BAHTERA DAKWAH SALAFIYYAH DI LAUTAN INDONESIA
Disusun Oleh :
Muhammad Arifin Badri, Lc, MA
( Alumni S-2 Universitas Islam Madinah, KSA
dan Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah, KSA )
Alhamdulillah, Washsholatu wasallamu `alaa asyrofil anbiyaai nabiyyinaa muhammadin wa `alaa aalihi wa ashhaabihi ...
Adalah sikap yang bijak dalam segala urusan, bila kita selalu mengevaluasi setiap perbuatan dan sikap yang pernah kita lakukan, guna mengembangkan keberhasilan dan meluruskan kesalahan, sehingga hari-hari kita selalu bertambah baik, bila dibanding hari-hari sebelumnya. Dan pada kesempatan ini, saya mengajak semua orang yang berkepentingan dengan dakwah salafiyyah di Indonesia untuk sedikit menoleh kebelakang, guna menilik kembali, lalu mengevaluasi perjalanan dakwah islamiyyah ini.
Umar bin Khaththab pernah berkata : Artinya : bermuhasabahlah intropeksi dirilah) sebelum kalian dihisab. ( HR. At tirmidzi dan Ibnu Syaibah ). Hal ini saya anggap penting dan sangat mendesak untuk bersama-sama kita lakukan, karena saya merasa, dan setiap orang telah merasakan adanya berbagai aral dan berbagai badai yang sedang menerpa bahtera dakwah ini.
Bahkan pada akhir-akhir ini semakin banyak badai dan ombak yang menerpa, bila tidak segera diluruskan laju bahtera ini, saya takut akan oleng dan tenggelam. Sungguh indah dan tepat sekali permisalan yang telah diberikan oleh Rasulullah Shollollohu `Alaihi Wa sallam bahtera dakwah ini.. tatkala beliau bersabda : Artinya : Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan (syariat ) allah dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal / bahtera, sehingga sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal tersebut, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya, sehingga yang berada dibagian bawah kapal bila mengambil air, maka pasti melewati orang-orang yang berada diatas mereka, kemudian mereka berkata : seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada diatas kita. Nah apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginnanya, niscaya mereka semua akan binasa, dan bila mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka telah menyelamatkan orang-orang tersebut, dan mereka semuapun akan selamat. ( HR Bukhori ).
Bila kita amati dan renungkan realita dakwah salaf di negri kita, kita akan melihat adanya berbagai kekurangan yang mesti dibenahi, dan menurut hemat saya, ada enam permasalahan yang sepatutnya kita pikirkan bersama, kemudian kita bersama-sama mencarikan solusi baginya, keenam permasalahan tersebut adalah :
1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar.
2. Sikap tidak jujur terhadap diri ssendiri.
3. Kedudukan uang transport bagi seorang da'i.
4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh aliran-aliran) yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal jama'ah.
5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan argumentasi lawan.
6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama'.
Untuk lebih jelasnya, akan saya jabarkan keenam permasalahan tersebut satu demi satu :
1 . Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar
Bila kita membaca nasehat-nasehat para ulama' –baik ulama'- terdahulu maupun ulama' zaman sekarang- dalam perihal menuntut ilmu, maka kita akan dapatkan mereka menganjurkan kita untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang paling penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang kurang penting dan seterusnya,. Sehingga setiap orang yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu, maka dengan ilmu itulah ia memulai belajar. Dan setelah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus bisa memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu tersebut, sehingga ia harus mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu tersebut, sebelum ia mempelajari hal-hal lainnya.
Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim, adalah ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan ketika kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu, dari bagian ilmu tauhid yang mana kita harus memulai ? Apakah kita mulai dari mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid rububiyyah, atau tauhid asma' wa shifat ? Mungkin ada yang berkata : Bagaimana, saya bisa melakukan hal ini, sedangkan saya adalah pemula atau orang awam, yang belum tahu apa-apa ?
Nah...inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai tholibul ilmi pemula, terlebih-lebih masyarakat awam , tentunya ia tidak akan mampu melakukan hal ini sendiri, oleh karena itu, disini datanglah peran para asatidzah dab du'at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan membimbing murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan kemampuannya. Nah...kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak dilalaikan oleh para asatidzah dan du'at-du'at kita, sehingga terjadilah kekacauan, dan berbagai fitnah di masyarakat.
Artinya : Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al-Baghdady dalam kitab Al Jami', keduanya dengan menyebutkan sanadnya).
