Tanya : Seorang Ustadz pernah menjelaskan bahwa hukum jenggot menurut beliau tidak wajib. Beliau menguatkan alasan ketidakwajibannya itu berdasarkan ilmu anatomi tubuh yang kebetulan beliau kuasai dimana tidak semua orang dapat berjenggot. Sehingga, apabila jenggot itu wajib, kasihan dong dengan orang yang tidak berjenggot. Apalagi kaum wanita. Tentu mereka akan berdosa semua. Bagaimana sebenarnya kedudukan permasalahan ini dalam kaca mata syari’at Islam ?
Jawab : Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada beliau, maka apa yang beliau sampaikan adalah keliru (kalau tidak boleh dikatakan sangat keliru). Permasalahan anatomi manusia bahwa tidak setiap orang itu mempunyai jenggot, tidak ada hubungannya sama sekali dengan metode istinbath hukum dalam permasalahan ini. Dan satu lagi, hal itu (bahwa tidak setiap orang mempunyai jenggot) bukanlah hal yang hanya diketahui orang jaman sekarang saja, akan tetapi sudah sangat ma’ruf/diketahui semenjak jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan jauh sebelum itu. Alasan yang beliau sampaikan untuk mengatakan tidak wajibnya memelihara jenggot berdasarkan dalil anatomi – sepanjang pengetahuan kami – tidak pernah ternukil dari para ulama mu’tabar Ahlus-Sunnah (bahkan dalam nukilan pendapat paling lemah sekalipun). Ini adalah satu hujjah yang terkesan dipaksakan dan – maaf – terlalu mengada-ada.
Pensyari’atan jenggot dalam Islam adalah khusus bagi laki-laki (bukan pada wanita) dan bagi mereka yang memang Allah karuniai jenggot yang tumbuh di pipi dan dagunya [1]. Jika memang seseorang yang ”dari sananya” tidak tumbuh jenggot, tentu tidak dikenai kewajiban (memelihara) jenggot. Allah telah berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [QS. Al-Baqarah : 286].
Permasalahannya adalah bagi mereka (laki-laki) yang mempunyai jengot, namun malah memangkas atau mencukurnya. Inilah yang dijadikan khithab (objek yang diajak bicara) dari sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dalam banyak haditsnya. Dan inilah yang dijadikan bahasan para ulama kita semenjak dahulu sampai dengan sekarang. Pembicaraan atau khilaf mengenai hukum memelihara jenggot itu secara garis besar terangkum dalam 4 (empat) pendapat masyhur. Namun sebelumnya perlu ditekankan bahwa khilaf ini sebatas pada khilaf terhadap jenggot yang panjangnya melebihi genggaman tangan. Khilaf ini tidak mencakup perbuatan mencukur pendek-pendek atau mencukur habis jenggot, sebab madzhab empat dan selainnya (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Dhahiriyyah) telah sepakat tentang keharamannya. Khilaf tersebut adalah sebagai berikut : [2]
Pendapat Pertama, Tidak memotong jenggot sama sekali dengan membiarkannya sebagaimana adanya.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Asy-Syafi’i dalam satu nukilan (Al-’Iraqi), sebagian ulama Syafi’iyyah, sebagian ulama Hanabilah, dan beberapa ulama yang lainnya.
Pendapat ini berhujjah dengan keumuman hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب
”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis” [HR. Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].
أحفوا الشوارب وأعفوا اللحى
”Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Muslim no. 259].
انهكوا الشوارب وأعفوا اللحى
”Potong sampai habis kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Bukhari no. 5554].
جزوا الشوارب وأرخوا اللحى خالفوا المجوس
”Potong/cukurlah kumis kalian dan panjangkanlah jenggot. Selisilah oleh kalian kaum Majusi” [HR. Muslim no. 260].
إن أهل الشرك يعفون شواربهم ويحفون لحاهم فخالفوهم فاعفوا اللحى وأحفوا الشوارب
”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan].
عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر بإحفاء الشوارب وإعفاء اللحية
Dari Ibnu ’Umar, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Bahwasannya beliau memerintahkan untuk memotong kumis dan memelihara jenggot” [HR. Muslim no. 259].
Menurut kaidah ushul-fiqh, semua lafadh yang mengandung perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya.[3] Menurut mereka, tidak ada dalil shahih, sharih, lagi setara yang memalingkan dari kewajiban ini.
Ahmad bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syafi’i berkata :
قال ابن الرِّفْعة في حاشية الكفاية: إن الإمام الشافعي قد نصَّ في الأم على تحريم حلق اللحية ، وكذلك نصَّ الزَّرْكَشِيُّ والحُلَيْميُّ في شُعَب الإيمان وأستاذُه القَفَّالُ الشاشيُّ في محاسن الشريعة على تحريم حلق اللحية
”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i telah menegaskan dalam kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitu pula yang ditegaskan oleh Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitab Syu’abul-Iman, dan gurunya (yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyi dalam kitab Mahaasinusy-Syar’iyyah atas keharaman mencukur jenggot” [Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiin oleh ’Ali Al-Halaby hal. 31].
An-Nawawi berkata :
والمختار تركها على حالها, وألا يتعرض لها بتقصير شيء أصلاً
”Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot sebagaimana adanya, dan tidak memendekkannya secara asal” [Syarh Shahih Muslim 2/154].
Al-Hafidh Al-’Iraqi berkata :
واستدل الجمهور على أن الأولى ترك اللحية على حالها, وأن لا يقطع منها شيء, وهو قول الشافعي وأصحابه
”Jumhur ulama berkesimpulan pada pendapat pertama untuk membiarkan jenggot sebagaimana adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu merupakan perkataan/pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya” [Tharhut-Tatsrib 2/83].
