan berkah, kira-kira apa yang dia maksudkan sesungguhnya? Adakah dia ingin agar orang-orang meyakini bahwa para Nabi dan orang shaleh yang telah wafat tadi dapat memberikan berkah kepada para peziarah? Mengapa dia lebih suka mengaitkan manusia dengan orang-orang yang telah berkalang tanah, dan tidak mengaitkannya dengan Dzat yang Maha Hidup dan tidak pernah mati? Apakah dia meyakini bahwa keberkahan dapat diperoleh dengan cara seperti ini? Mana Dalilnya??
Bisakah dia mendatangkan satu dalil saja yang menunjukkan bahwa para Nabi dan orang shaleh dapat memberikan berkah kepada orang yang menziarahi mereka? Adakah para sahabat berkeyakinan demikian terhadap orang-orang paling shaleh macam Abu Bakar dan Umar t? Kalaulah Abu Bakar dan Umar saja tidak diyakini demikian oleh para sahabat –padahal keduanya adalah manusia paling shaleh setelah para Nabi menurut ijma’ ulama–, lantas bagaimana Novel dapat menentukan bahwa kuburan wali fulan, atau habib fulan, atau kuburan siapa pun yang marak diziarahi adalah kuburan orang shaleh?? Adakah ia mengetahui isi hati seseorang hingga bisa mencapnya sebagai orang shaleh?
Mengatur waktu ziarah
Adapun mengatur waktu ziarah, maka tidak ada dalil yang jelas dan tegas dalam hal ini. Namun yang ada ialah bahwa setiap kali Rasulullah e bermalam dengan Aisyah t, beliau keluar di akhir malam ke pemakaman Baqi’ dan mendoakan sahabat-sahabat beliau yang dikubur di sana. Hadits ini meskipun shahih, tidak berarti bahwa kita disunnahkan untuk mengatur waktu tertentu dalam berziarah, seperti mengkhususkan hari atau tanggal tertentu secara rutin untuk ziarah. Namun hadits diatas sekedar menandakan bahwa ziarah kubur boleh dilakukan kapan saja, baik siang maupun malam.
Kemudian Novel menyebutkan sebuah riwayat yang intinya bahwa Siti Fatimah puteri Rasulullah e senantiasa menziarahi makam Hamzah bin Abdul Muttalib setiap hari Jum’at dan menandai makamnya dengan batu besar.[3]
Sekarang, marilah kita cek validitas riwayat ini. Dalam tafsirnya, Al Qurthubi menukil riwayat ini dari Abu Bakar Al Atsram dengan sanad sebagai berikut:
حدثنا مسدد حدثنا نوح بن دراج عن أبان بن تغلب عن جعفر بن محمد قال: كانت فاطمة …  الحديث
Musaddad mengabarkan kepada kami, katanya: Nuh bin Darraj mengabarkan kepada kami, dari Aban bin Tighlab, dari Ja’far bin Muhammad, katanya: Konon Fatimah… dst (seperti yang kami nukil diatas).
Sebagaimana yang pembaca lihat, bahwa dalam sanad ini terdapat perawi yang bernama Nuh bin Darraj, perawi ini oleh Ibnu Hajar dinyatakan matruk[4], bahkan ia dianggap pendusta oleh Imam Ibnu Ma’in [5]. Kemudian sanad hadits ini juga terputus, karena Ja’far bin Muhammad –yang dijuluki As Shadiq– adalah putera dari Imam Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang dijuluki Al Baqir. Ja’far As Shadiq lahir tahun 80 H dan wafat tahun 148 H [6], sedangkan Siti Fatimah wafat tahun 11 H, maka jelaslah bahwa riwayat ini sanadnya terputus karena antara kelahiran Ja’far dan wafatnya Fatimah t terpaut 69 tahun! Kesimpulannya, hadits diatas derajatnya amat sangat lemah sekali, kalau tidak mau dibilang palsu!
Hadits palsu lainnya yang disebutkan oleh Novel ialah hadits berikut:
مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا
Barangsiapa menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka pada setiap hari Jum’at, maka dia diampuni dan dicatat sebagai seorang anak yang berbakti (kepada orang tuanya). (HR Baihaqi) [7]
Setelah mengecek sumber asalnya, ternyata pada sanad hadits diatas ada perawi yang bernama Muhammad bin Nu’man (majhul/tidak diketahui keadaannya), kemudian Yahya ibnul Ala’ Al Bajali (Kadzdzab/pendusta), dan Abdul Karim Abu Umayyah (dha’if/lemah). Dari sini jelaslah bahwa hadits diatas adalah hadits palsu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah hadits dha’ifnya jilid 1 hal 125.
Lebih dari itu, secara logika hadits ini juga tidak masuk akal. Sebab mafhumnya menunjukkan bahwa bila ada seorang anak yang selama hidupnya selalu durhaka kepada orang tuanya, maka setelah orang tuanya mati dia bisa dianggap sebagai anak yang berbakti. Bagaimana? Mudah, cukup ziarah setiap minggu ke kuburan orang tuanya… Aneh khan??