Sebagai contoh nyata : Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi muqabalah (test seleksi mahasisiwa untuk belajar di Al Jami'ah Al-Islamiyyah), berkumpulah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah pesantren, lalu beberapa asatidzah –termasuk saya sendiri- menghubungi beberapa syekh yang sedang menjalankan test muqobalah tersebut, guna emohon agar sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren tersebut diatas dan kemudian menguji ke 50 thullab tersebut. Alhamdulillah, salah seorang syekh yang ada kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh tersebut bernama : "Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil" Penulis buku Manhaj dan Aqidah Imam Syafi'iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'I), dan ketika beliau sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung mengetest / menguji ke-50 thullab, satu demi satu.
Dan diantara pertanyaan yang beliau lontarkan kepada mereka :"Sebutkan rukun-rukun sholat?"Sangat memalukan, dari ke 50 orang tersebut, tidak satupun yang berhasil memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan ada salah satu dari mereka yang memeberanikan diri untuk menjawab, dan berkata :"Diantara rukun sholat adalah berwudhu sebelumnya". Lalu syekh tersebut bertanya kepada salah seorang mereka : "Siapakah yang lebih kafir, ahlul bid'ah ataukah yahudi?", maka dengan sekonyong-konyong orang tersebut berkata : Ahlul bid'ah lebih kafir dibanding yahudi. Tatkala syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban tersebut, beliau terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat memalukan ini dan berkata: "Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj salaf ?!, Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!.
Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah seorang ustadz yang berceramah dan berkata : "Sesungguhnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang sururiyyin, sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan yang rumit".
Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz tersebut, apakah pertanyaan tentang rukun sholat rumit? Apakah tidak ada yang tahu bahwa yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid'ah banyak dari mereka tidak sampai kepada kekufuran ?!?!?!
Contoh lain : Beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara masyarakat dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan diluar masjid, iqomah tanpa menggunakan pengeras suara, menentukan waktu-waktu shalat dengan menggunakan matahari, mengenakan pakaian gamis dilingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll.
Contoh lain : Setiap kali sampai ke Indonesia sebuah kitab baru, terutama yang ditulis oleh ulama'-ulama' zaman sekarang, seperti Syekh Rabi' bin Hadi Al Madkholi, Ali Hasan, Mansyur Hasan Salman, atau yang lainnya, kita langsung ramai-ramai membacakan kitab tersebut, dan marak diadakan dauroh-dauroh membahas kitab tersebut, dan tatkala ada kitab baru lagi,maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab tersebut, dan begitulah seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab tersebut, akan tetapi, sistematis dalam belaja dan mengajar harus tetap dijaga.
Contoh lain : Tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da'i yang sedang ditahdsir, maka disetiap kota, dan setiapa majlis, pembicaraan dan materi kajiannyapun berhubungan dengan ustadz tersebut, baik yang pro ataupun kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan tersebut, dan melalaikan ilmu.
Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang diombang-ambingkan oleh angin, kemana angin berhembus, maka kesanalah buih menuju. Oleh karena itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk dari cara pedidikan dan dakwah seperti ini, tidak kokoh sebagaimana lemahnya buih lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian. Sebagai wujud lain dari permasalahan ini adalah : Sering kali kita merasa cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak mengenal hakikat.
Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat islam ini, adalah merupakan istilah syar'i, sehingga defiinisi dan maknanyapun harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat islam, tidak cukup untuk dipahami secara bahasa Sebagai contoh : kata "sholat" secara bahasa kata ini bermakna "doa", akan tetapi dalam syariat kata tersebut memiliki definisi lain, sehingga kalau kita membaca ayat atau hadits yang menyebutkan kata "sholat", maka kita fahami secara istilah syariat, bukan secara bahasa. Begitu juga halnya dengan istilah –istilah syariat lainnya, kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata "sholat"disitu adalah makna secara bahasa, bukan secara syariat.
Nah...sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai istilah dalam syariat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah kita sudah mengenal makna istilah tersebut secara syariat, sebagaimana kita mengenal definisi kata "sholat", lengkap dengan mengenal syarat, rukun, wajibat, dan sunnah-sunnahnya?.Untuk lebih jelasnya, kita kenal kata "tasyabbuh", apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini dengan benar, syarat-syarat, rukunrukun, dan hukumnya ? atau kita baru tahu namanya saja ? Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits berikut ini :Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata : "Tatkala Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam hendak menuliskan surat ke romawi, (para sahabat berkata kepada beliau) : Sesungguhnya orang-orang romawi tidak mau membaca surat, kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam membuat stempel dari perak". (HR Bukhori dan Muslim)
Bukankah Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam dalam kisah ini meniru kebiasaan orang-orang kafir? Bukankah ini tasyabbuh ? Ini menunjukkan bahwa tidak semua perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli bid'ah diharamkan, akan tetapi ada beberapa kriteria / syarat yang harus diperhatikan, diantaranya :
1. Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka.
2. Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat.
3. adanya niat meniru, berdasarkan hadits ( Innal a'malu binniyaati / sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat...)
Sebagai contioh lain : Kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang, berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, adalah dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang mengharamkannya hal-hal tersebut dengan alasan tasyabbuh?
Yang lebih memilukan adalah nasib istilah "manhaj salaf", betapa sering kita mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan berdakwah sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik bertanya kepada diri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj salaf, bagaimana rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam manhaj salaf, sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami manhaj salaf...dst?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang –menurut hemat saya- sampai saat ini di negri kita Indonesia, belum mendapatkan jawaban dan penjelasan yang semestinya. Oleh karena itu, setiap kali kita mengenal atau mendengar sebuah nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya kita jangan merasa puas, sebelum mengenal dan memahami segala permasalahan yang berhubungan dengan istilah tersebut. Dengan cara kita tanyakan kepada para `ulama atau kita baca kitab-kitab yang menjelaskan istilah tersebut hingga tuntas. Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini:adalah sikap meremehkan peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai ilmu syariat.
Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah. Mereka berkata : "Yang penting bagi kita adalah mengetahui, bahwa amalan tersebut diamalkan oleh Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam, maka kita amalkan, tidak perlu tahu, apakah hal tersebut merupakan syarat, rukun, atau wajib, atau sunnah dalam suatu sebuah ibadah.
Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang mengaku dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang tersebut adalah seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih memilukan lagi bila ternyata yang mengucapkan itu adalah seorang yang menyandang gelar ( Lc ) yang ia peroleh dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah Munawwarah. Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan : Artinya : arangsiapa yang tidak memperoleh hal-hal yang prinsip, maka dia tidak akan mencapai ilmu.
Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang mengatakan ungkapan ini : "Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang berhasil menjadi ulma', tanpa mempelajari lmu-ilmu tersebut?" Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi setelah saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut hanya ingin menutupi ketidak pahamannya tentang ilmu-ilmu tersebut.
Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu tersebut, dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi kita semua. Ahlis sunnah wal jama'ah telah sepakat dalam mendefinisikan "iman", bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota badan.
Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll, maka dihukumi telah kafir, keluar dari agama islam, walaupun ia masih tetap menjalankan sholat, puasa, mandi janabah dll.
Imam An Nawawi berkata : "Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus dan orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka tidak diberikan uzur bagi siapapun, karena sebuah alasan yang ia pegangi, untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan orang yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, haramnya zina, khomer, menikahi mahram. Dan hukum-hukum yang serup, kecuali orang yang baru masuk Islam, dan tidak mengetahui norma-norma agama islam, maka bila orang seperti ini mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut, karena kebodohannya tentang hal tersebut, ia tidak kafir." ( Syarah Shohih Muslim 1/250 )
Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya beriman dengan wajibnya kewajiban-kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang, dan dihaamkannya hal-hal yang diharamkan yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang adalah salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah disepakati akan kekafirannya". (Majmu' Fatawa 12/496).
Oleh karena itu, orang yang menjalankan sholat-misalnya-, dengan sempurna, akan tetapi ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram adalah rukun, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram. Dan barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya berwudhu sebelum sahalat, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia telah berwudhu sebelum sholat. Inilah salah satu wujud nyata dari definisi iman menurut Ahlis Sunnah Wal Jama'ah. Untuk lebih jelas lagi. Silahkan baca buku-buku fiqih yang yang menjelaskan syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat.
2. Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri
Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam bersabda :Artinya : Tidaklah salah seorang dari kalian dikatakan telah beriman, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhori dan Muslimah). Hadits ini merupakan barometer keimanan setiap muslim, dan merupakan pedoman dan prinsip yang seharusnya dipegangi oleh setiap muslim dalam bergaul dan bermasyarakat, yaitu : sebelum kita mengucapkan perkataan atau bersikap kepada saudara kita, hendaknya kita selalu bertanya kepada hati nurani kita sendiri apakah saya suka bila diperlakukan dengan perlakuan yang akan saya lakukan ini?" Bila jawabannya adalah "Ya, saya suka", maka silahkan untuk dilakukan, dan bila ternyata jawabannya adalah "Tidak", maka jangan lakukan hal tersebut. Betapa indahnya pedoman dan prinsip yang beliau ajarkan kepada ummatnya.