Al-Qurthubi berkata :
لا يجوز حلقها ولا نتفها ولا قصها
”Tidak diperbolehkan untuk memotong, mencabut, dan menggunting jenggot” [Tahriimu Halqil-Lihaa oleh ’Abdurrahman bin Qasim Al-’Ashimi Al-Hanbaly hal. 5].
As-Saffarini Al-Hanbaly berkata :
المعتمد في المذهب ، حُرمَةُ حَلْقِ اللحية
”Pendapat yang mu’tamad (resmi/dapat dipercaya) dalam Madzhab (Hanabilah) adalah diharamkannya mencukur jenggot” [Ghadzaaul-Albaab 1/376].
Abu Syaammah Al-Maqdisy Asy-Syafi’y berkata :
وقد حدث قوم يحلقون لحاهم وهو أشد مما نقل عن المجوس أنهم كانوا يقصونها
”Telah ada suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya (sampai habis). Hal itu lebih parah dari apa yang ternukil dari orang Majusi dimana mereka hanya memotongnya saja (tidak sampai habis)” [Fathul-Bari 10/351 no. 5553].
Pendapat Kedua, Membiarkan jenggot sebagaimana adanya, kecuali dalam ibadah haji dan ’umrah dimana diperbolehkan memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tangan dari panjang jenggotnya.
Pendapat ini merupakan pendapat yang dipegang oleh mayoritas tabi’in, Asy-Syafi’i, (hal yang disukai) oleh Malik, dan ulama yang lainnya. Pendapat ini dibangun dengan dalil yang disampaikan oleh pendapat pertama yang kemudian ditaqyid dengan atsar Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
عن نافع عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب وكان بن عمر إذا حج أو اعتمر قبض على لحيته فما فضل أخذه
Dari Nafi’, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda : ”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (Nafi’ berkata : ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau ’umrah, maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut, ia potong” [HR. Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].
عن نافع أن عبد الله بن عمر كان إذا أفطر من رمضان وهو يريد الحج لم يأخذ من رأسه ولا من لحيته شيئا حتى يحج
Dari Nafi’ : Bahwasanya Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila datang bulan Ramadlan, dan ia ingin melakukan ibadah haji, maka ia tidak memotong rambut kepalanya dan jenggotnya sedikitpun hingga ia benar-benar melaksanakan haji” [HR. Malik dalam Al-Muwaththa’; Kitaabun-Nikaah 1/396, dan darinya Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Al-Umm 7/253].
عن مروان يعني بن سالم المقفع قال رأيت بن عمر يقبض على لحيته فيقطع ما زاد على الكف
Dari Marwan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ – ia berkata : ”Aku pernah melihat Ibnu ’Umar menggenggam jenggotnya, lalu ia memotong apa-apa yang melebihi telapak tangannya” [HR. Abu Dawud no. 2357; hasan].
’Atha’ bin Abi Rabbah juga telah menceritakan / menghikayatkan dari sekelompok shahabat (dan tabi’in) dimana ia berkata :
كانوا يحبون أن يعفوا اللحية إلا في حج أو عمر.
”Mereka (para shahabat dan tabi’in) menyukai untuk memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah (dimana mereka memotongnya apa-apa di bawah genggaman tangan)” [HR. Ibnu Abi Syaibah 5/25482 dengan sanad shahih] [4].
Madzhab Imam Malik adalah sebagaimana tertera dalam Al-Muwaththa’ dimana beliau membawakan riwayat Ibnu ’Umar yang membolehkan memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan di waktu haji dan ’umrah [Al-Muwaththa’ 1/318]. Imam Malik tidak memberikan kelongaran dalam memotong jenggot kecuali saat haji dan ’umrah [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Namun beliau hanya menyukainya saja, tidak mewajibkannya [Al-Mudawwanah 2/430].
Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin Kamil (salah seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam berdasarkan riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata :
قال الشافعي: وأخبرنا مالك عن نافع أن ابن عمر كان إذا حلق في حج أو عمرة أخذ من لحيته وشاربه.[قال الربيع]: قلت: فإنا نقول( ) : ليس على أحد الأخذ من لحيته وشاربه، إنما النسك في الرأس؟قال الشافعي: وهذا مما تركتم عليه بغير رواية عن غيره عندكم علمتها.
”Telah berkata Asy-Syafi’i : Telah mengkhabarkan kepada kami Malik (bin Anas) dari Nafi’ : Bahwasannya Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila mencukur (rambut) ketika ibadah haji, maka beliau memotong jenggotnya (selebih dari genggaman tangan) dan kumisnya”. Aku (yaitu Ar-Rabi’) berkata : ”Sesungguhnya kami berkata : Tidak boleh bagi seorangpun untuk memotong jenggot dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya disyari’atkan mencukur kepala saja ?”. Maka Asy-Syafi’i berkata : ”Ini termasuk hal yang kalian tinggalkan atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi kalian yang aku ketahui” [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Di sini Imam Asy-Syafi’i memegang atsar Ibnu ’Umar dalam hal tersebut.
Dalam kitab lain Imam Asy-Syafi’i berkata :
وأحب إلي لو أخذ من لحيته وشاربه، حتى يضع من شعره شيئاً لله، وإن لم يفعل فلا شيء عليه، لأن النسك إنما هو في الرأس لا في اللحية.
”Aku menyukai jika ia memotong jenggot dan kumisnya, hingga ia meletakkan dari rambutnya sesuatu karena Allah. Jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah (memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/2032].
Pendapat ketiga, Diperbolehkan memotong jenggot yang terlalu panjang (yang melebihi batas genggaman tangan) sehingga membuat jelek penampilannya.
Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari Malik bin Anas dan Qadli ’Iyadl.