Benarkah pemakaman kaum shalihin adalah tempat terkabulnya doa?
Agaknya saudara kita yang satu ini benar-benar Qubury[8]. Dengan cara berdalil yang aneh bin ajaib, dia menyimpulkan bahwa kuburan merupakan tempat terkabulnya doa. Mana dalilnya? Dalilnya ialah bahwa dalam doa masuk pemakaman, Rasulullah mengucapkan:
أَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ لَنَا وَلَكُمْ (رواه النسائي)…. يَغْفِرُ اللهُ لَنَا وَلَكُمْ (رواه الترمذي).
Aku memohon kepada Allah untuk memberikan keselamatan kepada kami dan kalian semua (HR Nasai)….. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian (HR Tirmidzi).[9]
Sebenarnya syubhat ini terlalu lemah untuk kita gubris… tapi tak mengapa, agar kita semua tahu bahwa tarekat yang dibela oleh Novel memang selalu berkutat dengan akal-akalan yang menggelikan. Karenanya, kita akan jawab secara logika saja.
Novel mengatakan: “Selain berdoa untuk mereka, dalam salam yang disampaikan Rasulullah e ketika memasuki pemakaman tertulis jelas bahwa beliau juga berdoa untuk dirinya (kemudian dia menyebutkan kedua hadits diatas). Kemudian lanjutnya:
Dua hadis diatas menunjukkan bahwa pemakaman kaum Shalihin merupakan salah satu tempat terkabulnya doa. Oleh karena itu ketika berziarah kita dianjurkan untuk berdoa sebanyak mungkin…” dst.[10]
Saya katakan: Kalau begitu cara dia berdalil, mestinya di depan WC/toilet juga merupakan tempat terkabulnya doa, dan dia juga harus banyak-banyak berdoa disana!! Mengapa? Perhatikan riwayat Anas bin Malik berikut:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
          Adalah Rasulullah e ketika hendak masuk WC/toilet mengucapkan: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaithan laki-laki dan perempuan” (HR Bukhari & Muslim).
Kemudian simaklah riwayat Aisyah yang mengatakan:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ :  غُفْرَانَكَ
            Bahwasanya Nabi e jika keluar dari tempat buang hajat mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
Namun mengapa Novel tidak menjadikan muka WC/toilet sebagai tempat terkabulnya doa, padahal Rasulullah juga berdoa di sana? Barangkali jawabannya ialah karena setiap orang punya WC di rumahnya, jadi percuma saja kalau dia anjurkan orang-orang untuk berdoa di sana… namun jika dikaitkan dengan kuburan, maka mereka akan rajin berziarah ke makam para ‘wali’, ‘shalihin’ dan ‘haba-ib’, hingga pengaruh spiritual Novel dan orang-orang sepertinya tetap terjaga di masyarakat… atau agar  perayaan haul yang mereka adakan tiap tahun semakin ramai, hingga ‘pemasukan’ mereka makin bertambah! Wallahul musta’an…
Melakukan perjalanan khusus untuk ziarah kubur para Nabi dan wali
Sebagaimana pernah disinggung sebelumnya, penganut tarekat sufi semacam Novel Alaydrus dalilnya takkan lepas dari dua hal: hadits dha’if/palsu namun lafazhnya sesuai kemauan mereka, atau hadits shahih yang maknanya dipelintir kesana kemari.
Jadi, dalam bab ini saya hanya akan menjelaskan validitas (keabsahan) dalil-dalil yang disebutkan oleh si Habib dalam rangka melegitimasi praktik yang berkembang di masyarakat, yang –diakui atau tidak– pasti menguntungkan mereka.
Di halaman 82 dia menulis sbb: “Melakukan perjalan khusus ke pemakaman para Nabi dan wali bukanlah suatu hal yang baru bagi umat Islam. Sejak zaman Nabi e hingga saat ini kaum Muslimin sangat bersemangat untuk menempuh ribuan kilometer demi sebuah kunjungan ruhani.”
Saya katakan, ini merupakan kedustaan yang dinisbatkan kepada mereka yang hidup di zaman Nabi e, sebab ia mengatakan bahwa kaum muslimin dari zaman tersebut –yang berarti para sahabat, tabi’ien, tabi’ut tabi’ien dst– hinnga zaman ini sangat bersemangat untuk menempuh ribuan kilometer demi sebuah kunjungan ruhani.
Mana Dalilnya Bib?
Pasti ada dong… (meski haditsnya sangat lemah/palsu, Novel tak ragu-ragu untuk menisbatkannya kepada Rasulullah e, dia mengatakan — hal 83-84 — ): “Rasulullah e bersabda“:
1- مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
1- “Barang siapa menziarahi makamku, maka dia pasti akan mendapat syafa’atku.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Bazzar, Daruquthni dan Baihaqi).
2- مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
2- “Barang siapa menziarahiku setelah aku meninggal dunia, maka seakan-akan dia sedang berziarah kepadaku ketika aku masih hidup.” (HR. Baihaqi).
3- مَنْ زَارَنِي مُتَعَمِّدًا كَانَ فِي جِوَارِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
3- “Barang siapa menyengaja untuk berziarah kepadaku, maka kelak di hari kiamat dia berada dalam perlindunganku.” (HR. Baihaqi).
4- مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي كَانَ كَمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
4- “Barang siapa menunaikan ibadah haji dan kemudian berziarah ke makamku setelah aku meninggal dunia, maka dia seperti sedang mengunjungiku pada saat hidupku.” (HR Thabrani, Daruquthni dan Baihaqi).
5- مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
5- “Barang siapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahiku, maka dia telah meninggalkanku.” (HR. Ibnu Hibban dan Daruquthni).
Sekarang, mari kita cek validitas hadits-hadits di atas…
Derajat hadits-hadits di atas secara umum adalah dha’iifah-waahiyah (sangat lemah), bahkan ada pula yang maudhuu’ah (palsu). Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“ليس في الأحاديث التي رويت بلفظ زيارة قبره -صلى الله عليه وسلم- حديث صحيح عند أهل المعرفة، ولم يخرج أرباب الصحيح شيئاً من ذلك، ولا أرباب السنن المعتمدة، كسنن أبي داود والنسائي والترمذي ونحوهم، ولا أهل المساند التي من هذا الجنس؛ كمسند أحمد وغيره، ولا في موطأ مالك، ولا مسند الشافعي ونحو ذلك شيء من ذلك، ولا احتج إمام من أئمة المسلمين -كأبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد وغيرهم- بحديث فيه ذكر زيارة قبره” وقال -أيضاً- : “ليس في هذا الباب ما يجوز الاستدلال به، بل كلها ضعيفة، بل موضوعة”
“Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafazh menziarahi kubur beliau (Nabi e), tidak ada satu pun yang shahih menurut para ahli hadits. Para penulis kitab shahih pun tidak ada yang meriwayatkannya, demikian pula penulis kitab-kitab sunan yang mu’tamad seperti Sunan Abi Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan yang semisalnya. Bahkan penulis kitab-kitab Musnad yang sejenis ini pun juga tidak meriwayatkannya, seperti Musnad Ahmad dan yang lainnya[11]. Hadits-hadits ini sama sekali tidak ada dalam Muwaththa’ Malik, Musnad Syafi’i dan yang semisalnya; Tidak satu pun dari Imam kaum muslimin seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad dan lain-lain yang berdalil dengan hadits yang menyebutkan tentang ziarah kubur Nabi”. Beliau juga mengatakan: “Dalam bab ini tidak ada yang boleh dijadikan dalil, semua haditsnya lemah bahkan palsu”.[12]
Sedangkan Imam Ibnu Abdil Hadi dalam bantahannya terhadap As Subki mengatakan:
“جميع الأحاديث التي ذكرها المعترض في هذا الباب وزعم أنها بضعة عشر حديثاً ليس فيها حديث صحيح، بل كلها ضعيفة واهية”
Semua hadits yang disebutkan si penentang dalam bab ini, yang menurutnya ada 17 hadits, tidak ada satu pun yang shahih, namun semuanya dha’if dan sangat lemah.[13]
Adapun derajatnya secara khusus, untuk hadits pertama ada dua kekeliruan; Pertama: Novel menisbatkannya kepada Tirmidzi… siapakah Dia? Dia bukanlah Imam Muhammad bin Isa At Tirmidzi penyusun Sunan At Tirmidzi yang terkenal itu, akan tetapi Dia adalah Al Hakiem At Tirmidzi dan hadits tersebut ada dalam kitabnya Nawadirul Ushuul.[14]
Saya tidak tahu mengapa Novel tidak menjelaskan hal tersebut, namun kelihatannya kemungkinannya satu dari dua: ia menukil dari orang yang bodoh seperti dia dalam ilmu hadits hingga tidak bisa membedakannya, dan tidak mau mengecek kebenaran nukilan tersebut; atau ia sengaja melakukan hal itu (baca: talbis) agar terkesan bahwa hadits tadi disebutkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya yang terkenal itu… laa haula walaa quwwata illa billaah, sungguh memprihatinkan!
Demikian pula keberadaan hadits ini dalam Sunan Ad Daruquthni dan Al Baihaqi, sama sekali tidak menunjukkan bahwa hadits ini shahih. Bahkan orang yang mengamati Sunan Ad Daruquthni secara sepintas akan tahu bahwa sebagian besar hadits yang ada di dalamnya berkisar antara dha’if-munkar-waahiy dan maudhu’. Mengapa? Karena tujuan beliau menulis kitab ini ialah untuk menjelaskan hadits-hadits dha’if yang sering dijadikan dalil oleh para fuqaha’.