Seandainya para da'i, dan ustadz yang ada di negri kita, -terutama mrk yang mengaku bermanhaj salaf-mengamalkan prinsip ini, saya yakin, banyak permasalahan yang akan hilang dan sirna dengan sendirinya. Akan tetapi kenyataan yang ada sangatlah jauh dari apa yang diharapkan. Sebagai contoh : Yayasan "AL HARAMAIN" yang ada dikota Riyadh, dalam beberapa periode memberikan sumbangan kepada setiap mahasiswa yang lulus dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah –tanpa terkecuali-, sumbangan berupa uang. Dan hal ini berjalan beberapa tahun silam, dimulai pada kelulusan periode 1420-1421, dan beberapa periode selanjutnya. Besarnya sumbangan tersebut dari tahun ke tahun, berbeda-beda, kadang 1000 reyal, dan kadang 500 reyal.
Nah...Sekarang saya yakin, para pembaca pasti langsung bertanya, dan berkata, kalo demikian... alumni jami'ah yang sekarang sudah malang melintang berdakwah, menyerukan kepada manhaj salaf, dan mentahdzir setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al-Haramain, juga menerima sumbangan tersebut ???!! Maka jawaban pertanyaan ini –dan saya tahu sendiri- adalah : "Ya, mereka menerima itu semua dengan kedua tangan terbuka, dan tanpa sedikit ada keragu-raguan".
Pada beberapa tahun silam, ada dua orang alumni jami'ah –yang sekarang ini dengan lantang mentahdzir setiap orang yang menerima sumbangan dari yayasan Al Haramain- setelah menerima sumbangan sebesar: 1.000,- Reyal, mereka ditanya oleh salah seorang kawan : Kenapa kok mau menerima sumbangan tersebut, bukankah itu dari Al Haramain?, keduanya dengan sangat lugu berkata : "Lho...kami tidak tahu kalo itu dari Al Haramain".
Tentu kita tidak akan begitu mudah percaya, karena sumbangan macam ini sudah berjalan beberapa periode sebelumnya. Dan yang mengherankan pula, setelah keduanya tahu, bahwa sumbangan itu berasal dari Al Haramain, keduanya tetap dengan erat-erat mengantongi sumbangan tersebut, dengan harapan jangan sampai ada satu reyal-pun yang jatuh dari sakunya.
Contoh lain : Pada 9 tahun silam, mahasiswa salafiyyin Indonesia di Al Jami'ah Al Islamiyyah , mengukirkan sebuah sejarah baru dalam hal pengiriman kitab ke negara mereka Indonesia, yaitu dengan dikirimkan secara kolektif dengan menggunakan kontainer (ini adalah awal pengiriman kitab dengan cara ini di Al Jami'ah Al Islamiyyah ). Pengiriman tersebut didanai oleh Yayasan IHYA `UT TUROTS yang bermarkaskan di negara Kuwait.
Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada para alumni Al Jami'ah Al Islamiyyah yang telah malang melintang di medan dakwah, dan mentahdzir setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain dan Yayasan Ihya `ut Turots : "Kenapa, masing-masing antum tidak mentahdzir diri antum; karena telah menerima sumbangan dari Al Haramain dan Ihya'ut Turots ?? Apakah Al Haramain & Ihya' at-Turots menjadi yayasan salafy, bila yang menerima sumbangan adalah antum sendiri, dan menjadi yayasan kholafy / surury, bila yang menerima adalah anak-anak yatim, atau orang selain antum??!. Ataukah barometer salafy antum yang berwarna-warni?"
Contoh lain : Tatkala hangat permasalahan jihad di pulau Maluku, ada salah seorang ustadz besar yang memberanikan diri melayangkan surat untuk bertanya akan hukum hal ini kepada Syekh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dan tatkala jawaban beliau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka fatwa syekh tersebut, lenyap entah kemana...., Saya tidak tahu, apakah fatwa tersebut telah ditelan bumi, atau ditelan ambisi.