Perkataan Imam Malik tentang bolehnya memotong jenggot karena panjangnya sehingga nampak padanya aib adalah sebagaimana terdapat dalam At-Tamhid karya Ibnu ’Abdil-Barr (24/145) dan Al-Muntaqaa karya Al-Baaji (3/32). [5]
Telah berkata Al-Qadli ’Iyadl :
يكره حلق اللحية وقصها وتحذيفها وأما الأخذ من طولها وعرضها إذا عظمت فحسن بل تكره الشهرة في تعظيمها كما يكره في تقصيرها
”Memotong, mengunting, dan mencabut jenggot adalah dibenci. Adapun jika ia memotong karena terlalu panjang dan (menjaga) kehormatannya jika ia membiarkannya (sehingga nampak jelek), maka itu adalah baik. Akan tetapi dibenci untuk membiarkan selama sebulan [6] sebagaimana dibenci untuk mengguntingnya” [Fathul-Baari 10/351 no. 5553].
Pendapat Keempat, Disukai untuk memotong jenggot yang melebihi satu genggam secara mutlak, tidak dibatasi oleh waktu haji dan ’umrah.
Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari kalangan Hanafiyyah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Hanabilah, serta sebagian tabi’in.
Telah berkata Muhammad bin Al-Hasan – shahabat besar Abu Hanifah – rahimahumallah :
أخبرنا أبو حنيفة عن الهيثم عن ابن عمر -رضي الله عنهما-: أنه كان يقبض على لحيته ثم يقص ما تحت القبضة. قال محمد: وبه نأخذ، وهو قول أبي حنيفة.
”Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hanifah, dari Al-Haitsam, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma : Bahwasannya ia (Ibnu ’Umar) menggenggam jenggotnya, kemudian memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tersebut”. Berkata Muhammad (bin Al-Hasan) : Kami mengambil pendapat tersebut. Dan itulah perkataan Abu Hanifah” [Al-Aatsaar 900].
Ibnu ’Abidin Al-Hanafy berkata :
ويحرم على الرجل قطع لحيته ـ أي حلقها, وصرح في النهاية بوجوب قطع ما زاد على القبضة, وأما الأخذ منها وهي دون ذلك كما يفعله بعض المغاربة ومخنثة الرجال, فلم يبحه أحد, وأخذ كلها فعل يهود الهند, ومجوس الأعاجم
”Dan diharamkan bagi seorang laki-laki memotong jenggotnya – yaitu mencukurnya. Dan telah dijelaskan dalam An-Nihayah atas wajibnya memotong apa-apa yang melebihi genggaman tangan. Adapun mengambil kurang dari itu (yaitu memotong jenggot yang belum melebihi satu genggaman tangan) sebagaimana yang dilakukan sebagian orang-orang Maghrib dan orang-orang banci, maka tidak seorang pun ulama yang membolehkannya. Dan memotong seluruh jenggot merupakan perbuatan orang-orang Yahudi Hindustan dan orang-orang Majusi A’jaam (non-Arab)” [Raddul-Mukhtaar 2/418].
Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal adalah membolehkan memotong/mencukur jenggot selebih genggaman tangan, namun tidak boleh kurang dari itu. Telah berkata Al-Khalaal : Telah mengkhabarkan kepadaku Harb, ia berkata : Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang memotong jenggot. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya Ibnu ’Umar memotongnya, yaitu rambut jenggot yang melebihi genggaman tangannya”. (Harb berkata) : ”Seakan-akan beliau berpendapat dengan perbuatan Ibnu ’Umar tersebut”. Aku (Harb) bertanya kepada beliau : ”Apa hukumnya memelihara (jenggot) ?”. Beliau berkata : ”Telah diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (tentang perintah tersebut)”. Harb berkata : ”Seakan-akan beliau berpendapat tentang wajibnya memelihara jenggot (yaitu tidak boleh memotongnya sama sekali)”. Selanjutnya Al-Khalaal berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Harun, bahwasannya Ishaq (bin Haani’) telah menceritakan kepada mereka, bahwa ia berkata : ”Aku bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) tentang seorang laki-laki yang memotong rambut yang tumbuh di kedua pipinya”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong jenggotnya yang panjangnya melebihi genggaman tangan”. Aku (Ishaaq) berkata : ”Bagaimana dengan hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : Potonglah kumis dan peliharalah jenggot ?”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong karena panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan), dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya”. (Ishaq berkata) : Aku melihat Abu ’Abdillah (Ahmad bin Hanbal) memotong panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan) dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya” [Kitab At-Tarajjul min Kitaabil-Jaami’ hal. 113-114].
Tarjih :
Pendapat yang paling kuat menurut kami adalah pendapat kedua yang membolehkan memotong jenggot jika telah melebihi genggaman tangan pada waktu haji dan ’umrah. Atsar Ibnu ’Umar merupakan pentaqyid yang sangat jelas, yaitu berkaitan dengan waktu dan batasan panjang yang diperbolehkan [7]. Taqyid ini merupakan ijma’ (yaitu jenis ijma’ sukuti) yang terjadi di kalangan shahabat tanpa ternukil adanya pengingkaran. Dan sangat mungkin ini juga merupakan ijma’ yang terjadi di kalangan tabi’in. Apalagi diperkuat oleh atsar shahih dari ’Atha’ dalam Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Wajib hukumnya memelihara (membiarkan) jenggot menurut nash yang jelas dari As-Sunnah, dan haram hukumnya memotong lebih pendek dari genggaman tangan atau bahkan mencukur habis keseluruhan jenggot. Namun jika memang sudah terlalu panjang sehingga memperburuk penampilan, diperbolehkan untuk memotongnya dengan batasan yang telah ditentukan syari’at (tidak boleh lebih pendek dari satu genggam).