Kedua: dalam sanad yang disebutkan oleh Ad Daruquthni ada perawi yang bernama Musa bin Hilal. Abu Hatim mengatakan bahwa dia itu majhul, lalu Al ‘Uqaili mengatakan: laa yutaaba’u ‘ala hadietsihi[15], sedang Adz Dzahabi mengatakan bahwa dia ini shaalihul hadits (baik haditsnya) dan hadits paling munkar yang diriwayatkannya adalah hadits di atas[16]. Singkatnya, hadits ini munkar (sangat dha’if).
Demikian pula dengan hadits kedua, hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan Ad Daruquthni dalam Sunan-nya, namun dalam sanadnya ada perawi yang majhul dan mubham (tidak diketahui identitas dan derajatnya)[17]. Jadi, hadits ini pun lemah.
Hadits ketiga juga sama dengan pendahulunya, dalam sanadnya ada perawi yang majhul[18]. Jadi… simpulkan sendiri.
Adapun hadits keempat & kelima, uff … palsu semua!! Luar biasa, Novel sungguh berani dalam hal ini… sampai berdusta atas nama Nabi segala[19]. Dan lagi-lagi ia mengulangi talbisnya dengan menisbatkan hadits tersebut kepada Imam Ibnu Hibban, seakan-akan beliau meriwayatkan hadits tersebut dalam Shahihnya. Padahal hadits tersebut ada dalam kitab beliau yang berjudul Al Majruhien, alias kitab yang hanya memuat perawi-perawi dha’if beserta hadits mereka!! Bahkan liciknya, Novel tidak menukil komentar Ibnu Hibban terhadap perawi hadits ini yaitu Nu’man bin Syibel, padahal beliau mengatakan:
يَأْتِي عَنِ الثِّقَاتِ بِالطَّامَّاتِ، وَعَنِ الأَثْبَاتِ بِالمَقْلُوبَاتِ
Ia mendatangkan bencana dari para perawi yang terpercaya, dan meriwayatkan hadits-hadits yang terbalik dari mereka[20]. Kemudian menyitir hadits kelima di atas.
Subhanallah… beginikah arti sebuah amanah ilmiyah menurut Novel? Memang… kebatilan tidak akan laku kecuali dengan mempercayai para pendusta, atau mendustakan mereka yang terpercaya.
Berdalil dengan hadits palsu dan qiyas yang kacau
Dalam penjelasan berikutnya (hal 84-85), Novel menggunakan qiyas yang serba rusak untuk membolehkan ziarah ke makam nabi-nabi yang lain, termasuk para ‘wali’. Ia meng-qiyaskan hal tersebut dengan adanya anjuran untuk menziarahi makam Nabi Muhammad e, sebagaimana yang tersebut dalam lima hadits di atas.
Mengapa qiyas di atas saya katakan serba rusak? Sebelum menjawab, perlu kita ketahui bahwa qiyas merupakan dalil keempat setelah Al Qur’an, Sunnah yang shahih dan Ijma’. Mengingat qiyas merupakan hasil ijtihad, para ulama telah menetapkan kriteria tertentu untuk menilai kebenaran suatu qiyas. Pertama-tama kita harus tahu bahwa qiyas memerlukan empat unsur, yang dalam istilah ushul fiqih disebut: ashl, fare’, ‘illah wa hukm. Artinya: sebuah qiyas tidak mungkin terjadi tanpa adanya:
1-      Pokok permasalahan yang dijadikan acuan (ashlun),
2-      Masalah turunan yang hendak dikiaskan (fare’),
3-      Sebab/alasan keduanya bisa disamakan (‘illah), dan
4-      Hukum akhir (hukm).
Kemudian, para ulama menentukan kriteria untuk masing-masing unsur tadi. Mereka mengatakan bahwa pokok permasalahan yang dijadikan acuan haruslah memiliki nash yang jelas (manshuushun ‘alaih), artinya ada dalil yang shahih dan sharih dalam masalah itu. Sedangkan masalah turunannya haruslah masalah baru yang tidak ada dalilnya. Kemudian adakah alasan yang menyamakan antara pokok permasalahan dengan masalah turunannya? Kalau memang alasannya ada dan sama, maka qiyas bisa dilakukan. Namun jika ada tapi tidak sama maka qiyas tersebut rusak.