Oleh karena itu –menurut hemat saya- menumbuhkan rasa malu pada diri sendiri adalah penting perannya dalam kehidupan seorang muslim. Diriwayatkan dari sahabat An Nawwas bin Sam'an, beliau berkata:Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam tentang Al Bir (perbuatan baik) dan Al Itsm (perbuatan dosa), maka beliau bersabda:"Al Birru adalah akhlaq / budi pekerti yang baik, dan Al Itsmu adalah segala yang engkau merasakan adanya kejanggalan dan keragu-raguan dalam dadamu (hatimu), dan engkau merasa tidak suka bila diketahui oleh orang lain. (HR. Muslim)
3. Kedudukan uang transportasi bagi seorang da’i
Pada permasalahan ini, kita dihadapkan kepada sebuah tradisi dan budaya yang bersenggolan dengan prinsip paling besar dalam agama Islam, yaitu keikhlasan dalam setiap aktifitas kita, prinsip hanya mengharapkan balasan bagi segala amalan kita hanya darri Allah Ta’ala. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin membahas tentang kewajiban ikhlas; karena hal itu sudah diketahui bersama. Yang ingin saya serukan dalam kesempatan ini, adalah ajakan kepada seluruh du’at dan asatidzah, agar mengkaji ulang hukum kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah kita, yaitu kebiasaan menerima uang transportasi.
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hukumnya, mari kita koreksi, apakah uang transportasi yang kita terima, setelah kita memberikan pengajian/ceramah/dauroh dll, benar-benar uang transportasi? Ataukah uang transportasi yang telah digelembungkan berlipat ganda ? dan menurut yang saya ketahui- alternatif terakhir inilah yang terjadi, Uang transportasi pulang pergi yang seharusnya hanya- misalnya Rp. 50.000,- akan tetapi amplop yang diterima berisikan- minimal Rp. 100.000,-
Hal kedua yang harus kita kaji ulang adalah hukum menerima uang tersebut, sebab para ulama’ semenjak dahulu kala sudah berbeda pendapat dalam menghukumi hal ini, ada yang menghalalkan, dan ada yang memakruhkan, dan ada yang mengharamkannya, dan pendapat ketiga inilah yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syekh Muhammad Nashirddin Al Albani rahimahullah.
Sebagai contoh dari kisah-kisah yang sampai kepada saya: Ada beberapa ustadz yang- Alhamdulillah –telah berhasil mendirikan Pondok Pesantren, dan -Alhamdulillah pula- telah memiliki santtri yang cukup banyak, lebih mementingkan untuk memenuhi undangan pengajian diluar pesantren –terlebih-lebih undangan dari luar kota- dibandingkan mengajar di pesantren yang telah ia dirikan, akibatnya santri pesantrennya sering tidak mendapatkan pengajaran. Bahkan seringkali, Ustadz tersebut, bila sudah keluar kota untuk berdakwah, tidaklah kembali ke pesantrenya, kecuali bla sudah kecapekan, dan sudah mulai merasakan gejala akan jatuh sakit.
Apakah ustadz yang bertindak seperti ini, tidak ingat, bahwa kewajiban mengajar diesantrennya lebih besar dibanding berdakwah di luar kota? Bukankah para santri telah –walaupun sedikit- membayar SPP, sehingga telah menjadi hak mereka untuk menerima pengajaran yang telah dicanangkan oleh pesantren?
Lalu, apakah yang memotivasi ustadz tersebut untuk keluar kota? Bukankah keluar kota lebih melelahkan? Membutuhkan transportasi? Bukankah kewajiban berdakwah bisa dilaksanakan tanpa itu semua? Yaitu mengajar di pesantren yang telah ia dirikan, dan berdakwah di masyarakat sekitar lokasi pesantren?
Diantara kisah yang sampai kepada saya : Bahwa daerah-daerah yang masyakatnya (orang-orang yang telah kenal dan mengikuti kajian salaf) berperekonomian / berpenghasilan rendah / tidak memiliki donatur yang kuat, kesusahan untuk mendatangkan ustadz yang siap mengisi pengajian di tempat-tempat tersebut, terlebih-lebih pengajian rutin.
Diantara kisah yang pernah saya dengar : Ada seorang Ustadz (A) bermusuhan dengan Ustadz (B), si (A) telah mentahdzir si (B), dengan berbagai alasan. Pada suatu saat, ada salah seorang murid Ustadz (A) –dikarenakan beberapa hal- menghadiri pengajian Ustadz (B) dan enggan menghadiri pengajian Ustadz (A), maka Ustadz (A) berang seakan sedang kebakaran kumis, lalu mengatakan bahwa Ustadz (B) telah mencuri muridnya.. Usut punya usut, ternyata dahulunya anak murid tersebut biasanya selalu memberikan sumbangan kepada Ustadz (A), dan setelah menghadiri pengajian Ustadz (B), ia tidak lagi mengucurkan sumbangan tersebut.