Di sini mungkin perlu kami ingatkan tentang ucapan Ibnu Hazm :
واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز
”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur seluruh jenggot adalah tidak diperbolehkan (haram)” [Maraatibul-Ijmaa’ hal 157].
Hal yang sama dikemukakan oleh Abul-Hasan bin Qaththaan Al-Maliki dalam kitab Al-Iqnaa’ fii Masaailil-Ijmaa’ 2/3953.
Sebagai seorang muslim, menjadi keharusan untuk mematuhi perintah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan mencontoh sifat-sifat yang ada padanya [8].
Mudlarat dari Memotong/Mencukur Jenggot
- Menyelisihi perkara-perkara Nubuwwah yang datang dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam – yang tiadalah yang diucapkan beliau itu menurut kemauan hawa nafsunya – untuk memelihara jenggot. Allah ta’ala telah berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
- Menyelisihi perkataan-perkataan ahlul-’ilmi (ulama) – para pewaris Nabi – yang kita diperintahkan untuk mentaatinya, sebagaimana firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
- Menyelisihi petunjuk para nabi dan rasul dalam hal yang umum, dimana sunnah-sunnah mereka semuanya adalah memelihara jenggot. Allah ta’ala telah berfirman :
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
”Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat” [QS. Al-An’aam : 90].
- Menyelisihi petunjuk nabi kita Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hal yang khusus, karena Allah telah memerintahkan kita untuk ber-ittiba’ kepada beliau :
َومَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
”Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” [QS. Al-Hasyr : 7].
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
- Menyelisihi petunjuk para pendahulu kita yang shalih (salafunash-shaalih) dari kalangan shahabat dan para tabi’in radliyallaahu ’anhum ajma’in dimana tidak diketahui satupun di antara mereka yang mencukur (pendek-pendek/habis) jenggotnya. Mereka adalah para imam kita dalam petunjuk, contoh kita dalam kebaikan, dan bintang-bintang kita yang menerangi dalam kegelapan. Mereka adalah kaum yang tidak akan mencelakan orang yang mengikutinya dengan idzin Allah.
- Menyelisihi sunnah-sunnah fithrah yang telah Allah tetapkan pada manusia. Allah berfirman :
فطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
”(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah” [QS. Ar-Ruum : 30].
- Merubah ciptaan Allah tabaraka wata’ala, padahal semua ciptaan Allah adalah baik. [9]
- Menyerupai orang-orang musyrikin, Yahudi, dan penyembah berhala. Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka.
- Menyerupai wanita. Allah telah berfirman :
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنثَى
”Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan” [QS. Ali-’Imran : 36].
- Mengingkari karunia nikmat (jenggot) ini, dimana telah Allah muliakan laki-laki dengannya.
- Dan yang lain-lain.
Peringatan :
- Atsar Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin rahimahumallah :
وكيع عن أبي هلال قال : سألت الحسن وابن سيرين فقالا : لا بأس به أن تأخذ من طول لحيتك.
Dari Waki’, dari Abu Hilal ia berkata : Aku bertanya kepada Al-Hasan (Al-Bashri) dan Ibnu Sirin (tentang hukum memotong jenggot), maka mereka menjawab : “Tidak mengapa untuk mengambil/memotong dari panjang jenggotmu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/226].
Atsar ini adalah dla’if karena kebersendirian Abu Hilaal Ar-Raasiby. Ia adalah seorang rawi yang diperbincangkan yang seseorang tidak boleh berhujjah dengannya jika bersendirian dalam meriwayatkan hadits.
Ibnu Hajar berkata : Ia seorang yang shaduq, tapi layyin (lemah haditsnya)” [At-Taqrib no. 5923].
Adz-Dzahabi berkata : ”Abu Dawud mentsiqahkannya; Abu Hatim berkata : Tempatnya kejujuran; tapi tidak kokoh; An-Nasa’i berkata : Tidak kuat (laisa bil-qawiy); Ibnu Ma’in : Shaduq, dituduh sebagai Qadariyyah; Al-Fallaas berkata : Yahya bin Sa’id tidak meriwayatkan hadits dari Abu Hilal, namun Abdurrahman meriwayatkan darinya” [Mizaanul-I’tidaal no. 7646]. Imam Bukhari memasukkannya sebagai perawi dla’if dalam kitab Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir (no. 324).
- Atsar Thawus bin Kisan rahimahullah :
أبو خالد عن ابن جريج عن ابن طاوس عن أبيه أنه كان يأخذ من لحيته ولا يوجبه.
Dari Abu Khalid, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Thawus, dari bapaknya (Thawus) : ”Bahwasannya ia (Thawus) memotong jenggotnya namun tidak mewajibkannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/226].
Atsar ini dla’if karena kebersendirian Ibnu Juraij. Ia adalah seorang mudallis yang jelek (qabiih) tadlisnya. Ia meriwayatkan secara ’an’anah dan tidak disebutkan dalam riwayat tersebut tentang penegasan sima’-nya.
- Pada beberapa sumber sering dinukil perkataan yang dinisbatkan pada Ibnu ’Abdil-Barr dalam kitab At-Tamhiid :
ويحرم حلق اللحية ، ولا يفعله إلا المخنثون من الرجال
”Diharamkan memotong/mencukur jenggot. Tidak ada yang melakukannya kecuali dari kalangan laki-laki banci” [selesai].
Maka ini bukanlah perkataan Ibnu ’Abdil-Barr. Tidak terdapat dalam kitabnya, baik dalam At-Tamhiid ataupun Al-Istidzkaar. Namun anehnya perkataan ini termuat dan ternukil oleh sebagaian ulama besar kita yang kemudian dinisbatkan sebagaimana di atas.