Sekarang mari kita cek keabsahan qiyas tersebut. Pertama, dari pokok permasalahan, dalil yang digunakan semuanya dha’if, berarti anjuran untuk menziarahi makam Nabi e tidak ada yang sah. Kedua, masalah turunan yang hendak diqiyaskan –yaitu melakukan perjalanan ziarah ke makam para Nabi, wali dan orang shalih–, telah memiliki hukum yang jelas (lihat pembahasan berikutnya). Ketiga, alasan yang digunakan pun tidaklah sama; karena Nabi Muhammad e tidak sama dengan Nabi-nabi lainnya, apalagi dengan orang yang dianggap wali atau shalih. Apalagi julukan ‘wali’ telah banyak disalah gunakan oleh banyak kalangan dari dahulu hingga sekarang… lantas dari mana kita bisa mengatakan bahwa si Fulan adalah wali atau orang shalih setelah dia mati? Apakah kita bisa memastikan bahwa amalan si Fulan diterima Allah hingga ia layak dijuluki orang shalih? Padahal seseorang tidak bisa dijuluki shalih kecuali jika beramal dengan ikhlas dan ittiba’, lantas bagaimana mungkin kita tahu dia ikhlas atau tidak? Itu semua adalah masalah ghaib yang hanya bisa diketahui dengan dalil qath’iy, lain tidak.
Singkatnya, Nabi Muhammad e tidak bisa disamakan dengan siapa pun dalam hal keshalihan maupun keimanannya. Kalau sudah demikian, jelaslah bahwa qiyas yang dilakukan Novel tadi serba rusak… rusak dalilnya, rusak alasannya dan otomatis rusak pula hukum akhirnya.
Memelintir makna hadits
Tak cukup berdalil dengan hadits palsu dan qiyas yang kacau, Novel bahkan memelintir makna sebuah hadits yang melarang apa yang sedang dibelanya mati-matian, yaitu acara ziarah ke makam para wali, dan orang-orang shalih, termasuk para habib tentunya…
Hadits tersebut adalah hadits muttafaq ‘alaih yang bunyinya:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِى هَذَا وَالْمَسْجِدِ الأَقْصَى
Tidak diikat pelana unta kecuali untuk menuju tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjidil Aqsha.
Novel mengatakan: “Saudaraku, dalam hadis diatas tidak ada larangan untuk berziarah kubur, bahkan kata kubur sama sekali tidak disebut. Hadis ini hanya ingin menjelaskan, bahwa seseorang tidak usah bercapai-capai melakukan perjalanan ke sebuah masjid demi mencari kemuliaannya, kecuali menuju tiga mesjid diatas. Nilai ibadah di semua mesjid selain tiga mesjid diatas adalah sama. Kendati demikian, kita masih boleh mengunjungi sebuah masjid yang berada jauh dari kita untuk mengenang sejarahnya dan mencari keberkahan di sana. Buktinya, pada setiap hari Sabtu, Rasulullah e mengunjungi Masjid Quba’, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyidina Abdullah bin Umar bin Khaththab t berikut:… dst”, lalu Novel mengutip haditsnya.
            Saya katakan, memang kata kubur tidak disebutkan di situ, tapi mana dalilnya yang mengkhususkan bahwa larangan tersebut hanya berkaitan dengan perjalanan menuju suatu mesjid selain mesjid yang tiga, lalu disimpulkan bahwa perjalanan mengunjungi kuburan tidak dilarang? Jika bercapai-capai menuju sebuah mesjid –yang merupakan tempat ibadah– saja tidak boleh, bukankah logikanya menuju kuburan para wali dll –yang sering kali jadi ajang kemusyrikan– lebih tidak boleh lagi?
Kemudian Novel berdalil dengan perjalanan Nabi ke Mesjid Quba’ setiap hari Sabtu sbb:
كَانَ النَّبِيُّ e يَأْتِي مَِسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا
“Dahulu pada setiap hari Sabtu, Rasulullah e mengunjungi Masjid Quba’ berjalan kaki atau berkendaraan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Saya katakan, yang dilarang bukanlah mengunjungi suatu mesjid secara mutlak, akan tetapi kunjungan yang mengharuskan seseorang untuk ‘mengikat pelana unta’ alias safar[21]. Sedangkan perjalanan Rasulullah e dari rumah Beliau –yang berdempetan dengan Mesjidnya- ke Mesjid Quba’ terlalu dekat untuk  disebut safar, bahkan sekarang pun orang Medinah akan tertawa jika ada yang mengatakan: “Saya akan safar dari Mesjid Nabawi ke Mesjid Quba’ “. Ya… sebab jarak antara keduanya tak sampai 10 km.
Lantas apa makna hadits di atas? Hadits di atas mencakup larangan untuk safar dalam rangka ibadah ke suatu tempat semata-mata karena tempat itu, bukan karena hal lain seperti silaturahmi, berdagang, mencari ilmu, rekreasi dan kegiatan mubah lainnya. Jadi, setiap safar yang dilakukan dalam rangka ibadah di suatu tempat tertentu adalah terlarang, kecuali tiga mesjid tadi.