4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-aliran) yang bersebrangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Tidak mungkin kita pungkiri, bahwa banyak dari kita, sebelum mengenal dakwah salaf, manhaj salaf, mengikuti berbagai firqoh-firqoh yang memiliki manhaj yang bersebrangan dengan manhaj salaf. Ada dari kita yang dahulunya seorang ikhwani, dan ada juga yang tablighi, dan ada pula yang sufi, dan ada pula yang takfiri (hizbut tahrir), dan ada pula yang mu’tazili dll.
Hal ini adalah kenyataan yang tidak boleh kita lupakan, sebab selain agar kita bisa selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala, yang telah memberi hidayah kepada kita, sehingga kenal dengan manhaj salaf, juga agar kita selalu berhati-hati, dan selalu mengoreksi setiap pemahaman dan sikap kita, jangan sampai pemahaman dan sikap kita yang sekarang ini, masih terpengaruh dengan pemahaman dan kebiasaan kita semasa bergabung dengan firqoh-firqoh tersebut.
Diantara manfaat kita mengingat kenyataan ini, kita akan bisa lebih sabar dan bersikap lembut kepada orang yang memiliki kesalahan, karena kita akan selalu berkata kepada diri sendiri, bahwa dahulu –karena kebodohan- saya juga telah berbuat kesalahan. Sehingga kita akan merasa iba, dan kasihan terhadap orang tersebut, akibatnya, kita akan lebih gigih untuk menjalankan segala daya dan upaya agar orang tersebut bisa mendapatkan hidayah, sebagaimana kita telah mendapatkan hidayah.
Marilah kita renungkan bersama ayat berikut : “Hai orang-orang yang beriman, apabila engkau pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kpdmu : “Kamu bukan seorang mu’min” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitulah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan ni’mat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” ( QS. An Nisaa’ : 94 )
Pada ayat ini Allah melarang orang-orang Muhajirin –ketika dalam keadaan peperangan- dari mengatakan kepada seorang musuh, yang menampakkan keislaman dengan cara mengucapkan salam kepada kaum muslimin, : “Engkau bukanlah seorang muslim, engkau mengucapkan salam hanya sekedar takut dibunuh” lalu dibunuh, karena sangat dimungkinkan bahwa orang tersebut adalah orang yang benar-benar telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk menampakkan keislamannya. Kemudian Allah mengingatkan orang-orang Muhajirin akan keadaan mereka sebelum berhijrah, dimana didapatkan dari mereka banyak orang yang telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk menampakkan keislamannya.
Nah...pada kesempatan ini, saya mengingatkan para da’i, dan ustadz, bahwasannya dahulu kita seperti mereka, berbuat kesalahan, salah pemahaman, dan rusak aqidahnya, kenapa kita tidak bersabar dan lebih lembut mensikapi saudara kita yang memiliki kesalahan, terlebih-lebih bila terlihat darinya ketulusan dan keseriusan dalam mencari kebenaran.
5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan argumentasi lawan
Allah Ta’ala telah memberikan setiap manusia akal dan pikiran, masing-masing kita memiliki kemampuan akal dan pikiran yang berbeda-beda, ini adalah sebuah fakta yang kita rasakan bersama, dan harus selalu kita ingat, tatkala kita berbicara dengan orang lain.
Ada orang yang memiliki pemahaman kuat, shg dengan mendengarkan sedikit penjelasan, ia langsung paham dan melaksanakan hal tersebut. Akan tetapi, ada orang yang memerlukan penjelasan dua, tiga, atau empat kali, baru akan bisa memahami apa yang kita inhginkan. Bahkan ada orang yang tidak bisa memahami penjelasan kita sama sekali, walaupun sudah berpuluh-puluh kali, akan tetapi, bila ia mendengarkan penjelasan dari orang lain, dengan cara lain, ia bisa memahami, kemudian mengamalkan apa yang kita maksudkan.
Selain itu, sebagaimana kita tidak akan menerima pendapat orang lain, kecuali setelah terjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam akal pikiran, maka begitu pulalah orang lain, tidak akan menerima pendapat kita, sampai seluruh pertanyaan dan berbagai alasan yang ada di akal pikirannya terjawab dengan tuntas.
Hal ini sering kita lalaikan, sehingga kita relatif memaksakan pendapat, tanpa memperdulikan pendapat dan alasan kita.