Semoga apa yang saya tulis di sini dapat bermanfaat bagi ilmu dan amal kita. Amien............. Wallaahu a’lam bish-shawwab.
Abul-Jauzaa’ – lewat tengah malam, Jumadil-Ula 1429.
Tulisan ini merupakan respon atas penjelasan yang kami anggap keliru dari seorang Ustadz yang disampaikan di Masjid Al-Hijri, Komplek Perumahan Ciomas Permai, tanggal 10 Mei 2008, ba'da Maghrib Sabtu malam Ahad
===================
Catatan kaki
[1] Jenggot dalam bahasa Arab disebut Al-Lihyah (اَللِّحْيَةُ). Al-Fairuz Abadi berkata tentang definisi dari Al-Lihyah : {شعْرُ الخدَّيْن و الذَّقنِ} ”rambut (yang tumbuh) di kedua pipi dan dagu” [Al-Qamus Al-Muhith 4/387]. Hal yang sama dinukil dari Ibnu Mandhur dalam Lisaanul-’Arab : { اسم يجمع من الشعر ما نبت على الخدّين والذقَن } ”nama bagi semua rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu”.
[2] Sebagaimana disarikan oleh Abu Ahmad Al-Hadzaly dalam Multaqaa Ahlil-Hadits yang diambil dari kitab I’faaul-Lihyah hal. 29-30, Fathul-Baari 10/350, dan Juzzul-Masaalik 15/6.
[3] Dalam pembahasan Ushul-Fiqh, para ulama telah menjelaskan :
صيغة الأمر عند الإطلاق تقتضي: وجوب المأمور به، والمبادرة بفعله فوراً.
“Bentuk perintah secara mutlak/ umum memberi konsekuensi: wajibnya sesuatu yang diperintahkan dan bersegera dalam melakukannya secara langsung”.
Di antara dalil yang digunakan para ulama untuk membangun kaidah ini antara lain :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih" [QS. An-Nuur : 63]. [lihat Al-Ushul min ‘Ilmil-Ushul oleh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah].
[4] ’Atha’ telah memutlakkan perbuatan dari para shahabat dan tabi’in untuk memotong jenggot ketika haji dan ’umrah. Sifat kemutlakan lafadh ’Atha’ ini dalam memotong jenggot ini dijelaskan oleh perbuatan Ibnu ’Umar dalam haji dan ’umrah bahwa yang dipotong itu adalah selebih dari genggaman tangan. ’Atha’ adalah salah satu murid Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Apa yang diriwayatkan oleh ’Atha’ ini sekaligus menafsiri apa yang diriwayatkan oleh ulama dari kalangan tabi’in lain yaitu Al-Qaasim bin Muhammad.
عن أفلح قال: كان القاسم إذا حلق رأسه أخذ من لحيته وشاربه
Dari Aflah ia berkata : ”Adalah Al-Qaasim jika ia mencukur kepalanya (waktu haji atau ’umrah), maka ia pun mencukur jenggotnya” [HR. Ibnu Abi Syaibah 5/225; shahih].
Al-Qaasim mencukur jenggotnya di waktu haji dan ’umrah adalah selebih dari genggaman tangan sebagaimana dilakukan oleh pembesar shahabat dan tabi’in lainnya.
[5] Dinukil melalui perantaraan risalah Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Asmary yang berjudul : Hukmul-Akhdzi minal-Lihyah yang dipublikasikan dalam http://www.saaid.net/; sebagaimana juga ternukil dalam pembahasan Multaqaa Ahlil-Hadiits (berjudul : هل يوجد قول معتبر يجوز الأخذ من اللحية ما دون القبضة ؟؟).
[6] Perkataan Al-Qadli ‘Iyadl tentang dibencinya membiarkan jenggot selama satu bulan jangan diartikan boleh mencukur selama satu bulan secara mutlak (sebagaimana dijadikan hujjah sebagian orang muta’akhkhirin). Maksud perkataan beliau adalah bahwa beliau membenci jenggot dibiarkan selama satu bulan jika telah melebihi satu genggaman tangan jika membuat jeleknya penampilan. Beliau berkata dalam Syarah Shahih Muslim sebagai berikut :
يُكْرَه حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا , وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا فَحَسَن , وَتُكْرَه الشُّهْرَة فِي تَعْظِيمهَا كَمَا تُكْرَه فِي قَصِّهَا وَجَزّهَا . قَالَ : وَقَدْ اِخْتَلَفَ السَّلَف هَلْ لِذَلِكَ حَدّ ؟ فَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُحَدِّد شَيْئًا فِي ذَلِكَ إِلَّا أَنَّهُ لَا يَتْرُكهَا لِحَدّ الشُّهْرَة وَيَأْخُذ مِنْهَا , وَكَرِهَ مَالِك طُولهَا جِدًّا , وَمِنْهُمْ مَنْ حَدَّدَ بِمَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَة فَيُزَال , وَمِنْهُمْ مَنْ كَرِهَ الْأَخْذ مِنْهَا إِلَّا فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة
”Dimakruhkan untuk mencukur, memotong, dan membakar jenggot. Adapun memotong karena saking panjangnya dan (menjaga) kehormatannya (yang jika dibiarkan nampak jelek/keji), maka hal itu baik. Dan dimakruhkan membiarkannya selama sebulan sebagaimana dimakruhkan untuk memotong dan mencukurnya. Dan para ulama salaf telah berbeda pendapat, apakah dalam hal ini terdapat batasan ? Diantara mereka ada yang tidak memberikan batasan apapun, namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan. Dan Malik membenci/memakruhkan jika jenggot tersebut terlalu panjang. Di antara mereka (ulama) ada yang memberi batasan, apa-apa yang melebihi genggaman tangan maka boleh dihilangkan/dipotong. Dan di antara mereka ada pula yang membenci memotongnya kecuali saat haji dan ’umrah” [selesai].