Saudara pasti bertanya: Mana Dalilnya? Simaklah riwayat berikut:
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّهُ قَالَ لَقِيَ أَبُو بَصْرَةَ الْغِفَارِيُّ أَبَا هُرَيْرَةَ وَهُوَ جَاءٍ مِنْ الطُّورِ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتَ قَالَ مِنْ الطُّورِ صَلَّيْتُ فِيهِ قَالَ أَمَا لَوْ أَدْرَكْتُكَ قَبْلَ أَنْ تَرْحَلَ إِلَيْهِ مَا رَحَلْتَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Dari Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, katanya: Abu Basrah Al Ghifari suatu ketika berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari bukit Thur, maka tanyanya:
“Anda datang dari mana?”
“Dari bukit Thur… aku shalat di sana”, jawab Abu Hurairah.
“Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah e bersabda: Tidaklah diikat pelana… dst”, kata Abu Basrah.[22]
Kita semua tahu bahwa bukit Thur adalah bukit bersejarah tempat Nabi Musa diajak bicara oleh Allah pertama kalinya, dan diangkat menjadi Rasul[23]. Allah U pernah mengangkat bukit tersebut ke atas Bani Israel ketika Dia mengambil sumpah setia dari mereka[24]. Di sebelah kanan bukit Thur, Allah mengumpulkan Musa beserta Bani Israel setelah Fir’aun dan bala tentaranya binasa[25]. Di bukit itu, Musa memohon untuk bisa melihat Allah namun kemudian jatuh pingsan, dan di sanalah jua Allah menurunkan Taurat kepadanya.[26]
Jelas, bukit ini merupakan bukit yang diberkahi oleh Allah. Dalam menjelaskan hadits di atas, Al Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Ucapan Abu Hurairah: ‘Aku pergi ke bukit Thur’[27]; jelas sekali dalam hadits ini bahwa di tidak pergi ke sana kecuali demi mencari berkah dan shalat di sana”[28].
Imam Abul Walid Al Bãji ketika menjelaskan dialog antara Abu Basrah dan Abu Hurairah mengatakan: “Ucapan Abu Hurairah: ‘Aku datang dari Bukit Thur’ mengandung dua kemungkinan; mungkin dia kesana untuk suatu keperluan, atau dia kesana dalam rangka ibadah dan taqarrub. Sedang ucapan Abu Basrah: ‘Andai saja aku sempat menyusulmu sebelum kau berangkat, maka kau takkan berangkat’, merupakan dalil bahwa Abu Basrah memahami bahwa tujuan Abu Hurairah ke sana ialah dalam rangka ibadah; dan diamnya Abu Hurairah ketika perbuatannya diingkari, merupakan dalil bahwa apa yang difahami Abu Basrah tadi benar.[29]
Kesimpulannya, perjalanan jauh atau safar yang dilarang ialah safar untuk mencari berkah atau ibadah di tempat tertentu, yang semata-mata karena tempat tersebut. Semua perjalanan yang dilakukan dengan niat tersebut adalah haram, kecuali ke Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Sedangkan safar yang dilakukan tanpa niat ibadah di tempat tertentu tidaklah termasuk dalam hadits ini, akan tetapi hukumnya tergantung tujuan safar itu sendiri, sebab pada dasarnya safar adalah sesuatu yang dibolehkan dalam agama.
Namun lucunya, Novel kemudian menulis (hal 85): “Oleh karena itu, sungguh aneh jika hadis ini dijadikan sebagai dalil yang melarang kita untuk menziarahi kubur para Nabi dan kaum Sholihin yang berada di luar kota, sedangkan orang yang pergi ke luar negeri, ke negara-negara kafir pun tidak pernah dilarang.”
Lihatlah analogi yang kacau tersebut… ia hendak menyamakan antara orang yang safar untuk ziarah kubur –yang kenyataannya justeru merupakan ajang berbagai kemunkaran, mulai dari bid’ah hingga syirik akbar–, dengan orang yang pergi ke luar negeri secara umum. Di mana letak persamaannya? Hanya Novel yang tahu…
Namun yang lebih lucu lagi ketika dia mengatakan bahwa pergi ke negara-negara kafir tidak pernah dilarang, padahal para ulama menyebutkan bahwa safar ke negara kafir hukumnya haram, kecuali dengan tiga syarat:
1-      Orang tersebut harus berilmu hingga bisa menepis syubhat-syubhat orang kafir.
2-      Orang tersebut harus memiliki iman yang kuat untuk menghadapi fitnah syahwat.
3-      Dia harus mampu menampakkan syiar-syiar Islam.
Lebih dari itu, ia hanya boleh safar ke negara kafir dengan alasan yang dibolehkan oleh agama, seperti mempelajari suatu ilmu yang hanya ada di negeri itu dan ilmu tersebut sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin, atau berobat, atau dalam rangka dakwah, jihad, dan semisalnya.[30]
Apalagi Nabi e mengatakan:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْ مُشْرِكٍ أَشْرَكَ بَعْدَ مَا أَسْلَمَ عَمَلاً حَتىَّ يُفَارِقَ المُشْرِكِينَ إِلىَ المُسْلِمِيْنَ.