Seringkali ketika kita beradu argumentasi, kita melupakan akan hal ini, sehingga tatkala orang lain tidak atau blm bisa menerima pendapat kita maka...mulailah kumis kita terbakar sedikit demi sedikit, dan akhirnya berkobarlah api amarah, dan terlontarlah berbagai klaim, dimulai dari klaim:”Keras kepala, aqlani, menolak hadits,...hingga vonis mubtadi’”.
Sebagai contoh : Sering kali kita mendengar ada ustadz yang mentahdzir ustadz lain, dengan alasan, bahwa ustadz tersebut telah dinasehati, dan tatkala diusut, ternyata yang terjadi hanyalah sebuah perdebatan yang belum tuntas, kedua belah pihak tidak mampu untuk menjelaskan pendapatnya dengan gamblang, dan tidak mampu menjawab argumentasi lawan dengan gamblang pula. Atau hanya sekedar dikirimi kaset, atau buku, yang mungkin saja belum sempat didengar atau dibaca, dan kalaupun sudah didengar dan dibaca, belum tentu ustadz tersebut memahaminya dengan baik.
Oleh karena itu, saya mengajak para da’i, dan asatidzah untuk lebih banyak belajar cara-cara berkomunikasi dengan orang lain, dan cara-cara berargumentasi dan menjawab argumentasi lawan, yaitu dengan cara mempelajari ilmu ushulul fiqh, mustholah hadits, qowaid fiqhiyyah dan banyak-banyak membaca kisah perdebatan para ulama ahlis sunnah dengan ahlul bid’ah.
6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al Qur’an dan As Sunnah tidak mungkin bisa dipahami dan kemudian diamalkan, kecuali dengan perantara penjelsan dan penafsiran para ulama’. Merekalah yang yang mampu menghukumi setiap kejadian dan permasalahan sesuai dengan yang telah digariskan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Oleh karena itu, seorang ulama membutuhkan kepada dua jenis pemahaman, agar fatwa dan hukum yang ia berikan benar-benar sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, yaitu :
1. Pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah, sesuai dengan pemahaman salafush sholih.
2. Pemahaman yang benar dan sempurn athd kasus dan permasalahan yang hendak ia hukumi
Bila seorang ulama telah memiliki kedua jenis pemahaman tersebut, maka -Insya Allah- fatwa dan hukum yang ia berikan akan benar, akan tetapi, bila salah satu dari keduanya tidak ia miliki, atau terjadi kesalahpahaman padanya, niscaya ia tidak akan bisa berfatwa dengan baik dan benar.
Ibnul Qoyyim pernah menggambarkan bahayanya seorang yang tidak memiliki pemahaman jenis kedua, sehingga ia hanya kaku dan beku dengan apa yang pernah ia dapatkan dalam kitab semata, beliau gambarkan kerusakan yang akan ditimbulkan oleh orang semacam ini, bagaikan seorang yang tidak paham ilmu kedokteran, kemudian mengaku-aku menjadi seorang dokter. Sehingga jatuhlah korban karenanya. Bahkan menurut beliau, bahaya seorang yang beku dan kaku dengan apa yang ia dapatkan di kitab, tanpa paham terhadap realita yang ada pada zamannya., adalah lebih besar dibanding dokter gadungan tersebut, karena kesalahan yang ia timbulkan ada hubungannya dengan nasib manusia di akhirat.
Pada kesempatan kali ini, saya juga ingin mengingatkan kepada para da’i, dan asatidzah, agar extra hati-hati bila hendak menerapkan sebuah fatwa atau sebuah hukum, tolong dipikirkan masak-masak, apakah keadaan masyarakat kita sesuai dan sudah sepantasnya untuk diterapkan fatwa tersebut ?
Sebagai contoh nyata ; Ada dari kalangan ulama’ salaf yang menegaskan: bahwa lebih baik bertetangga dengan kena kera dan babi, dibanding bertetangga atau duduk dengan dengan ahlul bid’ah. Seharusnya sebelum kita menerapkan hal ini, kita harus pikirkan, apakah masyarakat kita sama dengan masyarakat ulama tersebut, masyarakat yang mayoritasnya memahami manhaj salaf?
Contoh lain : Para ulama telah sepakat, bahwa : Barangsiapa yang menyatakan Al quran adalah makhluk, maka ia kafir. Nah...apakah setiap orang yang kita temui dan ternyata mengatakan perkataan tersebut, langsung kita hukumi sebagai orang kafir??