Tidak ada kejelasan bahwa Al-Qadli ’Iyadl memperbolehkan memotong jenggot yang panjangnya kurang dari genggaman tangan. Wallaahu a’lam.
[7] Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Imam Asy-Syaukani hal. 213-214; Maktabah Sahab].
[8] Dan Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam adalah orang yang memelihara jenggotnya, sebagaimana yang diceritakan oleh Anas bin Malik tentang jenggot beliau :
ما عددت في رأس رسول الله صلى الله عليه وسلم ولحيته إلا أربع عشرة شعرة بيضاء
”Tidaklah aku menghitung sesuatu di kepala dan jenggot Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melainkan aku dapatkan sebanyak empatbelas buah uban [HR. Tirmidzi dalam Mukhtashar Asy-Syamaail no. 31; shahih].
[9] Waliyullah Ad-Dahlawi berkata :
وقصها ـ أي اللحية ـ سنة المجوس, وفيه تغيير خلق الله
”Mencukurnya – yaitu mencukur jenggot – merupakan sunnah kaum Majusi. Hal itu terdapat perbuatan merubah ciptaan Allah” [Al-Hujjatul-Baalighah 1/182].
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html
tanggapan:
hukum nasyid terbagi menjadi 8 pendapat -dari yang mengharamkan secara mutlak hingga yang membolehkan secara mutlak.
hukum isbal terbagi dua, ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada yang mengharamkan jika disertai kesombongan.
Namun, hukum jenggot ini koq malah lebih berat ketimbang yang dua di atas. Seakan-akan memang tidak ada ulama yang berselisih tentang wajibnya berjenggot. Jadi, kenapa harus diingkari?
Kalo anda bilang jenggot ngga wajib karena berlandaskan dalil sih masih bagus, tapi kalo manut sama akal doank...walah walah....
Ingat donk, ulama salaf berselisih pendapat berdasarkan dalil, nah kalo ente menyelisihi 'hukum jenggot' berdasarkan apa? dalil? atau hawa nafsu?
Jika memang bisanya hanya sesenti yaa ngga papa wong mampunya segitu. Kalo bisa lebih panjang dan rapi lebih baik. (http://myquran.org/forum/index.php/topic,39982.0.html)tuingtuing myQ Pejuang
Permasalahannya adalah ketika mengatakan bahwa bentuk fi'il amr itu menunjukkan hukum wajib walaupun tidak disertai oleh suatu qarinah. Padahal tidak semua fi'il amr bermakna wajib,Beda dong antara menyemir uban dan memelihara jenggot. Telah dikatakan bahwa al-ashlu fil-'amr lil-wujuub. Nah, kata "wajib" di sini bisa berubah menjadi sunnah jika ada qarinah pemalingannya. Dan dalam masalah menyemir uban, ada beberapa qarinah pemalingan dari makna asal wajib (menurut sebagian ulama). Di antaranya adalah fi'il beberapa shahabat yang tidak melakukan menyemir uban, seperti Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b, dan Anas. Dan silakan perhatikan riwayat Anas yang saya bawakan di awal Thread, dimana Anas mensifati uban putih yang berada di kepala dan jenggot Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam (baca : di riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi kala itu pernah tidak menyemir ubannya yang sedikit). Itu semua menunjukkan qarinah pemalingan (menurut sebagian ulama).
contoh menyemir rambut, tidak ada yang menjadikan sunnah ini sebagai wajib,
عن أبي هريرة
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن اليهود والنصارى لا يصبغون فخالفوهم
dari Abu Hurairah, bahwa nabi saw bersabda : sesungguhnya yahudi dan Nashrani tidak menyemir (rambut) maka selisihilah mereka ! (HR. Bukhari; Bab 65 : Menyemir)
Kembali pada permasalahan jenggot, apakah ada qarinah pemalingannya ? Apakah ada riwayat bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memotong jenggotnya ? Apakah ada riwayat dari jama'ah shahabat yang memotong jenggotnya (kurang dari satu genggaman tangan) ? Kalau antum menemukan, silakan dituliskan kemari.
[Ada satu riwayat bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memotong jenggot dari Sunan At-Tirmidzi, namun riwayat ini dla'if jiddan, dan bahkan maudlu' menurut sebagian ulama lain].Abu Al-Jauzaa myQ Pejuang
KutipSeharusnya, jika asal perintah adalah wajib, maka tidak ada alasan bahwa perlu ada qorinah yang memalingkan dari makna wajib tsb.Kalimat ini sangat rancu. Tidak dikenal. Bahkan perlu ya akhi..... Banyak sekali contohnya. Qarinah ini juga bisa macam-macam. Misalnya saja qarinah istitsna. Saya contohkan : Dalam QS. Al-Jum'ah disebutkan tentang kewajiban shalat Jum'at (fas'au ilaa dzikrillah...dst). Fi'il amr dalam ayat tersebut menunjukkan makna wajib. Maka ada qarinah istitsnaa yang memalingkan makna wajib tersebut untuk beberapa golongan orang. Saya yakin haditsnya antum telah ketahui. Nah di sini adalah salah satu qarinah yang dimaksud. Bahasan ini bisa overlap dengan al-'aam wal-khaash.KutipIbarat antum menerima perintah untuk pergi berperang, kemudian antum coba-coba tidak pergi dan beberapa lainnya seperti antum, maka apakah anaa akan melihat bahwa perintah yg diberikan kepada antum tsb tidak bermakna wajib ?Permisalan ini adalah permisalan yang lucu. (dan saya sering mendapatkan bahasan antum keluar dari bahasan materi ushul-fiqh dan contoh-contoh yang sering diberikan dalam kitab ushul-fiqh). Betapa tidak ? Kalau misal ada perintah berperang dalam nash, maka hukum asalnya adalah wajib. Jika tidak ada qarinah pemalingan, maka hukum asal itu tetap berlangsung. Dan memang inilah hukum asal dari perintah qitaal itu. Kemudian ulama berselisih pendapat tentang makna wajib, apakah wajib 'ain atau wajib kifayah. Jumhur ulama mengatakan wajib kifayah, ini pendapat yang rajih.