Allah tidak akan menerima amalan seorang musyrik -yang berbuat syirik- setelah dia masuk Islam, hingga dia memisahkan diri dari kaum musyrikin kepada kaum muslimin.[31]
Dan mengatakan:
أَنَا بَرِىءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ؟ قَالَ: لاَ تَرَاءَى نَارَاهُمَا »
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal diantara orang-orang musyrik”. Kata para sahabat: “Mengapa wahai Rasulullah?”, “Jangan sampai api keduanya saling terlihat” jawab Beliau.[32]
Al Imam Ibnul Atsir mengatakan bahwa jawaban Nabi di atas artinya seorang muslim harus tinggal berjauhan dengan orang musyrik, sampai kalau si muslim menyalakan api tidak terlihat oleh si musyrik. Dan ini merupakan anjuran untuk hijrah dan tinggal bersama kaum muslimin.[33]
Betapa gamblangnya kedua hadits diatas… apakah setelah membaca kedua hadits di atas masih ada orang yang mengatakan: “pergi ke negara-negara kafir pun tidak pernah dilarang???”, alangkah bodohnya dia kalau begitu…

[1] Mana Dalilnya 1, hal 70.
[2] Hadits ini juga disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Hassan bin Tsabit t, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, kitabul Jana-iz, bab ke 49.
[3] Mana Dalilnya 1, hal 74. Novel menukil riwayat ini dari Tafsir Al Qurthubi 3/381.
[4] Yakni julukan untuk rawi yang hadits-nya dianggap dha’if jiddan (lemah sekali) dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah e.
[5] Lihat: Taqribut Tahdzieb hal 567, tahqiq: Muhammad ‘Awwamah, cet. th 1406/1986, Daar Ar Rasyid-Suriah.
[6] Lihat: Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzy 5/97, tahqiq: DR. Basyar Awad, cet. Muassasah Ar Risalah. Lihat juga Taqribut Tahdzieb hal 141, dan hal 751.
[7]  Mana Dalilnya 1, hal 74.
[8]  Artinya orang yang sangat gandrung kepada kuburan.
[9] Lihat: Mana Dalilnya 1 hal 80 yang kami lampirkan di belakang.
[10] Mana Dalilnya 1, hal 82.
[11]  Ini menunjukkan bahwa para ahli hadits yang mensyaratkan untuk tidak memasukkan sembarang hadits dalam kitabnya memandang bahwa hadits-hadits di atas tidak layak dinisbatkan kepada Rasulullah e. Jadi, Syaikhul Islam seakan mengisyaratkan bahwa kalau dalam kitab-kitab Sunan maupun Musnad yang mu’tamad saja hadits-hadits tersebut tidak ada –padahal kitab-kitab ini memuat banyak hadits dha’if lainnya– berarti hadit-hadits tadi memang terlalu dha’if hingga tidak layak untuk dinisbatkan kepada Rasulullah.
[12]  Lihat: Ar Raddu ‘alal Akhna-iy hal 87-88 dan Majmu’ Fatawa 27/216 dan setelahnya.
[13]  Ash Sharimul Munkiy, hal 15.
[14] Dia adalah Muhammad bin ‘Ali ibnul Hasan bin Bisyr Al Hakiem At Tirmidzi, seorang Sufi dan ahli hikmah namun akidahnya kacau (lihat: Tarikhul Islam 21/277-278 oleh Imam Adz Dzahabi). Dalam Siyar A’lamin Nubala’ (13/439), Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan kata-kata berikut: Al Imam Al Hafizh Al ‘Arif Az Zahid… dst. Bila orang yang awam tentang hadits dan kitab rijaal hadits macam Novel Alaydrus membaca ungkapan ini, pasti ia akan terkecoh dan menganggap bahwa orang ini memang benar-benar imam! Tapi… jangan tergesa-gesa, sebab Imam Dzahabi dalam kitab ini sering mengucapkan kata-kata tersebut lalu menyebutkan dalam biografi yang bersangkutan hal-hal yang bertolak belakang dengan sederet gelar mulia tadi. Contohnya lihat biografi Asy Syaadzakuuni (10/679); setelah menggelarinya dengan Al Imam Al Hafizh Al Baari‘ Abu Ayyub, Sulaiman bin… dst beliau mengatakan: “Ahadul Halka”, yang artinya: Salah seorang yang celaka. Karenanya, jangan terkecoh dengan gelar sebelum membaca biografi yang bersangkutan dari awal hingga akhir.