Imam Ahmad, beliau langsung menghadapi fitnah tentang hal ini, tatkala mengetahui bahwa Al Makmum (kholifah pada masa beliau) telah mengatakan bahwa Al Quran adalah makhluq, bahkan sampai memaksa orang-orang yang ada pada zamannya untuk mengatakan perkataan ini, akan tetapi Imam Ahmad tidak mengkafirkannya. Yang lebih mengherankan lagi Imam Ahmad malah berkata : “Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do’a yang mustajabah (dikabulkan), pasti akan aku gunakan untuk mendoakan pemimpin kaum muslilmin (kholifah)”.
Contoh lain : Beberapa bulan yang lalu, Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, berkenan untuk memberikan tausiyyah (ceramah) via telpon kepada asatidzah di Indonesia. Pada hari dan waktu yang telah disepakati, beliau menyampaikan tausiyyahnya, dan setelah selesai, maka beliau memperkenankan untuk dibacakan beberapa pertanyaan yang sebelumnya telah mereka siapkan. Diantara pertanyaan yang dibacakan adalah berhubungan dengan hukum mengajar ditempat ahlil bid’ah, maka beliau berfatwa : “Tidak boleh mengajar ditempat ahlil bid’ah”, tentunya dengan berbagai alasan dan dalil yang beliau utarakan.
Setelah acara tersebut selesai, fatwa tersebut langsung diterapkan oleh beberapa glintir ustadz, yaitu dengan menunjukkan kepada salah seorang ustadz yang mengajar di pesantren As Salam Solo-Jateng, dan tatkala ustadz tersebut tidak menuruti apa yang mereka inginksn, mulailah mereka mengeluarkan senjata pemungkas, yaitu tahdzir dan hajr, bahkan bukan hanya itu saja, ustadz tersebut juga diwajibkan untuk membubarkan TK dan SDIT yang ia bina, dengan alasan yang sangat tidak ilmiyyah.
Tatkala saya berjumpa dengan Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, dan saya sampaikan perilaku mereka, beliau langsung murka, dan mengatakan : bahwa penjelasan saya tersebut, adalah hukum yang bersifat umum, tidak boleh langsung diterapkan kepada setiap orang. Karena menerapkan hukum kepada orang-orang tertentu, memiliki tahapan dan tatacara tersendiri. Terlebih dari itu semua, kita harus mempertimbangkan maslahat dan mafsadah yang akan terjadi dari sikap kita kepada ustadz tersebut.
Apalagi, setelah beliau mendengar perpecahan antar asatidzah yang terjadi akhir-akhir ini, beliau semakin murka, dan berkata : Semoga Allah tidak memasrahkan tugas dakwah ini kepada orang-orang semacam mereka.
Sikap ini –sebagaimana kita ketahui bersama- telah menjadi kebiasaan, bila ada salah seorang ustadz yang tidak suka dengan ustadz lain, maka ustadz pertama tadi akan mencari dukungan untuk menghantam ustadz kedua tersebut, yaitu dengan cara menelpon salah seorang syekh, kemudian ditanyakan kepadanya hukum suatu permasalahan, sehingga syekh tersebut memberikan jawaban yang bersifat umum (muthlaq), sebagaimana terjadi pada kisah yang lalu. Dan setelah ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan, ia langsung menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang ustadz yang tidak ia sukai, dan demikianlah selanjutnya.
Oleh karena itu para ulama telah meletakkan sebuah qaidah yang berhubungan dengan hal penerapan hukum pada orang tertentu, atau kasus tertentu, yaitu “Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar’i, sesuai dengan perubahan adat atau keadaan pada orang tersebut”.
Oleh karena itu, marilah kita benar-benar mencontoh ulama salaf dalam berilmu, berfatwa, dan berperilaku, dan jangan sampai kita besar kepala, bak katak dalam tempurung.
Inilah keenam permasalahan yang menurut pendapat saya, telah menimbulkan berbagai fitnah dinegri kita. Dan akhir tulisan ini, saya ingin menekankan, bahwa tulisan ini hanya sebatas pandangan saya, sehingga saya siap untuk menerima kritikan atau sangkalan yang disertai dengan alasan serta dalil, bahkan saya sangat mmengharapkan kritikan dan saran dari kawan-kawan demi tercapainya kebenaran dan kemaslahatan dakwah dinegri kita.
SELESAI
ditulis ulang dari sebuah makalah 11 lembar yang berjudul “Bahtera Dakwah Salafiyah di Lautan Indonesia” yang disusun oleh Fadhilatul Ustadz Muhammad Arifin Badri, Lc, MA
( Madinah ,08 Sya’ban 1424 H / 04 Okt 2003)