Jika misal saya tidak ikut perang karena sakit, maka itu diperbolehkan dalam syari'at perang. Ini masuk istitsna. Atau bahasa syari'at yang lain : udzur syar'i.
Sekali lagi, pembangunan alasan antum di atas adalah aneh bin rancu.KutipAda kaidah selain الٲصْلُ فِى الٲمْرُ الوُجُوْبُ (hukum asal perintah menunjukkan wajib) yaitu الٲصْل فِى الٲمْرُ النّدْب (hukum asal perintah menunjukkan anjuran) atau الٲصْل فِى الٲمْرُ الطَّلْبُ (hukum asal perintah menunjukkan tuntutan).Sepertinya antum memang belum pernah talaqqi materi ushul fiqh ya akh ? otodidak ? Yang antum sebut itu bukan "kaidah lain". Tapi perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul-fiqh. Dan kaidah yang antum sebut itu memang ada disebut sebagian ulama, tapi gak begitu masyhur.
Ke-2 kaidah tsb akan memiliki hukum wujub jika disertai qarinah yang menguatkan perintah tsb, seperti adanya siksa, dosa, pahala, celaan, punjian, dll.
Qarinah itu macam-macam pak. Bisa dari balaghah, keberadaan nash lain, dan yang lain sebagainya (saya agak lupa nih, soalnya lagi gak pegang kitab, maklum ada di kantor). Sekarang mari kita perhatikan contoh antum :KutipContoh : bahwa fi'il amr tidak selalu bermakna wajib adalah :Undhuruu di sini memang tidak bermakna wajib, sebab kalimat sebelumnya dalam ayat tersebut hanya menunjukkan makna pengambilan ibrah saja. Inilah qarinah. Kalau gak salah ingat, masuk dalam uslub. Entar deh dibuka lagi (ada dalam kitab ushul itu).
1. QS6:99 => ٲنْظُرُوْا ٳلَى ثَمَرِهِ (perhatikan lah buahnya !)
perintah ٲنْظُرُوْا (memperhatikan) ini tidak bermakna wajib, yang jika kita tidak melaksanakan perintah tsb akan beroleh dosa atau siksa.Kutip2. QS3:119 => مُوْتُوْا بِغَيْضِكُمْ (matilah kamu! karena kemarahanmu itu)Kalimat muutuu bighaidlikum, saya sepakat bahwa ini memang bukan bermakna wajib. Masak mati diwajibkan ? Yang perlu antum pahami tentang al-ashlu fil-'amr lil-wujuub adalah kalimat 'amr yang menunjukkan perintah melakukan sesuatu. Adapun muutuu bighaidlikum bukanlah jenis kalimat ini pak.
perintah مُوْتُوْا ini tidak bermakna wajib.Kutip3. QS41:40 => اعْـمَلُوْا مَا شـِّتُمْ (perbuatlah! apa yang kamu kehendaki)He...he.... ini mah juga sama dengan yang kedua. Balaghah kalimat menunjukkan makna kebalikan pak.
perintah اعْـمَلُوْا (perbuatlah1) tidak memiliki makna wajib.Kutip4. Hadits Muslim => يا غلام، سمِّ الله، وكل بيمينك، وكل مما يليك (hai pemuda, bismillah, dan makanlah ! dengan tangan kananmu dan makanlah! apa yang didekatmu)Kalau yang antum maksud "kul" (makanlah) secara infirad, memang menunjukkan wajib untuk makan. Namun jika antum sambungkan dengan kalimat setelahnya : biyamiinik; maka makna "kul" adalah wajib. Maksudnya : Wajib makan dengan tangan kanan. Gitu pak.....
perintah كل ini tidak bermakna wajibKutip5. Hadits : BukhariTulisan Copas antum rusak sehingga tidak terbaca dengan jelas.... Tapi maksudnya saya paham insyaAllah. Dan itu pun telah dibahas dalam kitab Ushul-Fiqh. Dan memang, kalimat ini menunjukkan mandub saja. Mengapa ? Kalimat tartib (urutan) selain ibadah mahdlah itu tidak menunjukkan wajib. Itu hukum umumnya.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : قَـالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ : ٳِذَا وَقَعَتْ لُقْـمَةُ ٲَحَدَكُمْ فَلْيَٲْخُذْھَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِھَا مِنْ ٲَذًى وَلْيَٲْكُلْھَا وَلاَ يَدَعْـھَالِلشَّيْطَانِ وَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيْلِ حَتَّى يَلْعَقَ ٲَصَابِعَهُ فَٳِنَّهُ لاَ يَدْرِى فِى ٲَىِّ طَعَـامِهِ الْبَرَكَةُ
perintah فَلْيَٲْخُذْھَا (ambilah!) فَلْيُمِطْ (buanglah) وَلْيَٲْكُلْھَا (dan makanlah) َلاَ يَمْسَحْ (Jangan mengusap) walaupun menggunakan shighot amr tetapi tidak bermakna wajib.
Intinya mah akh,.... contoh-contoh yang antum sebutkan tadi secara umum merupakan contoh yang telah banyak dibahas dalam kitab Ushul-Fiqh.