Dalam kedua kitab tersebut Imam Adz Dzahabi menukil sebuah riwayat dari Abu Abdirrahman As Sulami (salah seorang Imam Ahlus Sunnah) bahwa Al Hakiem At Tirmidzi pernah diusir oleh orang-orang dari kota Tirmidz dan mereka bersaksi bahwa dia telah kafir tersebab kitab Khatm al Wilayah dan Milal asy Syari’ah yang ditulisnya. Dalam kedua kitab tadi ia menyebutkan bahwa para wali memiliki khatam (penutup) sebagaimana para nabi memiliki khatam. Ia bahkan menganggap bahwa kewalian lebih mulia dari pada kenabian, dengan berdalil dengan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa para Nabi iri terhadap para Wali…”. Kemudian di akhir biografinya, Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku memohon keselamatan kepada Allah dari kesesatan orang-orang sufi, dan aku berlindung kepada-Nya dari kekufuran filosof kaum sufi. Mereka berkedok dengan lahiriyah Islam sembari menghancurkannya secara tersembunyi. Mereka mengaitkan orang-orang awam dengan ikatan dan simbol-simbol sufi dengan segala isyarat yang terkesan indah, demikian pula dengan ucapan mereka yang enak didengar, biografi tokoh mereka yang aneh, tata cara mereka yang ajaib, feeling mereka yang keras yang menyeret pada kehancuran dan lain sebagainya…” (Tarikhul Islam 21/278).
[15] Artinya tidak ada perawi lain yang meriwayatkan hadits ini dari guru yang sama. Ini merupakan indikasi bahwa perawi tersebut lemah.
[16] Lihat: Catatan kaki muhaqqiq Sunan Ad Daruquthni 3/334 (hadits no 2695).
[17] Lihat: At Talkhies Al Habier hadits no 1073, oleh Ibnu Hajar.
[18] Lihat: Syu’abul Iman, hadits no 4152. Dalam hadits itu ada perawi yang tidak jelas siapa orangnya (mubham), namun sekedar disebutkan bahwa dia adalah salah seorang keluarga Al Khattab atau Umar.
[19] Hadits keempat dinyatakan maudhu’ oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’iefah no 47, dan Ibnu Thahir Al Maqdisi dalam Dzakhieratul Huffazh (4/5250). Intinya, para ulama sepakat akan kedha’ifannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Ar Raddu ‘alal Akhna-iy hal 28.
Sedangka hadits kelima dinyatakan maudhu’ oleh As Suyuthi, Ash Shaghani, Az Zarkasyi, Ibnul Jauzy, Al Albani dll (lihat Al Fawaidul Majmu’ah no 35 oleh Asy Syaukani dan Silsilah Adh Dha’iefah no 45).
[20]  Al Majruhien, 3/73. Dalam ilmu jarh wat ta’dil (kritikan dan pujian) yang kami pelajari selama di bangku kuliah, ungkapan ini merupakan isyarat bahwa yang bersangkutan tertuduh mencuri hadits, alias menisbatkan hadits-hadits mungkar ke perawi-perawi tsiqah agar terkesan sanadnya shahih.
[21]  Dalilnya ialah bahwa dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh:
إِنَّمَا يُسَافَرُ إِلىَ ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدُ الْكَعْبَةِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ إِيْلِيَاءَ.
Safar hanyalah boleh dilakukan ke tiga mesjid: Masjidil Ka’bah (Mesjidil Haram), Masjidku (Nabawi) dan Masjid Iliya’ (Baitul Maqdis). (HR. Muslim dalam Shahihnya no 1397). Jadi, jelaslah bahwa ‘mengikat pelana unta’ sama dengan ‘safar’.
[22]  HR. Ahmad dalam Musnadnya  39/270 hadits no 23850. Hadits ini sanadnya shahih, Al Haitsami mengatakan dalam Majma’uz Zawa-id (4/3): “Rijaalu Ahmad tsiqaatun atsbaat” (para perawi hadits Ahmad tsiqah semua dan kuat hafalannya). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik secara panjang lebar dalam Muwaththa’nya no 241.
[23] Lihat Surat Al Qashash: 29.
[24] Lihat Surat Al Baqarah: 63, 93 dan An Nisa’: 154.
[25] Lihat Surat Maryam: 52, dan Thaha: 80.
[26] Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Thaha ayat 80.
[27] Ini menurut riwayat Imam Malik yang lebih panjang dari yang kami nukil di atas. Dalam riwayat tersebut Abu Hurairah memulai haditsnya dengan kata-kata tersebut.
[28] Lihat: At Tamhid, 23/28.
[29] Lihat: Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa
[30] lihat: Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 28/3; Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 4/381, 24/44; Fatawa Lajnah Da-imah 2/107, 26/93, dan lain-lain.
[31] HR. Ibnu Majah (no 2536) dan Ahmad (no 20043) dengan sanad hasan.
[32] HR. Abu Dawud (2647) dan Tirmidzi (1604) dengan sanad yang shahih.
[33] Lihat: An Nihayah fie Ghariebil Hadits 2/177.

Sumber
http://widiy.blogspot.com/
Catatan Al_Fakir
Baca selengkapnya
Diberdayakan oleh Blogger.