23 Juni, 2009

Sikap Kita Terhadap Maksiat

Apayang anda lakukan saat melihat suatu kemaksiatan? baik oleh teman anda, saudara atau orang lain?

Semakin dunia mendekati kiamat, kemaksiatan pun semakin nyata tersebar di mana-mana. Tak terkecuali di negeri-negeri kaum muslimin. Misalnya praktik riba atau membungakan uang, kebiasaan meninggalkan shalat dan puasa Ramadhan, wanita yang meninggalkan jilbab serta suka berdandan dan pamer aurat di luar rumahnya.

Bagaimana sikap seorang muslim terhadap kebanyakan maksiat yang tersebar seperti itu? Berikut jawaban Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (karena keterbatasan halaman, jawaban beliau v kami ringkas-Red):

Sikap seorang muslim (terhadap hal itu) telah dibatasi oleh Nabi n yang bersabda,

“Barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan suatu kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, maka jika ia tidak mampu dengan hatinya dan itulah selemah-lemah iman.”

Dari hadits ini, pengubahan terhadap kemungkaran itu melalui tiga tahapan.

Tahapan pertama: Mengubah dengan tangan

Jika Anda berkuasa mengubah kemungkaran dengan tangan Anda, maka lakukanlah. Dan hal itu memungkinkan dilakukan oleh seseorang jika kemungkaran tersebut terjadi di rumahnya dan dialah yang berkuasa di rumah itu. Dalam kondisi ini dia dapat mengingkari kemungkaran tersebut dengan tangannya.Seandainya seorang lelaki (suami/ayah) masuk ke dalam rumahnya lalu ia menemukan alat musik, maka memungkinkan baginya untuk mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, seperti dengan mematahkan alat tersebut karena ia mampu melakukannya.

Tahapan kedua: Mengubah dengan lisan

Jika ia tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangannya, maka dapat berpindah pada tahapan yang kedua yaitu mengubah kemungkaran dengan lisan. Dan mengubah dengan lisan (dapat dilakukan) dengan dua cara.

Pertama, dengan mengatakan kepada pelaku kemungkaran, "Tinggalkanlah kemungkaran ini," dan berbicara dengannya serta memarahinya jika kondisi menuntut demikian.

Kedua, jika ia tidak dapat melakukan hal tersebut maka hendaklah ia menyampaikan kepada para penguasa (waliyul amri).

Tahapan ketiga: Mengubah dengan hati

Jika ia tidak sanggup mengubah kemungkaran dengan tangan atau lisan, maka hendaknya ia mengingkarinya dengan hati dan itu merupakan selemah-lemah keimanan. Pengingkaran dengan hati adalah dengan membenci kemungkaran itu dan membenci keberadaannya, serta menginginkan agar ia tidak ada.

Di sini terdapat satu point yang harus kita perhatikan, dan ia diisyaratkan oleh Nabi n dalam hadits ini, "Barangsiapa di antara kalian yang melihat...”

Penglihatan di sini; apakah ia adalah penglihatan dengan mata atau berdasarkan pengetahuan atau secara sangkaan? Adapun secara sangkaan maka tentu bukanlah yang dimaksud di sini, karena tidak boleh memberi sangkaan yang buruk terhadap seorang muslim!

Jika demikian maka yang tersisa adalah penglihatan/pandangan dengan mata atau berdasarkan pengetahuan.

Dengan mata: Maksudnya jika seseorang melihat (langsung) kemungkaran tersebut.

Adapun berdasarkan pengetahuan: Jika ia (hanya) mendengar namun tidak melihatnya, atau jika seseorang yang dapat dipercaya memberitahukannya tentang (kemungkaran) tersebut.

Di sini jelaslah bagi kita bahwa Rasulullah n menginginkan agar kita tidak tergesa-gesa dalam menghukumi seseorang dalam kemungkaran hingga kita melihatnya: "Barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan suatu kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya, jika ia tidak mampu hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya dan itulah selemah-lemah iman."

Sebagian orang bertanya kepada saya, "Saya duduk bersama pelaku kemungkaran dan saya membenci (kemungkaran itu) dengan hati serta mengingkarinya dengan hati, maka apakah saya terjatuh dalam dosa atau tidak?"

Ia mengatakan, "Saya bersaksi kepada Allah bahwa saya membenci kemungkaran ini dan tidak menyukainya dengan hati saya." Maka kita mengatakan, "Anda belumlah mengingkarinya dengan hati Anda, karena jika Anda telah mengingkarinya dengan hati Anda, maka Anda akan mengingkarinya dengan anggota tubuh Anda, karena Nabi n berkata,

“Ingatlah! Bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka akan baik pula seluruh jasad. Dan apabila ia rusak maka akan rusak pula seluruh jasad. (Ketahuilah) bahwa ia adalah hati.” [Mutafaq alaihi]

Seandainya hati Anda membencinya, maka apakah mungkin Anda tetap duduk bersama orang-orang yang melakukannya?

Oleh karena itu Allah l berfirman,

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” [An-Nisa': 140]

Oleh karena itu, sesungguhnya sebagian orang awam sangatlah memprihatinkan. Mereka menyangka, bahwa jika ia duduk bersama kemungkaran dalam keadaan membencinya dengan hatinya, itu diperbolehkan. Padahal maksudnya tidaklah demikian.

Persoalannya seperti yang telah saya jelaskan kepada Anda sekalian, bahwa orang-orang yang mengingkari (kemungkaran) dengan hatinya tentulah tidak mungkin tetap tinggal (dengan kemungkaran itu) baik secara kenyataan maupun secara syar’i. Dan dustalah perkataan orang yang mengatakan bahwa saya membenci kemungkaran ini, namun ia tetap duduk bersama pelakunya.

Wallahu a'lam bishawab.

[Disalin dari kitab Al-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Penerjemah Muhammad Ihsan Zainuddin, Penerbit Darul Haq] diambil dari: http://almanhaj.or.id

sumber

Bagikan

Jangan lewatkan

Sikap Kita Terhadap Maksiat
4 / 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

SILAHKAN BERKOMENTAR UNTUK KASIH MASUKAN

Diberdayakan oleh Blogger.