Mengenai 'illat, memang benar yang antum katakan. Tapi antum harus ingat. Tidak semua hukum itu mempunyai 'illat (makanya, sebagian ulama tidak menerima 'illat dalam hukum secara mutlak - namun pendapat ini lemah, karena harus diperinci bahwa satu hukum itu bisa ada 'illatnya atau tidak ada 'illatnya).
Nah,.... dalam kasus hukum jenggot ini, 'illatnya sangat jelas yaitu menyelisihi kaum musyrik dan/atau majusi. Dan memang seperti itulah keadaan mereka (memangkas jenggot dan memelihara kumis). Adapun keberadaan sebagian di antara mereka (kaum musyrik dan majusi) yang memelihara jenggot, tetap tidak bisa menaskh 'illat nash. Sebab, 'illat nash itu menunjukkan keadaan aghlabiyyah. Selain itu, 'illat nash juga diperkuat oleh nash lain yang menunjukkan bahwa memotong kumis dan memelihara jenggot merupakan sunnah fithrah. Bukankah kaum musyrik di jaman Nabi dulu juga ada yang memelihara jenggot ? Maka perintah beliau shallallaahu 'alaihi wasallam tersebut selain merupakan bentuk penyelisihan, juga merupakan penetapan sunnah fithrah ( == diulang == ).
Kembali kepada pertanyaan awal, menurut antum : Apa yang memalingkan perintah memanjangkan/memelihara jenggot dan memotong kumis ?
http://myquran.org/forum/index.php/topic,39982.15.html
wah memelihara memang wajib
tapi kalo dilebatkan malah gak boleh. biarkan tumbuh sendiri dan jangan pakai alat/obat
dan memelihara bukan berarti melebatkan, artinya biarkan tumbuh sendiri dan juga dirawat.
kalo cuman dibilang "kambing" ya gak apa2 toh, lama2 bosen juga. pahala juga bertambah atas kesabaran
adikku aja bilang gitu, "kambing2". memang menyebalkan sih..........(ph34r myQ Aktivis)
Pernah denger ada ustadz ceramah dan bikin anekdot kaya gini
"Lebih baik jenggotan dikit kaya kambing daripada ngga' jenggotan kaya anjing" (Qms myQ Junior)
Apa gak keliru tuh memberi hukum atas jenggot. jangan gampang aja bikin hukum sendiri. Menurut saya memelihara jenggot itu hukumnya sunnah bukan wajib. Rasulullah menganjurkan memelihara jenggot, tetapi gak ditemukan hadits di mana rasulullah menghukumi haram bagi mereka yg tidak melakukannya.Pola pikir yang sangat-sangat keliru............. Pernyataan antum sama halnya dengan pertanyaan ini : SHalat sambil berdiri hukumnya wajib nggak ? Jawab : Wajib. Lantas bagaimana bagi mereka yang nggak punya kaki, kan gak bisa berdiri ? Berarti mereka melakukan dosa setiap detik, setiap menit, setiap jam, dan seterusnya. Kata antum : "Wah, kalau begitu dhalim benar Allah kalau begitu".
Benar pertanyaan yg berbunyi : "Kalau jenggot itu wajib, maka bagaimana dengan mereka yg secara antomi tidak tumbuh jenggotnya". Pertanyaan ini jangan dianggap sepele apalagi dikatakan keliru. Kenapa karena menurut Abu Al JAuzaa jenggot itu sesuatu yg wajib, "Menurut kaidah ushul-fiqh, semua lafadh yang mengandung perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya.[3] Menurut mereka, tidak ada dalil shahih, sharih, lagi setara yang memalingkan dari kewajiban ini."
Dengan demikian karena jenggot itu wajib, maka dia berlaku umum untuk setiap laki-laki dewasa dan beragama Islam, baik itu yg secara anatomi bisa tumbuh jenggotnya maupun yag tidak. Trus dengan melihat kenyataan ada diantara kita laki-laki muslim dewasa yg secara anatomi tidak bisa tumbuh jenggot. Dengan begitu berarti mereka telah melakukan dosa tiap detik, menit bahkan tiap saat.
Wah dzolim benar Allah kalau benar2 hukum jenggot seperti ini. Padahal manusia yg ciptakan adalah Allah, dan Allah pula yg menetukan siapa diantara manusia (laki-laki) yg dikehendaki tumbuh jenggotnya. Lantas bagaimana mungkin Allah memberi hukum atas sesuatu yg tidak mampu dilakukan hambanya, padahal tadi Abu Al Jauza mengutip ayat, bahwa Allah tidak akan membebani hambanya diluar kemampuannya?.
Begitu juga dalam masalah haji. Haji wajib bukan ? Tapi bagaimana dengan orang yang punya duit ? Sungguh dhalim benar Allah - kata antum - jika haji ini dianggap wajib. Orang-orang miskin akan berdosa sepanjang hidupnya karena kemiskinannya.
Inilah pola pikir yang salah. Yang namanya kewajiban itu tetap dikerjakan semampunya. Kalau gak mampu berdiri karena gak punya kaki, ya ia bisa sambil duduk. Semampunya. Begitu pula dengan haji. Kalau gak punya duit, maka ia tidak dibebankan kewajiban haji. Ia hanya dibebankan ketika ia sangup untuk melaksanakannya (yaitu punya harta). Tidak ada alasan bagi kita dengan kenyataan-kenyataan di atas mengatakan bahwa shalat sambil berdiri dan kewajiban haji itu hukumnya tidak wajib.
Dan begitu pula dengan masalah jenggot. Jika tidak punya jenggot, ya berarti ia tidak dikenai kewajiban untuk memelihara jenggot. Tapi bukan berarti kenyataan itu merubah hukum memelihara jenggot menjadi tidak wajib. Abu Al-Jauzaa myQ Pejuang
SILAHKAN BERKOMENTAR UNTUK KASIH MASUKAN